Translate

Iklan

Iklan

Selesaikan Konflik Agraria Segera

2/08/13, 20:25 WIB Last Updated 2013-02-13T15:12:56Z
(Oleh Arif Wibowo: Anggota Komisi II DPR RI)

Arif Wibowo (berboncengan) saat di lokasi konflik agraria
Jakarta, MAJALAH-GEMPUR.Com. Setidaknya selama 2 (dua) tahun belakangan ini hiruk pikuk jagad politik Indonesia marak diwarnai oleh konflik-konflik agraria yang muncul diberbagai daerah. Kondisinya sudah sangat memprihatinkan.

Pada akhir tahun 2011 hingga 2012 Publik dibuat terhenyak oleh mengemukanya konflik berdarah di Mesuji Lampung dan Sumatera Selatan, diikuti Sape, Bima, NTB kemudian Hardjo Kuncaran, Malang, Jatim, Langkat, Sumatera Utara; Cinta Manis Ogan Ilir, Sumatera Selatan dan lain-lain.

Sementara awal tahun 2013 aksi protes petani Jambi dan Mesuji, Lampung serta Blitar dengan cara berjalan kaki ratusan hingga ribuan kilometer ke Jakarta. Hal ini sungguh menambah keprihatinan kita bersama.

Maraknya konflik agraria sebagaimana dilaporkan BPN pada tahun 2010 yang lalu sebanyak + 8.000 kasus. Sementara KPA (Konsorsium Pembaharuan Agraria) mencatat + 1.700 kasus, Sawit Wacth mendata + 660 kasus konflik perkebunan sawit.

Sebagai anggota Komisi II DPR RI, saya telah menerima pengaduan sebanyak + 50 kasus selama 3 (tiga) tahun. Berbagai konflik agraria tersebut tak dapat dipungkiri merupakan konflik struktural yang berkaitan erat dengan kebijakan negara.

Konflik terbanyak dan termassif terjadi pada wilayah kehutanan dan perkebunan. Konflik agraria di sektor kehutanan meliputi konflik di hutan Jawa dan konflik perijinan pengelolaan hutan di luar Jawa. Konflik agraria di perkebunan meliputi konflik perkebunan swasta dan perkebunan negara.

Peranturan Perundang-undangan Memberikan Ruang Bagi Pemodal
Terjadinya Konflik Agraria ini, akibat kuatnya kepentingan pemodal baik swasta besar maupun modal asing. Sehingga kibijakan yang dibuat memberikan Ruang bagi mereka untuk memperluas ekspansi.

Hal ini terjadi sejak tetapkannya hukum Belanda berupa Boschwet 1865 hingga ordonantie 1927 dengan peraturan turunan 1932. Sedangkan di sektor perkebunan melalui Agrarische Wet 1860. Begitupun pada masa darurat 1956 menjelang nasionalisasi perkebunan eks kolonial.

Selanjutnya adalah politik pemandulan terhadap UU No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) dengan diberlakukannya UU sektoral, diantaranya UU No 5 Tahun 1967 Tentang Pokok-pokok Kehutanan yang selanjutnya direvisi dengan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Kebijakan sektoral tersebut lantas diperkuat oleh sektoralisme perundangan-undangan di bidang keagrariaan yang lain (Perkebunan, Pertambangan, Sumber Daya Air, Migas dll) tentu berimplikasi pada sektoralisme peraturan di bawahnya yang berlangsung semakin massif hingga kini.

Sejumlah peraturan perundangan-undangan sektoral saat ini diantaranya adalah: UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang-undang No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang, UU No 26 tahun 2006 Tentang Penataan Ruang, UU No 18 tahun 2004 Tentang Perkebunan, Undang-undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Undang-undang No. 13 Tahun 2010 tentang Holtikultura, Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Undang-undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dan sebagai “gong” adalah UU No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.

Selain UU sektoral tersebut ada 2 (dua) UU lain yang terkait dengan pengelolaan negara dalam sektor sumber daya alam yaitu UU No 1 Tahun 2000 Perbendaharaan Negara dan UU No 19 tahun 2004 BUMN, serta PP No 72 Tahun 2010 tentang Perusahaan Kehutanan Negara (Perhutani).

Sementara khusus untuk sektor kehutanan di luar Jawa, PP No 60 tahun 2012 Tentang Tentang Perubahan Atas PP Nomor 10 tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan merupakan kebijakan pemutihan atas ekspansi perkebunan sawit di kawasan hutan.

Semua peraturan perundang-undangan tersebut secara nyata telah memperluas ruang ekspansi modal swasta besar dan modal asing. Apalagi UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dengan PP No 40 Tahun 2007 sebagai turunannya, memberikan kesempatan modal asing untuk berinvestasi hingga 100% dalam semua sektor kehidupan bangsa.

Tak heran jika pada tahun 2011 investasi asing didominasi 5 (lima) negara besar : Singapura, Amerika, Jepang, Inggris (United Kingdom), British Virginia Island, meliputi tambang, listrik, gas, air, tranportasi, tanaman pangan, dan perkebunan.

