Jakarta. MAJALAH-GEMPUR.Com. Dampak dari penerapan Demokrasi liberal di
Indonesia ternyata membutuhkan biaya yang sangat tinggi, akhirnya menjadi beban
politik yang harus dikembalikan saat seseorang berkuasa.
"saat ini semua calon terpilih baik untuk
legislatif maupun kepala daerah berupaya
untuk mengembalikan biaya politik yang besar, salah satu caranya dengan
melakukan korupsi. Karenanya korupsi akan semakin marak dan sulit
diberantas." pungkas Rimbawan. (eros)
Demikian penjelasan
pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Dr. Donny Tjahja Rimbawan dalam
diskusi terbatas Institut Transparansi Kebijakan (ITK), dibilangan Cikini
Jakarta, Sabtu (22/6) siang.
Dari hitungan Rimbawan
dalam pengelolaan partai politik saja selama lima tahun, biaya yang harus di
keluarkan oleh Parpol berkisar Rp.188,700 Milyar untuk keberadaan kantor parpol
di Kabupaten/Kota dan Ibu kota Provinsi.
"Biaya lebih besar
juga dikeluarkan oleh para Caleg yang akan duduk di DPR RI dan DPRD, setidaknya
jika diakumulasi akan mengeluarkan dana berkisar Rp.160,120 Trilyun,"
papar Rimbawan.
Dalam pemilihan kepala
daerah baik untuk menjadi Bupati, walikota maupun Gubernur biaya yang
dikeluarkan para calon juga begitu besar dan tidak sebanding dengan pendapatan
yang diterima selama lima tahun berkuasa.
"Untuk pemilihan
kepala daerah setidaknya dana yang gelontorkan diseluruh Indonesia mencapai
Rp.23,180 Trilyun, dengan perhitungan seorang calon Gubernur mengeluarkan dana
rata-rata Rp.25 Milyar dan seorang calon Bupati / walikota mengeluarkan dana
berkisar Rp.10 Milyar," terangnya.
Ajang lima tahunan
pemilihan Presiden juga tidak hebatnya dana yang dibutuhkan oleh para Capres,
"Seorang capres setidaknya membutuhkan dana berkisar Rp.7 Trilyun untuk
bisa menggaet 70 juta suara rakyat Indonesia." ungkapnya.
Sehingga, menurut
Rimbawan, total dana yang keluarkan sebagai biaya politik selama lima tahun
mencapai Rp.190,488 Trilyun. "Dana sebesar ini tidak sebanding dengan
nilai demokrasi yang seharusnya mensejahterahkan rakyat Indonesia,"
tambahnya.
Menurut Rimbawan, jika
sistem Demokrasi seperti ini tetap dipertahankan dan diteruskan, maka rakyat
Indonesia hanya disibukkan dengan proses politik yang tidak henti-hentinya,
"Sekarang pemilu sudah ada dari pemilihan kepala desa hingga pemilihan
Presiden, energi rakyat terkuras hanya untuk menjalankan proses politik,
pembangunan sosial ekonomi dan sektor lainnya akhirnya terlupakan." terang
Rimbawan.
Diungkapkannya, proses
politik dengan sistem pemilihan langsung yang terjadi saat ini justru telah
keluar dari landasan negara kita yakni Pancasila. "Dalam sila ke-4 secara
jelas menegaskan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan / perwakilan. Ini mengandung pengertian pemilihan pemimpin
bukan dipilih secara langsung tapi dipilih melalui perwakilan." urainya.
Dicontohkannya, pemilihan
kepala daerah dan Presiden seharusnya dipilih oleh DPRD untuk kepala daerah dan
Presiden dipilih oleh MPR, "Sistem yang ada di zaman orde baru sudah
tepat, pemilihan hanya ditujukan untuk wakil rakyat yakni DPRD dan DPR
RI," paparnya.
Dengan menyederhanakan
sistem pemilihan ini, sudah tentu biaya yang dikeluarkan juga lebih minimal
yang akhirnya berdampak pada upaya menekan perilaku koruptif penguasa dan
anggota legislatif terpilih.