Translate

Iklan

Iklan

Rakyat Selalu Kalah; Konflik Hutan Di Indonesia Terjadi, Sejak Masa Kolonial Belanda

2/03/13, 16:00 WIB Last Updated 2013-02-03T10:14:22Z
Orientasi Pengelolaan Hutan, Untuk Mengeruk Keuntungan

Arif Wibowo: Anggota Komisi II DPR RI
Jakarta, MAJALAH-GEMPUR.Com. Konflik hutan terjadi sejak masa kolonial, ketika VOC tertarik dengan hutan jati di Jawa. Karena hasilnya sangat menggiurkan, kemudian menyebabkan eksploitasi yang panjang terhadap sektor kehutanan.

Plakat tanggal 8 September 1803, yang berlaku untuk daratan dan pantai pesisir Timur Laut Pulau Jawa mulai dari Cirebon sampai ke Ujung Timur (Banyuwangi), menegaskan bahwa semua hutan kayu di Jawa harus dibawah pengawasan kompeni sebagai hak milik (domein) dan hak istimewa raja dan para pengusaha (regalita). Ini adalah konsep domain verklaring, pernyataan penguasa mengenai kekuasaan atas suatu wilayah tertentu.

Awal Berlakunya hukum kehutanan kolonial di Indonesia
Namun awal pemberlakuan hukum kehutanan kolonial di Indonesia, sesungguhnya dimulai sejak tanggal 10 September 1865, yaitu dengan diundangkannya pertama sekali Reglemen tentang Hutan (Boschreglement) 1865 atau disebut juga Boschwet, di dalamnya memuat pembentukan dienst v/h Boswezen atau disebut juga Jawatan Kehutanan.

Mengenai hutan di Jawa dan Madura kemudian diatur secara lebih khusus dengan Reglement op het beheer en de exploitatie de houtbossen op Java en Madoera 1865. Reglemen Hutan 1865 meniadakan hak dan kekuasaan masyarakat adat terhadap wilayah hutan adat dengan hak ulayat di sekitarnya.

Selanjutnya Reglemen ini diganti dengan Reglemen 1874 tentang Pemangkuan Hutan dan Eksploitasi Hutan di Jawa dan Madura, diundangkan pada tanggal 14 April 1874. Reglemen hutan 1874 diubah lagi dengan Reglemen 26 pada Mei 1882 dan Reglemen 21 Nopember 1894, kemudian diganti lagi dengan reglemen tanggal 9 Februari 1897 yaitu tentang Pengelolaan Hutan-hutan Negara di Jawa dan Madura 1897.

Gubernur Jenderal mengeluarkan Keputusan Gubernur Jenderal Nomor 21 tanggal 9 Februari 1897 sekaligus menetapkan peraturan pelaksanaannya, yaitu Reglemen untuk Jawatan Kehutanan Jawa dan Madura (Dienstreglement) yang berisi ketentuan-ketentuan tentang organisasi Jawatan Kehutanan dan ketentuan pelaksanaan Boschreglemen.

Reglemen ini berlaku selama 16 tahun dan kemudian diganti dengan Reglemen untuk Pemangkuan Hutan Negara di Jawa dan Madura 1913, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1914. Di Jawa hadir Jati Bedrift (perusahaan Jati) di Jateng dan Jatim dengan karyawan yang berasal dari Jawatan Kehutanan.

Tonggak penting kehutanan kolonial di Indonesia adalah ketika Reglemen Reglemen voor het Beheer der Bossen van den lande op Java en Madura 1927, yang secara singkat dan lebih populer dengan Bosordanntie voor Java en Madura atau selanjutnya disebut Ordonantie 1927. Boschordonantie ini mengatur pengelolaan hutan di Indonesia yang isinya dianggap lengkap sehingga diperlakukan seperti undang-undang.

Peraturan pelaksana dari Ordonansi Hutan 1927 ini adalah Reglemen voor de Dienst van het Boshwezen voor Java en Madoera yang disingkat dengan Boschdienstreglement voor Java en Madoera, diganti dengan Bepalingen met Betrekking tot s’land Boschbeheer op Java en Madoera (Ketentuan tentang Pengelolaan Hutan Negara di Jawa dan Madura) disingkat dengan Boschverordening voor Java en Madoera 1932.

Peraturan ini kemudian diperbaiki lagi pada tahun 1935, 1937, dan 1939. Latar belakang singkat tentang regulasi hutan oleh kolonial ini penting disampaikan sebab hingga kini penguasaan negara terhadap hutan terutama di Jawa direkonstruksi berdasar ketentuan-ketentuan tersebut.

Di luar Jawa, pada tahun 1913, pengelolaan hutan terpecah ke tangan jawatan Kehutanan, Pamongpraja, pemerintah swapraja, masyarakat adat, dan swasta. Di Sumatera Selatan, masyarakat menolak pemberlakuan domein verklaring dan meminta pemberlakuan khusus di Semanggus, Muara Enim. Pada 1914 konsesi-konsesi hutan di Kalimantan Timur marak.

