Jember, MAJALAH-GEMPUR.Com. Edi Fitrianto, mengaku kecewa kinerja
penghulu KUA Mumbulsari. Pasalnya Jum’at (15/1), petugas pencatat
nikah tak hadir saat proses akat nikah salah seorang keluarganya.
Ktidak hadirannya membuat
Warga Dusun Angsana, Desa/Kecamatan Mumbulsari ini merasa malu. “Saya malu,
padahal saya sudah membayar semua persyaratan dan administrasi yang telah
diminta oleh petugas KUA,” katanya, kepada sejumlah wartawan, Senin (18/1).
Menurutnya, saat itu dia
menikahkan saudara iparnya yang bernama Suswanto, asal Dusun Sumberrejo, Desa
Pondokrejo, Kecamatan Tempurejo. Pemuda 32 tahun ini, menikahi Anita (18),
seorang gadis asal Dusun Angsana, Desa/Kecamatan Mumbulsari.
Karena kondisi keluarga
perempuan yang kurang mampu, semua biaya ditanggung oleh pihak lelaki. Hari
baik pun ditentukan, bahkan dua bulan sebelum pelaksanaan akad nikah, semua
persyaratan administrative telah diurus oleh Edi Fitrianto di pemerintahan desa
serta KUA setempat.
Namun, penghulu tak
kunjung datang. Bahkan, setelah menunggu sekitar 2,5 jam, tak ada satupun
petugas KUA yang muncul. “Saya pasti bingung, karena telah mengundang tamu dan
kerabat untuk walimahan. Sebagai solusi, saya mendatangkan kiai untuk memimpin
proses akad nikah saudara ipar saya itu,” kesalnya.
Kejadian ini menimbulkan
dugaan adanya pungutan liar (pungli). “Bersama ipar saya yang akan menikah,
saya waktu itu membayar Rp 600 ribu ke bank, kemudian setelah bukti setoran
saya serahkan ke petugas KUA, saya dimintai Rp 100 ribu lagi, katanya untuk
biaya materai,” ungkap Edi Fitrianto
Sebenarnya, dia tak mempersoalkan
jika saat proses pernikahan penghulu hadir. Kekesalan memuncak saat pelaksanaan
akad nikah tak satupun petugas KUA yang hadir dan memimpin prosesi ijab qobul,
“Lha terus uang yang saya bayarkan itu untuk apa?” ucapnya.
Edi pun menduga, jika
petugas KUA sengaja mengakali keluarganya. Karena sebelumnya, ia meminta ijab
qobul dilaksanakan di kantor KUA setempat. “Awalnya, saya meminta akad nikah di
KUA, supaya gratis. Namun, saya diarahkan akad di rumah saja dengan sejumlah
biaya yang harus saya keluarkan,” katanya.
Yang membut Edi heran, dua
hari pasca akad nikah, petugas KUA melalui modin mengirimkan surat nikah. “Hari
Minggu, ipar saya itu diminta menadatangani blanko kosong, kemudian pak modin
menyerahkan surat nikah dengan meminta uang lagi sebesar Rp 250 ribu. Lucunya,
tanggal yang tertera di surat nikah itu tanggal 18 Januari, padahal saat
memberikannya tanggal 17 Januari, inikan aneh,” ujarnya.
Edi menengarai, jika
pelaksanaan akad dirumah itu adalah modus agar warga membayar sejumlah uang
untuk biaya pencatatan nikah. Sementara itu, namun Edi mengkuatirkan, jika saat
itu dia diarahkan untuk membayar biaya pernikahan ke nomor rekening pribadi
petugas KUA, bukan ke rekening Kementerian Agama. Sehingga petugas menyiasati
dengan mencatat tempat pelaksanaan akad nikahnya di KUA.
“Saya tidak memperhatikan
ke rekening siapa dan nomor berapa saya menyetor, seingat saya saya membayarnya
di Bank BRI hari Senin lalu. Karena saat itu, saya tidak kepikiran jika mau
diakali begini. Saya juga kuatir jika surat nikah itu Aspal,” paparnya.
Kepala KUA Mumbulsari,
Aksen Nurul Haq, terkesan kaget, bahkan sejumlah wartawan diminta menunjukkan
kartu identitas, bahkan salah seorang pegawai yang mengenakan baju setelah
hitam putih mengumpulkannya dan akan memfotokopi. namun aksi itu tidak
berlanjut, setelah salah seorang wartawan cetak mencegahnya.
Kepada wartawan, Kepala
KUA Mumbulsari, Aksen Nurul Haq berkali-kali menolak menjelaskan apa yang
sebenarnya menjadi alasan ketidakhadiran penghulu. “Saya no coment, jika yang
kesini adalah yang bersangkutan (pasangan pengantin) akan saya jawab,” elaknya,
Bukan hanya pertanyaan
diatas yang enggan dijawab, saat sejumlah media menanyakan perihal dugaan
adanya pungli dan dugaan adanya modus pencatatan nikah, dirinyapun kembali
menolak berkomentar, bahkan, semua pertanyaan wartawan tak satupun ada yang dia
jawab. (ruz/edw)