(Oleh Arif
Wibowo: Anggota Komisi II DPR RI)
Jakarta, MAJALAH-GEMPUR.Com. Setidaknya selama 2 (dua) tahun belakangan
ini hiruk pikuk jagad politik Indonesia marak diwarnai oleh konflik-konflik
agraria yang muncul diberbagai daerah. Kondisinya sudah sangat memprihatinkan.
Arif Wibowo (berboncengan) saat di lokasi konflik agraria |
Pada akhir tahun 2011
hingga 2012 Publik dibuat terhenyak oleh mengemukanya konflik berdarah di
Mesuji Lampung dan Sumatera Selatan, diikuti Sape, Bima, NTB kemudian Hardjo
Kuncaran, Malang, Jatim, Langkat, Sumatera Utara; Cinta Manis Ogan Ilir,
Sumatera Selatan dan lain-lain.
Sementara awal tahun 2013
aksi protes petani Jambi dan Mesuji, Lampung serta Blitar dengan cara berjalan
kaki ratusan hingga ribuan kilometer ke Jakarta. Hal ini sungguh menambah keprihatinan
kita bersama.
Maraknya konflik agraria
sebagaimana dilaporkan BPN pada tahun 2010 yang lalu sebanyak + 8.000 kasus.
Sementara KPA (Konsorsium Pembaharuan Agraria) mencatat + 1.700 kasus, Sawit
Wacth mendata + 660 kasus konflik perkebunan sawit.
Sebagai anggota Komisi II
DPR RI, saya telah menerima pengaduan sebanyak + 50 kasus selama 3 (tiga)
tahun. Berbagai konflik agraria tersebut tak dapat dipungkiri merupakan
konflik struktural yang berkaitan erat dengan kebijakan negara.
Konflik terbanyak dan
termassif terjadi pada wilayah kehutanan dan perkebunan. Konflik agraria di
sektor kehutanan meliputi konflik di hutan Jawa dan konflik perijinan
pengelolaan hutan di luar Jawa. Konflik agraria di perkebunan meliputi konflik
perkebunan swasta dan perkebunan negara.
Peranturan Perundang-undangan
Memberikan Ruang Bagi Pemodal
Terjadinya Konflik Agraria ini,
akibat
kuatnya kepentingan pemodal
baik swasta besar maupun modal asing. Sehingga kibijakan yang dibuat memberikan
Ruang
bagi mereka untuk
memperluas
ekspansi.
Hal ini terjadi sejak tetapkannya
hukum Belanda berupa Boschwet 1865 hingga ordonantie 1927 dengan peraturan
turunan 1932. Sedangkan di sektor perkebunan melalui Agrarische Wet 1860.
Begitupun pada masa darurat 1956 menjelang nasionalisasi perkebunan eks
kolonial.
Selanjutnya adalah politik
pemandulan terhadap UU No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria (UUPA) dengan diberlakukannya UU sektoral, diantaranya UU No 5 Tahun
1967 Tentang Pokok-pokok Kehutanan yang selanjutnya direvisi dengan UU No 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Kebijakan sektoral
tersebut lantas diperkuat oleh sektoralisme perundangan-undangan di bidang
keagrariaan yang lain (Perkebunan, Pertambangan, Sumber Daya Air, Migas dll)
tentu berimplikasi pada sektoralisme peraturan di bawahnya yang berlangsung
semakin massif hingga kini.
Sejumlah peraturan
perundangan-undangan sektoral saat ini diantaranya adalah: UU No 41 Tahun 1999
Tentang Kehutanan, Undang-undang No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perpu No.
1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan menjadi Undang-undang, UU No 26 tahun 2006 Tentang Penataan Ruang, UU
No 18 tahun 2004 Tentang Perkebunan, Undang-undang No. 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Undang-undang No. 13 Tahun
2010 tentang Holtikultura, Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,
Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-undang No. 4 Tahun
2009 tentang Mineral dan Batubara, Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Undang-undang No. 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dan sebagai “gong” adalah
UU No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.
