Heri Aryanto, SH (Tim Pusat Advokasi dan Hak Asasi Manusia /PAHAM
Indonesia)
Kejahatan
kemanusian dan genosida yang berlangsung di Arakan, Myanmar selama puluhan tahun
membawa penderitaan berkepanjangan bagi etnis Rohingya. Kejadian ini menjadikannya
imigran gelap di tanah kelahirannya sendiri.
Tim PAHAM di rumah ortu Nasima Pasurjambe Lumajang |
Tidak hanya diusir, disiksa dan dibunuh, sejak tahun 1982 Rohingya
tidak lagi diakui sebagai warga negara oleh pemerintah dan etnis mayoritas di
Myanmar. Kondisi ini membawa mereka
pada penderitaan tak berkesudahan. Penderitaan dan diskriminasi yang dialami
oleh Rohingya sudah berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Ketakutan
dan kehilangan baik harta dan sanak saudara tercinta selalu menghantui mereka
sepanjang waktu.
Tak ada tempat yang aman di tanah kelahirannya sendiri. Etnis
mayoritas dan pemerintah memposisikan mereka sebagai ancaman yang harus
dilenyapkan. Tak mengherankan jika pembantaian, pengusiran, pengrusakan selalu
terjadi setiap hari dan Rohingya selalu berada pada posisi yang lemah untuk
mempertahankan hak-haknya.
Kondisi mereka yang semakin terancam di bumi Arakan, menyebabkan
mereka harus menyelematkan diri. Mereka keluar dari Arakan menjadi pencari
suaka dan pengungsi dengan cara mengarungi lautan luas dan menerjang ganasnya
ombak menuju negara-negara tujuan, terutama negara-negara yang bisa dijadikan
tempat berlindung dan mencari penghidupan.
Bangladesh, Malaysia, dan Australia adalah negara-negara tujuan
utama bagi Rohingya untuk dijadikan tempat bermukim. Alasannya, Bangladesh
adalah negara tetangga yang jaraknya paling dekat dan secara fisik juga mempunyai
keterkaitan sejarah yang sangat dekat dengan etnis Bengali. Namun malangnya, saat
ini pemerintah Bangladesh mempunyai kebijakan menolak pengungsi atau pencari
suaka dari Rohingya untuk masuk ke wilayah Bangladesh baik dari darat melalui
perbatasan (border) maupun melalui jalur laut.
Banyak Rohingya yang coba menembus jalur laut, yang akhirnya
terusir kembali ke laut dan terapung selama berhari-hari tanpa nasib yang
jelas. Bahkan yang lebih menyedihkan, dalam perjalanan laut menuju bangladesh
dan negara tujuan lainnya, banyak yang akhirnya kehilangan nyawanya baik akibat
cuaca yang ekstrim maupun karamnya kapal yang ditumpanginya
Tidak hanya itu, menurut pengakuan tiga orang Rohingya dari kapal
berbeda yang ditemui di Penampungan sementara di Langsa, Louksemawe, dan Aceh
Besar (Aceh) pada bulan Maret-April 2013, menceritakan bahwa dalam perjalanan mereka
dari Myanmar menuju Malaysia, mereka
ditembaki oleh orang-orang yang mereka kenali sebagai tentara Thailand ketika
memasuki teritori perairan Thailand. Mereka kemudian “digiring” ke tepi pantai
yang tiada penghuninya.
Mesin-mesin kapal mereka “dicopot” dan bahan makanan yang tersisa
kemudian diambil. Tersisa hanya kapal-kapal “butut” tak bermesin dan
orang-orang Rohingya dengan wajah penuh kesedihan. Mereka kemudian digiring
kembali ke tengah laut tanpa sedikit-pun makanan yang tersisa. Mereka
bersyukur, di tengah ketidakjelasan nasib mereka di tengah laut,
nelayan-nelayan Aceh menemukan mereka, memberinya makan, dan membawa mereka ke
daratan Aceh.
Sementara pilihan Negara Malaysia sebagai tempat berlindung adalah
alasan banyaknya komunitas Rohingya yang sekarang bermukim di Malaysia. Menurut
Habib Ullah, salah seorang Rohingya yang tinggal di Malaysia menyebutkan bahwa
jumlah Rohingya pada tahun 2013 diperkirakan lebih dari empat puluh lima ribu
orang. Namun demikian, meskipun negara Malaysia mengizinkan mereka tinggal dan
menikah di Malaysia, namun mereka secara formal tidak dapat mengakses
pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan. Sehingga pada akhirnya, banyak Rohingya
yang kemudian mencari peruntungan lain di negara-negara seperti Australia dan
Indonesia.