Pertambangan di Indonesia 75 % dimiliki asing, di mana di pada tahun 2009 sebanyak 69,9% didominasi asing dengan 70% adalah perusahaan AS, sementara untuk industri sawit dikuasai oleh Guthrie Malaysia seluas 167.908 ha, Wilmar International Group Singapura seluas 85.000 ha, Hindoli Cargill Amerika seluas 63.455, Kuala Lumpur Kepong Bhd Malaysia 45.714 ha, SIPEF Group Belgia seluas 30.952 ha, serta Golden Hope Group Malaysia seluas 12.810 ha. Malaysia mendominasi ekspansi sawit.

Ketimpangan Penguasaan Agraria
Kondisi tersebut sungguh menggambarkan ketimpangan penguasaan agraria dimana asing mendominasi di negeri kita. Bangsa Indonesia telah secara nyata “menjadi budak di negeri sendiri”.

Ketimpangan penguasaan berikut pengelolaan sumber daya alam adalah fakta yang tak terbantahkan. Penguasaan lahan hutan oleh perusahaan besar pemegang ijin HPH dan/atau HTI rata-rata adalah 700.000 ha, bahkan ada pemegang hak HPH/HTI yang mencapai 2,6 juta ha, nyaris setara dengan penguasaan lahan oleh perusahaan kehutanan negara (Perhutani) di hutan Jawa. Di Jawa, Perhutani menguasai + 2,7 juta ha dengan luas lahan konflik seluruh Jawa sekitar +100.000 ha.

Bandingkan dengan penguasaan lahan oleh petani yang hanya mencapai rata-rata 0,25 ha di Jawa. Sementara produktivitas Perhutani hanya 0,52 meter kubik per hektar per tahun, sedangkan hutan rakyat + seluas 2 juta ha dengan produktivitas 2,72 meter kubik per hektar per tahun.

Maka tak heran jika Kepala BPN (2010) menyatakan hanya 0,2% penduduk menguasai 56% aset nasional, konsentrasi aset yang besar ini 62-87% dalam bentuk tanah.

Tak heran jika kini konflik agraria mengalami perluasan skala konflik meliputi luas lahan konflik, intensitas konflik, hingga aktor pelaku konflik yang tak lagi hanya melibatkan unsur rakyat menghadapi aparat keamanan, modal swasta nasional, tetapi juga modal global. Di akhir 2012 HUMA mencatat setidaknya 232 konflik agraria dengan luas areal konflik + 2.034.286 ha.

Upaya Menyelesaikan Konflik Agraria Tak Sungguh-Sungguh
Sementara itu upaya menyelesaikan konflik agraria tak pernah sungguh-sungguh dilakukan oleh Pemerintah dan DPR. Padahal TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang masih berlaku mengamanatkan Presiden dan DPR untuk
1)       Melakukan peninjauan kembali segala perundangan-undangan dan peraturan di bidang agraria yang selama ini sifatnya sektoral, tumpang tindih, dan tidak mengandung semangat untuk mengedepankan kepentingan rakyat banyak dalam hal penguasaan, pemanfaatan, dan pengelolaan tanah dan sumberdaya alam lainnya;
2)       melakukan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan yang lebih dikenal dengan istilah landreform, sekaligus dilakukan pendataan dan inventarisasi tanah untuk kepentingan landreform ini;
3)       menyelesaikan konflik-konflik agraria dan pengelolaan sumberdaya alam dengan berpegang pada prinsip menjunjung tinggi hak azasi manusia, termasuk memperkuat kelembagaan yang akan bertugas melaksanakan penyelesaian sengketa-sengketa ini;
4)       mengupayakan pembiayaan bagi program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik agraria maupun dalam pengelolaan sumberdaya alam.

Penghambat Penyelesaian Sengketa Agraria
Penyelesaian konflik agraria setidaknya terhambat oleh 3 (tiga) hal yaitu Aturan, Kelembagaan, dan Aksi Nyata. Problem aturan dalam penyelesaian konflik agraria terjadi akibat : Dualisme pengaturan alas hak sebagai warisan kolonial antara Boschwet 1865 sd Ordonantie 1927 dan Agrarische Wet 1870.

Sampai kini genetika seluruh UU sektoral berasal dari kedua hukum kolonial tersebut yang memilah pengaturan atas hutan dan non hutan. Terjadi tumpang tindih sekaligus saling menegasikan satu dengan lainnya.

Sementara problem kelembagaan adalah berupa kukuhnya ego sektoral lembaga negara yaitu DEPARTEMEN KEHUTANAN, KEMENTERIAN BUMN, KEMENTERIAN KEUANGAN, KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM (terkait tata ruang) dan Badan Pertanahan Nasional, serta perusahaan negara di kehutanan (Perhutani untuk hutan Jawa, Inhutani untuk luar Jawa) dan perkebunan (PTPN dan PDP). Lembaga setingkat badan yaitu BPN tentu tidak akan tidak sanggup dan mampu mengatasi ego sektoral lembaga setingkat kementerian.