Pada periode 1934 sampai dengan 1939 Peraturan “Hout Aankap Reglement” dikeluarkan oleh Residen Kalimantan Timur, pemerintah swapradja yang punya kekuasaan otonomi berdasar zelfbestuur dapat memberikan ijin penebangan hutan. Namun karena ijin tersebut dinilai merugikan maka pada tahun 1939 mulailah kekuasaan swapradja-swapradja dibatasi.

Pada masa Jepang
Pada masa Jepang tidak banyak yang berubah, berdasar Osamu Sirei No 1 Tahun 1942, tanggal 7 Maret 1942 Pemerintah Militer Jepang menyatakan bahwa seluruh wewenang badan-badan pemerintahan dan semua hukum serta peraturan yang selama ini berlaku, tetap dinyatakan berlaku kecuali apabila bertentangan dengan Peraturan-peraturan Militer Jepang. Ini berarti Ordonantie 1927 beserta aturan pelaksanaannya Boschverordening 1932 tentang Jawatan kehutanan beralih kepada Jepang.

ketika Indonesia merdeka, Jepang mengalihkan kekuasaan atas Jawatan tersebut melalui Surat Ketetapan Gunsaikanbu Keizaibutyo Nomor 1686/GKT tanggal 1 September 1945 tentang Peralihan Kekuasaan atas Jawatan Kehutanan dari Jepang kepada Republik Indonesia.

Masa kemerdekaan.
Pada tahun 1950, di bawah UUDS pasal 38 dan PP No 8 tahun 1953 kekuasaan swapradja diakhiri, kekuasaan swapradja diserahkan kepada pemerintah Provinsi (Gubernur) dan pengurusan hutan termasuk di bekas swapradja kembali sepenuhnya pada Jawatan Kehutanan. Pada masa-masa inilah hutan-hutan yang kritis selama masa perang dipulihkan, dan pemerintahan Orde Lama berkeinginan meningkatkan pendapatan negara dari sektor kehutanan (Semesta Berencana Tahap I tahun 1961-1969).

Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 1963 tentang Penyerahan Pengusahaan Hutan-hutan Tertentu kepada Perusahaan-perusahaan Kehutanan Negara diserahkan pengusahaan hutan-hutan tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian dan Agraria kepada Perusahaan-perusahaan Kehutanan Negara, perusahaan ini selanjutnya disebut Perhutani. Pada tahun 1964 bidang kehutanan yang sebelumnya berada di bawah Menteri Pertanian dan Agraria dipisah menjadi Departemen Kehutanan.

Masa Orde Baru
Akan tetapi pada masa Orde Baru terjadi perubahan kebijakan yang memfasilitasi eksploitasi sektor kehutanan secara massif yang dimulai dengan UU No 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing, dilanjutkan UU No 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, serta UU No 6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal dalam Negeri, halmana menunjukkan sekaligus menegaskan kuatnya orientasi eksploitatif sumber daya alam.

Adapun salah satu aturan turunannya adalah PP No 22 Tahun 1967 tentang Iuran Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Iuran Hasil Hutan. Pada tahun 1972 melalui PP No 15 Tahun 1972, Perhutani diubah menjadi beberapa unit, Unit I di Jateng, II di jatim, II di Jabar. Perhutani di Kalimantan diubah menjadi Inhutani I Kaltim, II Kalsel, III Kalteng dan Kalbar. Pada 1980-an semakin masiflah pemberian HPH (hak pengusahaan hutan) dan menyusul berikutnya HTI (hutan tanaman industri).

Pada tahun 1984 Dirjen Kehutanan diubah menjadi Departemen Kehutanan dengan SK Presiden RI No 15 Tahun 1984. Pasca orde baru Perhutani mengalami perubahan organisasi menjadi Perseroan Terbatas melalui PP No 14 tahun 2001 yang mempertegas orientasi untuk semata-mata mengeruk keuntungan, namun kemudian diubah kembali menjadi Perum pada tahun 2003 melalui PP No 30 tahun 2003, dan kini menjadi PP No 72 Tahun 2010 tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara.

Pengelolaan Hutan, Untuk Mengeruk Keuntungan.
Melalui gambaran perjalanan sejara singkat ini saya hendak menegaskan bahwa sejak masa kolonial orientasi pengelolaan hutan adalah untuk mengeruk keuntungan semata dengan mengabaikan hak-hak rakyat, tentu kecuali pada masa orde lama.

Di Jawa, pengelolaan hutan dengan tanaman utama jati adalah dalam rangka ekspor. Jawatan kehutanan dan Perhutani berkepentingan langsung atas hutan di Jawa, sementara di luar Jawa sejak awal pemerintahan swapradja sudah mengeksploitasi hutan melalui swasta dengan HPH (hak pengusahaan hutan) yang hingga ini masih diwariskan.

Pendek kata, kawasan kehutanan dan pengelolaannya merupakan replikasi atau rekonstruksi atas penguasaaan kawasan kehutanan masa kolonial berikut cara pengelolaannya. HPH dan HTI adalah warisan dari hak-hak pengusahaan yang diberikan oleh pemerintahan swapradja, sementara secara khusus untuk hutan Jawa juga warisan klaim teritorial kolonial (domain verklaring). (Oleh Arif Wibowo: Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PDI Perjuangan)
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Rakyat Selalu Kalah; Konflik Hutan Di Indonesia Terjadi, Sejak Masa Kolonial Belanda

Terkini

Close x