Translate

Iklan

Iklan

KASUS TANAH JENGGAWAH, KECAMATAN JENGGAWAH, JEMBER

4/21/10, 23:44 WIB Last Updated 2010-12-05T17:25:40Z
Latar Belakang Salah satu agenda yang harus diselesaikan pemerintah mendatang adalah persengketaan tanah Jenggawah Kab. Jember. Sebuah sengketa yang terjadi di daerah yang berada di wilayah selatan kota Jember, lebih kurang 20 km dari pusat kota. Secara geografis wila...yah tersebut mayoritas penduduknya beretnis Madura.

Sengketa tanah yang berdurasi panjang itu terjadi di 3 kecamatan, 9 desa dan 36 pedukuhan. Picu awal persoalannya adalah adanya disharmonisasi hubungan antara pihak pengelola perkebunan dan petani rakyat penggarap. Puncaknya terjadi peristiwa bentrokan berdarah antara aparat keamanan dan petani rakyat jenggawah, yang berlangsung selama bulan juni sampai bulan agustus 1979. Ada beberapa sebab yang melahirkan ketegangan diantara keduanya.

• Pertama, pihak pengelola perkebunan dalam hal ini PTP XXVII berkepentingan untuk memanfaatkan Hak Guna Usaha (HGU) dengan alasan peningkatan produksi tembakau. Pada pihak lain kepentingan tersebut merugikan tanah rakyat yang digarap turun temurun. Terjadi penyempitan lahan yang menyebabkan petani rakyat tidak bisa memenuhi kebutuhan subsitensinya.

• Kedua, PTP XXVII mengadakan her-kaveling dan her-registrasi lahan, yang itu mendapat dukungan dari pemda Tingkat II Jember, pada tanggal 15 Juli 1978. Petani tidak menyetujuinya karena selain terjadi penyempitan lahan, juga terjadi pengurangan hak-hak asasi petani rakyat. Ketegangan diantara keduanya terus berkembang ditahun-tahun berikutnya. Sehingga dapat dikatakan menjadi potensi konflik horisontal yang laten. Lahan perkebunan yang subur itu ditemukan pemerintah Kolonialisme Belanda.

Pada mulanya pemerintah kolonial melakukan serangkaian penelitian untuk menemukan daerah yang memiliki potensi lebih yang dapat dieksploitasi. Seorang yang bernama Onderneemer Georgre Birnie menemukan lahan yang sangat potensial untuk budidaya tembakau Na Oost (NO). Daerah yang subur itu berada di wilayah Karesidenan Besuki. Sejak saat itu, sekitar tahun 1858, sebagai orang yang memiliki kapital, Birnie mulai merintis dengan mengajukan ijin kepada pemerintah kolonial guna membuka Onderneeming tembakau di Jember. Sebelumnya ia bersama rakyat sekitar dan pendatang dari Besuki serta Madura membuka belantara menjadi lahan perkebunan. Baru pada tahun 1870 melalui Agrariche Besluit (AB), ia mendapat ijin berupa Hak Erpacht, hak sewa untuk perkebunan tembakau selama 75 tahun. Sedangkan pengelolaannya dipegang oleh sebuah badan hukum milik pemerintah Landbouw Matschapij Ould Djember (NV. LMOD).

Hubungan antara pengelola dan rakyat petani dikenal dengan pola mitra kerja. Akan tetapi meski kebutuhan rakyat petani tercukupi, keuntungan terbesar tetap milik kaum kapital dan negara kolonialisme Belanda. Karena perkebunan tembakau merupakan andalan yang bernilai ekonomi sangat tinggi di pasaran Eropa. Secara hitungan waktu ijin pengelolaan lahan perkebunan oleh NV. LMOD akan berakhir pada tahun 1945. Akan tetapi pendulum sejarah berjalan tidak selalu linier, Jepang masuk dan menguasai wilayah nusantara sejak tahun 1942. Dengan demikian terjadi pergantian sistem paksa dari kolonialisme ke fasisme Jepang. Pada tahun 1943 rakyat pertani yang sebelumnya bermitra kerja dengan NV. LMOD dengan cara menanam tembakau, ternyata hubungan dengan pemerintah jepang mengalami kekacauan.