Selain UU sektoral
tersebut ada 2 (dua) UU lain yang terkait dengan pengelolaan negara dalam
sektor sumber daya alam yaitu UU No 1 Tahun 2000 Perbendaharaan Negara dan UU
No 19 tahun 2004 BUMN, serta PP No 72 Tahun 2010 tentang Perusahaan Kehutanan
Negara (Perhutani).
Sementara khusus untuk
sektor kehutanan di luar Jawa, PP No 60 tahun 2012 Tentang Tentang Perubahan
Atas PP Nomor 10 tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi
Kawasan Hutan merupakan kebijakan pemutihan atas ekspansi perkebunan sawit di
kawasan hutan.
Semua
peraturan perundang-undangan tersebut secara nyata telah memperluas ruang
ekspansi modal swasta besar dan modal asing. Apalagi UU No. 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal dengan PP No 40 Tahun 2007 sebagai turunannya,
memberikan kesempatan modal asing untuk berinvestasi hingga 100% dalam semua
sektor kehidupan bangsa.
Tak heran jika pada tahun
2011 investasi asing didominasi 5 (lima) negara besar : Singapura, Amerika,
Jepang, Inggris (United Kingdom), British Virginia Island, meliputi tambang,
listrik, gas, air, tranportasi, tanaman pangan, dan perkebunan.
Pertambangan di Indonesia
75 % dimiliki asing, di mana di pada tahun 2009 sebanyak 69,9% didominasi asing
dengan 70% adalah perusahaan AS, sementara untuk industri sawit dikuasai oleh
Guthrie Malaysia seluas 167.908 ha, Wilmar International Group Singapura seluas
85.000 ha, Hindoli Cargill Amerika seluas 63.455, Kuala Lumpur Kepong Bhd
Malaysia 45.714 ha, SIPEF Group Belgia seluas 30.952 ha, serta Golden Hope
Group Malaysia seluas 12.810 ha. Malaysia mendominasi ekspansi sawit.
Ketimpangan Penguasaan Agraria
Kondisi tersebut sungguh menggambarkan ketimpangan
penguasaan agraria dimana asing mendominasi di negeri kita. Bangsa Indonesia
telah secara nyata “menjadi budak di negeri sendiri”.
Ketimpangan penguasaan
berikut pengelolaan sumber daya alam adalah fakta yang tak terbantahkan.
Penguasaan lahan hutan oleh perusahaan besar pemegang ijin HPH dan/atau HTI
rata-rata adalah 700.000 ha, bahkan ada pemegang hak HPH/HTI yang mencapai 2,6
juta ha, nyaris setara dengan penguasaan lahan oleh perusahaan kehutanan negara
(Perhutani) di hutan Jawa. Di Jawa, Perhutani menguasai + 2,7 juta ha dengan
luas lahan konflik seluruh Jawa sekitar +100.000 ha.
Bandingkan dengan
penguasaan lahan oleh petani yang hanya mencapai rata-rata 0,25 ha di Jawa.
Sementara produktivitas Perhutani hanya 0,52 meter kubik per hektar per tahun,
sedangkan hutan rakyat + seluas 2 juta ha dengan produktivitas 2,72 meter kubik
per hektar per tahun.
Maka tak heran jika Kepala
BPN (2010) menyatakan hanya 0,2% penduduk menguasai 56% aset nasional,
konsentrasi aset yang besar ini 62-87% dalam bentuk tanah.
Tak heran jika kini
konflik agraria mengalami perluasan skala konflik meliputi luas lahan konflik,
intensitas konflik, hingga aktor pelaku konflik yang tak lagi hanya melibatkan
unsur rakyat menghadapi aparat keamanan, modal swasta nasional, tetapi juga
modal global. Di akhir 2012 HUMA mencatat setidaknya 232 konflik agraria dengan
luas areal konflik + 2.034.286 ha.