Australia sendiri merupakan negara yang telah meratifikasi
konvensi internasional tentang Status Pengungsi dan Protokolnya. Faktor penarik
ini yang kemudian menyebabkan Rohingya “berbondong-bondong” ke Australia. Meskipun
pemerintah Australia saat ini mempunyai kebijakan superketat terhadap para
pengungsi yang datang ke negaranya, namun gelombang kepergian Rohingya dari
Myanmar, Malaysia, dan Indonesia menuju Australia semakin deras. Bahkan
kebijakan pemerintah Australia baru-baru ini sangat represif terhadap para
pencari suaka dan pengungsi yang datang ke Australia dan akan mengirimkan mereka ke Papua Nugiini. Entah mereka
mengetahui atau tidak, yang pasti mereka sangat menginginkan pergi ke negara
Australia. Menurut mereka, selain hak-hak para pengungsi dan pencari suaka
diakui dan diakomodir, juga karena alasan adanya keluarga yang telah berhasil
menetap di Australia.
Nasib Rohingya, yang datang ke Indonesia, meskipun dengan cara
yang tidak seragam, namun mempunyai penderitaan yang sama yaitu diperangi dan
tidak diakui sebagai warga negara dan etnis Myanmar. Akibatnya mereka tidak
mempunyai identitas kewarganegaraan sehingga tidak bisa mendapatkan hak-hak
dasar sebagai manusia, seperti halnya hak hidup., hak kemerdekaan bergerak, hak
atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan yang layak, dan sebagainya. Padahal jika
menilik pada Universal Declaratin of
Human Rights 1948 atau Deklarasi Hak Asasi Manusia Sedunia tahun 1948, hak
atas kewarganegaraan merupakan hak asasi atau hak fundamental dari seorang
manusia yang menetap di suatu negara.
Status kewarganegaraan merupakan hak asasi setiap manusia, yang
telah dijamin oleh Universal
Declararation of Human Rights (UDHR) 1948, Konstitusi Negara RI, dan UU No.
39 tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia. Di dalam Pasal 15 ayat (1) UDHR,
disebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak kewarganegaraan : Article 15 UHDR :
Everyone has the right to a nationality. No
one shall be arbitrarily deprived of his nationality nor denied the right to
change his nationality.
Sementara dalam tataran hukum positif, hak atas
kewarganegaraan juga diatur di dalam Konstitusi Negara RI yaitu Pasal 18D UUD
Negara RI Tahun 1945 dan di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
Pasal 28 D UUD
1945 :
Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Setiap orang berhak untuk
bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja. Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
Pasal 53 UU No. 13 Tahun 1999 :
Setiap
anak sejak dalam kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan
meningkatkan taraf kehidupannya. Setiap anak sejak kelahirannya. berhak atas
suatu nama dan status kewarganegaraan.
Dengan demikian, tidak boleh seorang pun di dunia ini yang
dibiarkan hidup tanpa kewarganegaraan, terlebih membiarkan orang lain dan
negara mencabut secara semena-mena hak kewarganegaraannya. Hak atas
kewarganegaraan merupakan hak asasi sehingga tindakan mencabut secara
sewenang-wenang kewarganegaraan seseorang dalam hal ini Rohinggya, merupakan
perbuatan pelanggaran hak asasi manusia.
Menurut hukum kewarganegaraan Indonesia yang berlaku saat ini
yaitu UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, sistem atau asas
kewarganegaraan Indonesia menganut asas kewarganegaraan berdasarkan hubungan
darah (ius sanguinis) maupun
kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran (ius soli). Selain menganut sistem kewarganegaraan, Indonesia juga
menganut sistem pewarganegaraan bagi orang asing yang memenuhi persyaratan
berdasarkan undang-undang antara lain telah menetap minimal 5 (lima) tahun
berturut-turut atau 10 (sepuluh) tahun secara tidak berturut-turut. Dengan
demikian Warga Negara Indonesia (“WNI”) terdiri orang-orang dari bangsa
indonesia asli dan dari bangsa lain yang disahkan undang-undang.
Dalam setiap konflik, setiap perang, setiap peristiwa pelanggaran
HAM berat, maka anak-anak dan perempuan selalu menjadi korban. Tidak terkecuali
di Arakan, anak-anak Rohingya harus menerima takdir sebagai anak yang
dilahirkan dalam kondisi memprihatinkan tanpa kewarganegaraan dan tanpa hak-hak
dasar yang seharusnya mereka miliki.
Tidak hanya itu, hanya sekedar untuk menikmati masa kecilnya pun
mereka sepertinya tidak bisa. Kondisi perkampungan yang sudah rata dengan
tanah, rumah ibadah hangus, dan Rohingya sudah terkonsentrasi di tenda-tenda
pengungsian dan shelter di pinggiran
pantai Arakan menjadi bukti tidak ada lagi tempat bermain yang aman untuk
mereka.
