Translate

Iklan

Iklan

Mengembalikan Dimensi Pendidikan Yang Hilang

3/04/12, 17:46 WIB Last Updated 2013-12-08T19:39:27Z
Oleh : Drs. Mohammad Hasyim, MM.

Banyuwangi -Majalah Gempur- Secara formal pendidikan memang baru dimulai ketika seseorang telah mulai bisa  mengakui otoritas orang lain, terutama guru-guru di sekolah. Karena itu dalam teori pendidikan ada istilah batas bawah dan batas atas pendidikan. Batas bawah artinya adalah rentang waktu yang menyatakan kapan pendidikan itu bisa dimulai.

Secara fisik, pendidikan formal bagi seseorang bisa dimulai ketika seseorang minimal telah berusia 6 tahun. Sedangkan batas atas pendidikan adalah kurun waktu kapan proses pendidikan bagi seseorang harus disudahi.  Secara umum, pendidikan formal bagi seseorang  harus disudahi ketika seseorang (anak didik) telah mencapai kedewasaan. Kedewasaan sendiri bisa diukur dari aspek pisik, psikologis, sosial maupun ekonomi. Secara fisik, seseorang dinyatakan dewasa apabila ia telah berusia 24 tahun bagi laki-laki dan 21 tahun bagi perempuan, walaupun pada kasus-kasus tertentu ukuran tersebut bisa tidak sesuai.

Pada masyarakat agraris misalnya, usia biologis/fisik laki-laki maupun perempuan datang lebih cepat. Sementara pada masyarakat urban, usia biologis mereka cenderung melambat. Secara psikologis, ya itu tadi, ketika seseorang telah bisa menghargai otoritas orang lain, ketika seseorang telah bisa membagi empati dengan orang lain. Secara sosial, pendidikan bisa disudahi ketika seseorang telah bisa melakukan peran-peran sosialnya, bisa memutuskan pilihan hidup sekaligus sanggup mempertanggungjawabkan keputusan yang dibuatnya baik positif maupun negatif. Sedangkan secara ekonomis, seseorang dinyatakan telah dewasa dari sisi pendidikan ketika seseorang telah bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-harinya, minimal kebutuhan-kebutuhan dasar dengan tanpa menyusahkan orang lain.

Secara informal, pendidikan sejatinya telah berlangsung jauh sebelum seseorang dilahirkan kedunia dan peristiwa tersebut (baca:pendidikan) akan terus berlangsung sejalan dengan tahapan-tahapan kehidupan manusia. Karena itu ada istilah pendidikan pre-natal, pendidikan masa bayi, pendidikan anak usia dini, pendidikan remaja  dan pendidikan bagi orang dewasa. Untuk menjamin keberhasilan pendidikan tersebut maka perlu dikawal oleh konsep-konsep dasar psikologis dan pedagogis yang pas dengan  tahap-tahap perkembangan tersebut.

Sejalan dengan bertambahnya umur seseorang, maka berkembang pula potensi psikologisnya, yang bersamaan dengan itu pula berkembang kebutuhan hidupnya, tuntutan-tuntutanya, harapan-harapan dan pilihan-pilihan hidupnya. Disaat yang sama tumbuh pula bakat, minat, kecenderungan-kecenderungan, interaksi dan afiliasi sosialnya. Disisi lain, diluar diri seseorang, berkembang pula dengan cepat ilmu pengetahuan, tehnologi, informasi dan komunikasi.

Semua ini menjadikan sebab kebanyakan orangtua tidak lagi memiliki kemampuan untuk memberikan pendidikan secara intensif kepada anak-anaknya. Banyaknya kebutuhan hidup keluarga yang harus dipenuhi, mendorong orangtua harus sama-sama bekerja diluar rumah. Ini juga menjadi alasan sehingga para orangtua mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah untuk mendapatkan layanan pendidikan formal dari para guru. Sejak saat itulah pendidikan yang didesain dengan aturan-aturan baku dan ketat (rigid) berkembang.