Upaya Menyelesaikan Konflik Agraria Tak
Sungguh-Sungguh
Sementara itu upaya menyelesaikan konflik agraria tak
pernah sungguh-sungguh dilakukan oleh Pemerintah dan DPR. Padahal TAP MPR Nomor
IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang
masih berlaku mengamanatkan Presiden dan DPR untuk
1)
Melakukan
peninjauan kembali segala perundangan-undangan dan peraturan di bidang agraria
yang selama ini sifatnya sektoral, tumpang tindih, dan tidak mengandung
semangat untuk mengedepankan kepentingan rakyat banyak dalam hal penguasaan,
pemanfaatan, dan pengelolaan tanah dan sumberdaya alam lainnya;
2)
melakukan
penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang
berkeadilan yang lebih dikenal dengan istilah landreform, sekaligus dilakukan
pendataan dan inventarisasi tanah untuk kepentingan landreform ini;
3)
menyelesaikan
konflik-konflik agraria dan pengelolaan sumberdaya alam dengan berpegang pada
prinsip menjunjung tinggi hak azasi manusia, termasuk memperkuat kelembagaan
yang akan bertugas melaksanakan penyelesaian sengketa-sengketa ini;
4)
mengupayakan
pembiayaan bagi program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik
agraria maupun dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Penghambat Penyelesaian Sengketa Agraria
Penyelesaian konflik agraria setidaknya terhambat oleh
3 (tiga) hal yaitu Aturan, Kelembagaan, dan Aksi Nyata. Problem aturan dalam
penyelesaian konflik agraria terjadi akibat : Dualisme pengaturan alas hak
sebagai warisan kolonial antara Boschwet 1865 sd Ordonantie 1927 dan Agrarische
Wet 1870.
Sampai kini genetika
seluruh UU sektoral berasal dari kedua hukum kolonial tersebut yang memilah
pengaturan atas hutan dan non hutan. Terjadi tumpang tindih sekaligus saling
menegasikan satu dengan lainnya.
Sementara problem
kelembagaan adalah berupa kukuhnya ego sektoral lembaga negara yaitu DEPARTEMEN
KEHUTANAN, KEMENTERIAN BUMN, KEMENTERIAN KEUANGAN, KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM
(terkait tata ruang) dan Badan Pertanahan Nasional, serta perusahaan negara di
kehutanan (Perhutani untuk hutan Jawa, Inhutani untuk luar Jawa) dan perkebunan
(PTPN dan PDP). Lembaga setingkat badan yaitu BPN tentu tidak akan tidak
sanggup dan mampu mengatasi ego sektoral lembaga setingkat kementerian.
Problem aksi nyata
terlihat dari kebijakan pendekatan penyelesaian konflik. Selama ini upaya
penyelesaian konflik agraria yang massif didekati dengan menggunakan 2 (dua)
pendekatan yang jelas-jelas keliru yaitu pendekatan penyelesaian kasus per
kasus dan pendekatan keamanan. Sementara itu Pemerintah selalu bersikap reaktif
dalam penyelesaian konflik agraria melalui pembentukan tim-tim ad hoc seperti
TGPF untuk kasus Mesuji maupun kasus Pulau Padang, dll.
Pendekatan keamanan juga
kian tampak dikedepankan, terbukti dikeluarkannya Inpres No 2 Tahun 2013
Tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri. Pendekatan tersebut jelas
tidak akan bisa menyelesaikan masalah dan bahkan sebaliknya akan mendorong
maraknya kekerasan terhadap rakyat. Oleh karena itu Presiden harus MENCABUT
Inpres tersebut secepat mungkin.
Timwas Penyelesaian Sengketa Pertanahan Dan Konflik
Agraria, Mandul
Dalam rangka penyelesaian konflik agraria tersebut
sungguh diperlukan terobosan kebijakan negara baik oleh DPR maupun Presiden.