Jumlah populasi Rohingya pun semakin turun drastis. Diperkirakan
dari jumlah 5 juta orang Rohingya, di bulan mei 2013 ketika Penulis mengunjungi
pengungsian Rohingya di Arakan, tersisa hanya 120.000 orang saja.
Kondisi ini pun sangat memprihatinkan ditambah lagi tempat
berteduh mereka yang juga sangat memprihatinkan, terutama ketika musim
penghujan datang. Anak-anak Rohinya yang tidak berdosa ini, sejak lahir harus
menanggung penderitaan atas kekejaman pemerintah dan etnis mayoritas yang tidak
mengakui mereka dan memerangi mereka.
Nasib
Nasima, Anak Rohingya Dari Lereng Gunung Semeru
Indonesia merupakan salah satu negara yang saat ini cukup banyak
menampung pengungsi asal Rohingya. Dari hasil investigasi Pusat Informasi dan
Advokasi Rohingya Arakan (PIARA) – PAHAM INDONESIA dibulan Maret – April 2013,
diperkirakan lebih dari 1.000 orang Rohingya yang sudah terdampar di Indonesia,
baik karena ditangkap oleh Imigrasi Indonesia, ditolong nelayan Indonesia,
maupun sengaja menyerahkan diri ke Indonesia.
Rohingya yang ditangkap oleh pihak Imigrasi adalah mereka yang
memasuki wilayah Indonesia melalui jalur illegal.
Tujuan mereka pada umumnya adalah Australia. Mereka berasal dari Myanmar
langsung, atau dari Malaysia karena sudah bosan tinggal di sana akibat
ketidakjelasan status.
Sementara mereka yang ditolong nelayan Indonesia adalah Rohingya
yang terdampar di lautan tanpa tujuan yang jelas. Di Ladong Aceh, PIARA
menemukan 1 (satu) rombongan Rohingya dari Myanmar langsung yang terdampar di
laut Aceh. Mereka tidak mempunyai destanasi dan hanya ingin keluar dari Arakan
untuk menyelamatkan diri. Mereka diselamatkan oleh Nelayan Aceh dan di bawa ke
Sabang, kemudian dipindahkan ke Aceh Besar.
Sedangkan yang sengaja menyerahkan diri adalah Rohingya yang sudah
hopeless dan tidak mempunyai uang dan
makanan. Mereka berharap dengan menyerahkan diri, mereka bisa mendapatkan
makanan dan uang dari Lembaga Pengungsi Internasional (UNHCR) maupun pemerintah
Indonesia.
Di samping alasan tersebut, Rohingya yang terdampar di Indonesia
adalah mereka yang dibohongi oleh tekong-tekong yang mereka sewa. Pada umumnya
mereka menyewa tekong-tekong sekian ratus juta untuk bisa membawa mereka ke
Australia. Pengalaman ini yang dialami oleh satu keluarga Rohingya (18 orang)
yang terdampar di Jakarta akibat dibohongi oleh Tekong yang akan membawanya ke
Australia.
Mereka telah mengeluarkan seratus lima puluh juta lebih kepada
tekong tersebut untuk bisa ke Australia dari Malaysia. Uang tersebut mereka
kumpulkan dari hasil bekerja secara informal di Malaysia. Namun, sayangnya
mereka ditipu dan ditelantarkan di Jakarta.
Alasan lainnya adalah karena ingin tinggal bersama istrinya yang
WNI. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, jumlah Rohingya di Malaysia sudah
mencapai empat puluh lima ribu orang, dimana mereka selain bisa tinggal, juga
bisa menikah dengan bantuan penghulu dari komunitasnya. Selain itu, Buruh
Migran Indonesia atau biasa kita menyebutnya “TKI” juga banyak yang bekerja di
Indonesia. Pada akhirnya banyak juga laki-laki Rohingya yang menikah dengan
wanita Indonesia di Malaysia. Setelah menikah dan mempunyai anak, si wanita
pulang kembali ke Indonesia, dan si laki-laki Rohingya ikut dengan wanita
tersebut dan tertangkap di Indonesia karena tidak mempunyai dokumen yang resmi.
Inilah yang saat ini dialami oleh Abu Kasim (Rohingya) dengan Tina
(WNI). Mereka menikah di Seremban, Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun 1998, dan
melahirkan seorang anak bernama Nasima yang lahir pada tahun 2001 di Ceras,
Kuala Lumpur, Malaysia. Nasima lahir di rumah sewa kedua orang tuanya melalui
bantuan bidan setempat. Nasima lahir tanpa dokumen kelahiran maupun
kewarganegaraan karena Rohingya sendiri tidak mempunyai kewarganegaraan.
Tina, Ibunda Nasima merupakan WNI asal Lumajang. Lahir di Dusun Ngampo
– Pasrujambe Kabupaten Lumajang, tepatnya di Lereng Gunung Semeru. Tina menjadi TKI pada tahun 1997, sampai
akhirnya dia bertemu dengan Abu Kasim pada tahun 1998, dan beberapa bulan
kemudian menikah di depan Penghulu Rohingya di Seremban, Malaysia.