Posisi rakyat petani menjadi tidak menentu, setiap petak persawahan bahkan lahan kering harus ditanami kapas yang pengadaan bibit dari pemerintah Fasisme Jepang. Seluruh hasil panennan diperuntukkan bagi pemerintah jepang yang saat itu menghadapi perang Asia Timur Raya. Sejalan dengan clash fisik antara rakyat dengan pemerintah Jepang, yang disusul dengan kemerdekaan nation-state Indonesia, praktis sejak tahun 1945 areal perkebunan tersebut tidak terurus dengan baik.

Rakyat petani menggarap tanah sesuai dengan kehendak mereka guna memenuhi kebutuhan subsitensinya. Kevakuman pengelolaan perkebunan itu berlangsung hingga tahun 1953. Rakyat petani yang dari awal terlibat membuka belantara menjadi lahan perkebunan itu, tetap mengelola tanah mereka sebagaimana mestinya. Mereka tidak lagi terikat kontrak dengan perusahaan manapun. Sejak tahun itu pula (1953) rakyat petani dibebani pajak untuk lahan garapannya. Setiap pemilik lahan mendapat nomor pipil atau petok sebagai legitimasi kepemilikan tanahnya.

Selain pembayaran pajak yang dilakukan setiap tahun, yang itu menunjukkan pelaksanaan kewajiban warga negara, juga diperkuat adanya status hukum kepemilikan tanah. Begitu pula adanya UU Pokok Agraria 1960 rakyat petani juga mendaftarkan tanahnya kepada pejabat yang mewakili pemerintah melalui koordinasi dengan Kepala Desa. Pada sisi lain pemerintah RI menerbitkan UU no. 86 tahun 1958 yang intinya berisikan tentang nasionalisasi seluruh perusahaan asing yang berada di wilayah Indonesia.

Penguasaan perkebunan yang sebelumnya ditangan NV. LMOD secara otomatis menjadi milik negara. Dibentuklah Perusahaan Perkebunan Negara kesatuan Jatim IX yang lahir dengan PP No. 173/1961. Kemudian dengan PP. 30/1966 berubah menjadi Perusahaan Perkebunan tembakau Negara (PPTN) V dan VI. Berubah lagi menjadi perusahaan. Berubah lagi menjadi Perusahaan Negara perkebunan (PNP) XXVII yang merupakan penggabungan dengan dari PPTN V dan VI, dengan PP No. 14/1968.

Kemudian diubah lagi menjadi Perseroan Terbatan Perkebunan (PTP) XXVIIdengan menggunakan PP No. 7/1972. Sedangkan untuk pemegang Hak Guna Bangunan (HGB) berdasarkan atas yuridis SK Mendagri No. SK 32/HGB/BA/1969, yang tertanda tanggal 15 Desember 1969. Kode tersebut menjelaskan Hak Guna Bangunan dipegang PNP XXVII dengan durasi waktu 25 tahun, yang berakhir tanggal 22 Mei 1994. Untuk Hak Guna Usaha (HGU) diserahkan pada PNP XXVII berdasarkan SK Mendagri No. SK 15/HGU/DA/1970, yang tertanggal 18 Juli 1970. Pengelolaan tanah perkebunan seluas 32.746.888 Ha tersebut juga berlaku selama 25 tahun dan berakhir pada tanggal 30 Juni 1995.

Kedua SK tersebut, sepertinya wewenang keseluruhan berada di tangan pihak pengelola. Pada tahun itu pula surat-surat petok yang dimiliki rakyat petani penggarap serta tempat pemukimannya dinyatakan dicabut oleh pemegang HGU. Pencabutan nomor pipil atau petok oleh pihak pemegang HGU mendapat dukungan dari pemerintah. Akibat pencabutan itu petani rakyat penggarap tidak lagi memiliki posisi yang jelas dalam status yuridis formal .

Namun demikian, mengingat nenek moyang petani rakyat turut terlibat dalam pembabatan belantara menjadi lahan perkebunan, mereka tetap menggarap tanahnya untuk mencukupi kebutuhan subsistensi. Pada tanggal 15 Juli 1978 PTP XXVII yang mendapat dukungan Tingkat II Kabupaten Jember mengadakan her-kaveling dan her-registrasi dengan alasan peningkatan produksi tembakau untuk memperbesar devisa dari sektor non migas. Penertiban lahan perkebunan itu ditolak oleh sebagian besar rakyat petani, karena selain terjadi penyempitan lahan juga terjadi perampasan hak-hak atas tanah. Inilah yang kemudian memicu konflik berkepanjangan sengketa tanah Jenggawah.
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • KASUS TANAH JENGGAWAH, KECAMATAN JENGGAWAH, JEMBER

Terkini

Close x