Problem aksi nyata terlihat dari kebijakan pendekatan penyelesaian konflik. Selama ini upaya penyelesaian konflik agraria yang massif didekati dengan menggunakan 2 (dua) pendekatan yang jelas-jelas keliru yaitu pendekatan penyelesaian kasus per kasus dan pendekatan keamanan. Sementara itu Pemerintah selalu bersikap reaktif dalam penyelesaian konflik agraria melalui pembentukan tim-tim ad hoc seperti TGPF untuk kasus Mesuji maupun kasus Pulau Padang, dll.

Pendekatan keamanan juga kian tampak dikedepankan, terbukti dikeluarkannya Inpres No 2 Tahun 2013 Tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri. Pendekatan tersebut jelas tidak akan bisa menyelesaikan masalah dan bahkan sebaliknya akan mendorong maraknya kekerasan terhadap rakyat. Oleh karena itu Presiden harus MENCABUT Inpres tersebut secepat mungkin.

Timwas Penyelesaian Sengketa Pertanahan Dan Konflik Agraria, Mandul
Dalam rangka penyelesaian konflik agraria tersebut sungguh diperlukan terobosan kebijakan negara baik oleh DPR maupun Presiden.

DPR telah membentuk TIMWAS PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN DAN KONFLIK AGRARIA di mana pada tanggal 4 Juni 2012 Pimpinan DPR telah menandatangani keputusan Pimpinan DPR Nomor 24C/Pimp/IV/2011-2012 Tentang Pembentukan Tim Pengawasan DPR RI Terhadap Penyelesaian Sengketa Pertanahan dan Konflik Agraria.

Timwas ini terdiri dari 30 anggota DPR lintas komisi dan dipimpin Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Saudara Priyo Budi Santosa. Saya merupakan salah seorang anggota TIMWAS tersebut. Namun sungguh memprihatinkan, sejak pembentukannya hingga kini, kurang lebih 7 (tujuh) bulan, tidak ada ITIKAD dan INISIATIF Pimpinan DPR RI, untuk segera menyelenggarakan rapat guna membahas penyelesaian sengketa pertanahan dan konflik agraria.

Hal ini menunjukkan PIMPINAN DPR tidak serius dalam menjalankan amanat TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam sekaligus abai terhadap konflik agraria yang menyeruak di berbagai wilayah di Indonesia.

Pimpinan DPR agaknya telah sengaja mengulur waktu untuk tidak segera menyelesaikan konflik agraria, mengingat bakal mengganggu kepentingan para pemodal dan pemegang otoritas, sementara jutaan rakyat menjadi korban, tidak saja kehilangan harta benda dan tempat tinggal bahkan juga nyawa.

Oleh karena itu, selaku anggota Komisi II DPR RI sekaligus anggota TIMWAS mendesak agar segera diselenggarakan rapat-rapat TIMWAS PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN DAN KONFLIK AGRARIA.

Dibutuhkan Kemauan Kuat Dari DPR dan Presiden
Bahwa mengingat semakin massif dan kompleksnya konflik agraria maka dibutuhkan sungguh-sungguh adanya kemauan kuat dari DPR dan Presiden untuk mengambil kebijakan berikut memberi kerangka besar terhadap penyelesaian konflik agraria.
Secara mendasar sebagai berikut:
1.     DPR dan Presiden harus melakukan harmonisasi seluruh UU sektoral berikut peraturan perundang-undangan terkait agar tidak bertentangan dengan UU No 5 Tahun 1960 Tentang UUPA.
2.     DPR harus segera menggelar rapat gabungan lintas komisi untuk memanggil semua kementerian dan pihak ketiga/perusahaan negara perkebunan dan kehutanan terkait konflik agraria Kementerian Kehutanan, Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum, dan BPN, serta PTPN/PDP dan Perhutani.
3.     Presiden harus mengeluarkan Perppu untuk mengatasi tumpang tindih pengaturan sektoral terutama antara kehutanan dengan non hutan dan juga perkebunan.
4.     Presiden harus mengambil kebijakan dan langkah terobosan dalam mempercepat sekaligus mengefektifkan penyelesaian berbagai konflik agraria sesuai dengan karakteristik/tipologi konflik di masing-masing wilayah.
5.     Presiden harus mengkoordinasikan semua kementerian secara lebih fokus dan sungguh-sungguh dalam rangka penyelesaian konflik agraria dan mengatasi ego sektoral, setidaknya Kementerian Kehutanan, Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum, dan BPN.

Demikian pokok-pokok pikiran ini disampaikan, semoga menjadi perhatian kita semua serta dapat bermanfaat bagi kepentingan kemajuan bangsa dan negara.

Jakarta, 8 Februari 2013
*Arif Wibowo: Anggota Panja Pertanahan Komisi II DPR RI dan Anggota Tim Pengawas Penyelesaian Sengketa Pertanahan Dan Konflik Agraria DPR RI

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Selesaikan Konflik Agraria Segera

Terkini

Close x