Tiga tahun setelah menikah lahirlah Nasima di Malaysia dan menjadi
salah satu anak Rohingya keturunan Indonesia atau anak Indonesia keturunan
Rohingya. Setelah lebih dari 15 tahun menetap dan bekerja di Malaysia, Tina
pulang ke Indonesia pada bulan keenam di tahun 2013. Namun kepulangannya
tersebut tidak bersama suami dan anaknya, karena keduanya tidak bisa ikut
bersama Tina dengan alasan dokumen kewarganegaraan. Sampai akhirnya, Abu Kasim
dan Nasima berangkat juga mengunjungi Tina di Lumajang dengan menumpangi kapal
boat.
Namun naas, kapal boat yang ditumpanginya terbalik dan keduanya tejatuh
ke laut. Syukur Alhamdulillah, mereka diselamatkan oleh Nelayan Aceh dan dibawa
ke Meulaboh. Sampai akhirnya mereka saat ini dipindahkan ke Rudenim Bali.
Sementara konsep Rudenim saat ini yang diberlakukan untuk para
pengungsi dan pencari suaka, tidaklah
tepat dan justru menimbulkan masalah-masalah baru. Di Medan, selain
overload, para pengungsi ditahan di tempat yang sama dengan para penjahat
imigrasi. Pada akhirnya kondisi ini menimbulkan kerusuhan antara Rohingya
sebagai pengungsi dengan Nelayan Myanmar yang ditangkap di perairan Indonesia.
Dari peristiwa tersebut, 8 orang nelayan Myanmar tewas terbunuh di
dalam kerusuhan tersebut, yang bermula dari isu pelecehan yang dilakukan
Nelayan Myanmar kepada perempuan Rohingya. Di Tanjung Pinang, beberapa orang
mencoba melarikan diri, dan ada yang meninggal pada saat melarikan diri. Tidak
hanya itu, konsep Rudenim yang tidak memberikan hak kepada pengungsi untuk
mendapatkan pendidikan, pekerjaan, bersosialisasi telah menjadikan pengungsi
Rohingya penjahat di negeri Muslim terbesar. Padahal mereka hanya ingin
berlindung dan mencari penghidupan yang lebih baik di Indonesia.
Menurut hukum kewarganegaraan Indonesia Nasima adalah anak
Indonesia atau berkewarganegaraan Indonesia, karena dilahirkan oleh seorang Ibu
yang berkewarganegaraan Indonesia. Hal ini jelas tercantum di dalam Pasal 1
huruf (d) UU No. 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan, yang menyebutkan sebagai berikut :
anak yang lahir dari perkawinan yang
sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia;
anak yang lahir dari perkawinan yang
sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai
kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan
kepada anak tersebut;
Keinginan
Nasima untuk bisa tinggal bersama ibu dan ayahnya di Indonesia serta memiliki
status kewarganegaraan Indonesia dan bisa bersekolah layaknya anak-anak
seusianya tidak lagi sebuah angan-angan semata, karena hak tersebut dijamin
oleh hukum dan undang-undang Indonesia. Saat ini sejauh mana kita bisa membantu
Nasima mewujudkan harapannya dan sejauh mana kebijakan pemerintah Indonesia
terhadap kasus Nasima ini. Kasus seperti ini bukanlah satu-satunya, dan jika
pemerintah Indonesia mempunyai kebijakan yang baik terkait penanganan
pengungsi, baik yang belum mendapatkan Refugee Card maupun yang sudah, dan baik
yang ditahan di Rudenim, maupun yang tinggal di community house, sehingga penanganan pengungsi terutama Rohingya makin
manusiawi dan hak-hak dasarnya terpenuhi.
Di sisi lain,
disamping merupakan sebuah hak, menjadi kewajiban negara di sisi lain (dalam
hal ini Pemerintah Indonesia) untuk memberikan hak kewarganegaraan tersebut,
atau setidak-tidaknya untuk tidak menghalangi seseorang untuk mendapatkan
status kewarganegaraan Indonesia. Kewajiban ini sebagaimana tertuang di dalam
Pasal 36 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2006
yang menyebutkan :
Pejabat yang karena kelalaiannya
melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang
ini sehingga mengakibatkan seseorang kehilangan hak untuk memperoleh atau
memperoleh kembali dan/atau kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun.
Dengan demikian, nasima
merupakan anak Indonesia yang berhak mendapatkan hak-hak dasar, terutama diakui
sebagai WNI dan bisa mengakses pendidikan formal setinggi-tingginya agar bisa
berguna untuk dirinya, keluarganya, bangsa Indonesia, agama islam, dan etnisnya.
Amin ya Robbal Alamin. (midd)