Translate

Iklan

Iklan

Nasib Malang Pedagang Kopi, Alun-alun Jember

1/12/12, 02:26 WIB Last Updated 2013-12-08T19:10:50Z
Jember, MAJALAH-GEMPUR.Com. Belum genap 60 tahun, wajah Nanik tampak lebih tua dari usianya. Dengan mengenakan pakaian sekenanya, Kamis (12/1/12), disaat Bupati Jember mengadakan acara Kamisan, janda beranak satu ini bermaksud mengadukan nasib yang dialaminya kepada Bupati Jember MZA Djalal. Namun, niatnya itu urung ia lakukan, lantaran beberapa teman yang senasib dengan dirinya tak muncul dihalaman kantor bupati.

“Sabtu kemarin, saya dan temen-temen pedagang yang berjualan dialun-alun (alun-alun Jember_red) diusir sama Satpol PP, kami tidak boleh lagi berjualan di alun-alun,” katanya, disela-sela Aksi yang dilakukan oleh Serikat Tani Independen (Sekti) di luar gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jember, dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Sebelum pengusiran terjadi, Nanik mengaku dari hasil berjualan kopi kelilingnya itu ia dapat mengumpulkan Rp. 30 ribu sejak pagi hingga tengah malam, itupun untuk mencukupi kebutuhan hidupnya tidaklah cukup. Kini, Nanik tak dapat lagi mengais rejeki, padahal ia harus menghidupi Abdullah Rohani, anak satu-satunya yang sedang sakit jiwa. Beberapa hari yang lalu anaknya tersebut mengamuk sebab Nanik tak mampu membelikannya rokok, “kemarin anak saya minta dibelikan rokok, dan saya tidak bisa belikan, kemudian anak saya itu melempar batu bata,” ceritanya, sembari menunjukkan luka lebam dibetis kanannya.

Sepertinya perempuan paruh baya ini tak kuat lagi membendung beban hidup yang ia rasa begitu berat, air matanya perlahan-lahan turun membasahi pipinya yang mulai keriput. Ia mulai menyandarkan punggungnya di pagar gedung dewan, tatapannya kosong, seolah menerawang jauh kembali kesaat pengusiran itu terjadi. Ketika itu, menurut Nanik, ia dan sesame pedagang lainnya mengaku pasrah saat anggota satpol PP mengusir dan melarang dirinya berjualan disekitar alun-alun.

Polisi penegak perda tersebut, lanjut Nanik, memberikan beberapa pilihan kepada para pedagang. Diantaranya agar pedagang berjualan di Jl. R.A Kartini, atau kalau tidak, berjualan dialun-alun diatas jam 12 malam. “Kami disuruh berjualan di jalan kartini, pernah satu kali saya berjualan disana tapi satupun nggak ada yang beli, pengunjung yang rame itukan di alu-alun,” akunya sedih.

Sedangkan untuk berjualan di alun-alun, awalnya pihak Satpol PP mengijinkan Nanik dan pedagang lainnya berjualan diatas jam 09. Malam. Namun keesokan harinya tidak boleh lagi, pedagang disuruh berjualan diatas jam 12 malam, “kalau jam 12 malam, terus siapa yang beli,” ujarnya.

Wanita yang tinggal di jalan Fatahillah ini tak habis pikir, apa alasan Satpol PP mengusir dirinya berjulan. Kalau dianggap mengganggu ketertiban umum, Ia hanya mengenakan keranjang saat berjualan, “saya ini jualan kopi keliling, jadi tidak pakai gerobak,” katanya.

Kisah Nanik, adalah sekelumit gambaran kecil dari kisah-kisah serupa yang dialami oleh Pedagang Kaki Lima (PKL) dan asongan di kota tembakau ini. Mereka dianggap penggaggu oleh pemerintah daerah, padahal pekerjaan itu adalah satu-satunya penopang kehidupan mereka.

Aktifis Komite Sental Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (KS GMNI), Opik, menilai apa yang dilakukan oleh Satpol PP itu illegal. Hal itu didasarkan dengan tidak adanya Peraturan Daerah yang mengatur tentang penertiban asongan, “perda di jember itu hanya mengatur di jalan hayam wuruk dan saman hudi saja, tidak ada perda yang mengatur tentang asongan, baik itu pedagang kopi maupun yang lainnya. Apalagi Satpol PP dalam memberikan surat itu tidak jelas, sebab tidak ada tanda tangan dari bupati,” jelasnya.(mahrus)
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Nasib Malang Pedagang Kopi, Alun-alun Jember

Terkini

Close x