Sengketa tanah Ketajek antara masyarakat dan Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Jember yang terletak di desa Pakis dan desa Suci Kecamatan Panti Kabupaten Jember, masih menyisahkan persoalan.
Tanah seluas 478 Ha bekas hak erfpacht milik Landbouw Mij Out Djember te Defenter (LMODTD) dengan Verponding Nomor 2712 seluas 125, 73 Ha dan Verponding Nomor 2713 seluas 352,14 Ha yang diterlantarkan sejak tahun 1930 dan dibuka kembali oleh masyarakat tahun 1942, akhirnya mendapatkan SK Menteri Pertanian dan Agraria nomor 50/KA/64 tahun 1964. Yang menyatakan bahwa tanah Ketajek sebagai bagian obyek Landreform.
Ditindaklanjuti dengan keluarnya SK kepala kantor Inspeksi Agraria (Kinag) Djawa Timur nomor 1/Agr/6/XI/122/HM/III tanggal 17 Desember tahun 1954 tentang redistribusi lahan bagi 803 petani penggarap. Sedangkan tanah pembabatan hutan oleh warga seluas 710 Ha (yang tidak merupakan erfpacht NV LMODTD), tidak termasuk dalam obyek landreform.
Distribusi tanah tersebut dikuatkan juga dengan pemberian secara simbolis Surat Keputusan pemberian hak milik tanah ketajek oleh Bupati Jember pada 24 September 1965 kepada perwakilan petani (Pak Sukesi). Mulai saat inilah warga mulai membayar uang ganti rugi tanah ketajek di Bank Bumi Daya (sekarang bank Mandiri) cabang Jember sebesar 2/m3. Dan mulai tahun 1967 Pemerintah Daerah tingkat II Kabupaten Jember mulai meyerahkan petok D untuk tanah ketajek di desa Suci dan di desa Pakes.
Menurut Ketua Kompak Asmo Pak Waro, Warga saat itu hidup normal dan menempati lahan tersebut cukup lama tanpa mendapat gangguan dan tekanan dari siapapun. Bahkan Dusun ketajek saat itu sudah menjadi perkampungan besar dan sudah berdiri ratusan bangunan rumah, Masjid, empat Mushollah dan kuburan.