Sungguhpun ada beragam jenis, jenjang dan satuan pendidikan formal, ada misi universal diantara keragaman tersebut, yakni membentuk manusia ideal, manusia yang berkepribadian utuh, yang dalam konsep Islam dikenal dengan istilah insan kamil. Insan Kamil tersebut dicirikan dengan kecerdasan, keimanan/ketaqwaan, kejujuran, kreatifitas, keuletan, solidar etis serta ahlakul karimah. Semakin ideal kadar ke-insan kamilan, seseorang, semakin berkwalitas pula kepribadian seseorang. Dan semua itu inheren dengan tujuan pendidikan itu sendiri yaitu dewasa secara universal.

Pergeseran orientasi kehidupan masyarakat membawa pula pergeseran cara masyarakat melihat, memandang, menyikapi dan memberlakukan sesuatu dalam kehidupan mereka sehari-hari, termasuk dalam praktek pendidikan di sekolah. Jika dahulu,ukuran-ukuran pendidikan lebih ditekankan pada aspek-aspek yang lebih bersifat afektif-kwalitatif, dan karenanya cenderung idealis, normatif serta sarat nilai, tetapi sekarang tidak lagi demikian. Ukuran keberhasilan pendidikan  bagi seseorang lebih ditekankan pada aspek-aspek yang lebih bersifat kwantitatif, dan karenanya cenderung terukur secara phisik, pragmatis dan instan. Nah, disinilah sebenarnya ada sesuatu yang hilang. Ada dimensi yang terabaikan dalam praktek pendidikan modern yang cenderung kapitalis itu. Ada something loss dalam pendidikan kita.

Adalah sangat bisa dimengerti ketika semakin banyak masyarakat yang pinter (cerdas) karena jasa pendidikan formal, tetapi semakin banyak pula  ketimpangan-ketimpangan dan ironi-ironi sosial terjadi di tengah-tengah masyarakat. Semakin banyak warga masyarakat yang melek pendidikan, justru masyarakat semakin bertambah kacau, saling fitnah dan saling bernafsu untuk menguasai satu terhadap lainya. Bukan pendidikanya yang salah, ketika semakin banyak  orang Indonesia terpelajar bergelar sarjana, magister dan bahkan doktor, tetapi korupsi makin bertambah maju dan menyebar dihampir semua bidang kehidupan, baik sosial, politik, hukum apalagi ekonomi. Dan tidaklah salah jika negara ini (Indonesia) dinobatkan sebagai salah satu negara terkorup di dunia oleh salah satu lembaga internasional yang konsen dalam bidang ini. Dan cita-cita menjadikan Indonesia sebagai negara yang damai, adil, sejahtera dan berkeadaban semakin jauh panggang dari apinya.

Jika kita semua yakin bahwa pendidikan adalah instrumen penting dalam membangun masyarakat, yang denganya (pendidikan) masyarakat menjadi semakin cerdas, makin trampil, makin mandiri, makin jujur, makin bertanggungjawab. Dan sekiranya kita sadar bahwa hanya dengan pendidikan sajalah maka masyarakat akan semakin maju, semakin berbudaya, bebas dari berbagai himpitan penyakit-penyakit sosial dan mental, maka secepatnya kita menemukan dan mengembalikan lagi roh (spirit) pendidikan yang hilang tersebut pada tempatnya. Roh atau spirit tersebut tiada lain adalah keteladanan, kejujuran, keihlasan serta tanggungjawab.

Jika dimensi-dimensi ini dapat  kita kembalikan lagi kedalam praktek pendidikan formal kita sehari-hari di sekolah, maka insya-Alloh Indonesia akan segera bisa bangkit dari berbagai keterpurukan, karena didukung oleh SDM yang cerdas, intelek sekaligus berahlak mulia. Dan ditangan orang-orang seperti inilah pembangunan akan dapat dijalankan secara amanah. Walllohu  A’lam Bis Showab.

Penulis: Pengawas Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan Kab. Banyuwangi, Ketua STAI Ibrahimy Genteng Banyuwangi.
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Mengembalikan Dimensi Pendidikan Yang Hilang

Terkini

Close x