DPR telah membentuk TIMWAS
PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN DAN KONFLIK AGRARIA di mana pada tanggal 4
Juni 2012 Pimpinan DPR telah menandatangani keputusan Pimpinan DPR Nomor
24C/Pimp/IV/2011-2012 Tentang Pembentukan Tim Pengawasan DPR RI Terhadap
Penyelesaian Sengketa Pertanahan dan Konflik Agraria.
Timwas ini terdiri dari 30
anggota DPR lintas komisi dan dipimpin Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang
Politik dan Keamanan, Saudara Priyo Budi Santosa. Saya merupakan salah seorang
anggota TIMWAS tersebut. Namun sungguh memprihatinkan, sejak pembentukannya
hingga kini, kurang lebih 7 (tujuh) bulan, tidak ada ITIKAD dan INISIATIF
Pimpinan DPR RI, untuk segera menyelenggarakan rapat guna membahas penyelesaian
sengketa pertanahan dan konflik agraria.
Hal ini menunjukkan
PIMPINAN DPR tidak serius dalam menjalankan amanat TAP MPR Nomor IX/MPR/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam sekaligus abai
terhadap konflik agraria yang menyeruak di berbagai wilayah di Indonesia.
Pimpinan DPR
agaknya telah sengaja mengulur waktu untuk tidak segera menyelesaikan konflik
agraria, mengingat bakal mengganggu kepentingan para pemodal dan pemegang
otoritas, sementara jutaan rakyat menjadi korban, tidak saja kehilangan harta
benda dan tempat tinggal bahkan juga nyawa.
Oleh karena itu, selaku
anggota Komisi II DPR RI sekaligus anggota TIMWAS mendesak agar segera
diselenggarakan rapat-rapat TIMWAS PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN DAN
KONFLIK AGRARIA.
Dibutuhkan Kemauan Kuat Dari DPR dan Presiden
Bahwa mengingat semakin massif dan kompleksnya konflik
agraria maka dibutuhkan sungguh-sungguh adanya kemauan kuat dari DPR dan
Presiden untuk mengambil kebijakan berikut memberi kerangka besar terhadap
penyelesaian konflik agraria.
Secara mendasar sebagai berikut:
1.
DPR dan Presiden
harus melakukan harmonisasi seluruh UU sektoral berikut peraturan
perundang-undangan terkait agar tidak bertentangan dengan UU No 5 Tahun 1960
Tentang UUPA.
2. DPR harus segera menggelar rapat gabungan lintas
komisi untuk memanggil semua kementerian dan pihak ketiga/perusahaan negara
perkebunan dan kehutanan terkait konflik agraria Kementerian Kehutanan,
Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum, dan BPN,
serta PTPN/PDP dan Perhutani.
3. Presiden harus mengeluarkan Perppu untuk mengatasi
tumpang tindih pengaturan sektoral terutama antara kehutanan dengan non hutan
dan juga perkebunan.
4. Presiden harus mengambil kebijakan dan langkah
terobosan dalam mempercepat sekaligus mengefektifkan penyelesaian berbagai
konflik agraria sesuai dengan karakteristik/tipologi konflik di masing-masing
wilayah.
5. Presiden harus mengkoordinasikan semua kementerian
secara lebih fokus dan sungguh-sungguh dalam rangka penyelesaian konflik
agraria dan mengatasi ego sektoral, setidaknya Kementerian Kehutanan, Kementerian
BUMN, Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum, dan BPN.
Demikian pokok-pokok
pikiran ini disampaikan, semoga menjadi perhatian kita semua serta dapat
bermanfaat bagi kepentingan kemajuan bangsa dan negara.
Jakarta, 8 Februari 2013
*Arif Wibowo:
Anggota Panja Pertanahan Komisi II DPR RI dan Anggota Tim Pengawas Penyelesaian
Sengketa Pertanahan Dan Konflik Agraria DPR RI