Jember, MAJALAH-GEMPUR.Com. Untuk
menciptakan wartawan bermutu, Forum Wartawan Lintas Media (FWLM) Jember Sabtu
(19/3) menggelar
pendidikan dan pelatihan untuk anggotanya di Aula Pemkab Jember.
Puluhan wartawan berbagai media baik harian, mingguan dan
online tampak seksama mengikuti
pelatihan yang diisi
Hadianto, mantan wartawan dan fotografer Kantor berita Antara Jakarta dan mantan wartawan Koran Tempo
Mahbub Junaidi yang kini sebagai komisioner Komisi Informasi Publik (KIP) Jawa
Timur.
Ihya Ulumudin selaku
ketua FWLM mengatakan bahwa tujuan diadakan pelatihan ini untuk meningkatkan
mutu wartawan yang tergabung sebagai anggota forum, terlebih hampir 90% anggota
forum adalah wartawan dari media mingguan yang selama ini ‘termarginalkan’.
“Tujuan pelatihan untuk
meningkatkan kemampuan anggota FWLM dalam karya Jurnalistiknya, disamping itu, kegiatan ini juga untuk memfilter
keberadaan wartawan yang selama ini banyak dikeluhkan oleh pejabat pemerintah
sebagai wartawan abal-abal,” ujar wartawan Memo X ini dalam sambutannya.
Udik biasa ia dipanggil menjelaskan bahwa tidak sedikit wartawan yang keluar dari kodratnya sebagai jurnalis dan menciderai
profesi wartawan, “Saya pernah mendengar ada wartawan mendatangi salah satu
pejabat pagi hari, ketika ditanya tujuannya hanya untuk ‘silaturrahmi’ ini tidak
dibenarkan” tambah udik.
Wartawan
senior Jember Gangsar Widodo dan Basoka Shonata
mengapresiasi kegiatan ini, tidak ada yang bisa
melarang seseorang menjadi wartawan, tapi untuk menjadi wartawan profesional
perlu filter dan kualifikasi, dirinya melihat FWLM bisa dijadikan candradimukanya wartawan.
“Kita tidak bisa
melarang orang menjadi wartawan, apalagi wartawan merupakan profesi terhormat, namun sejak era reformasi, banyak oknum menyalahgunakan
profesi ini dengan
memeras dan menakut-nakuti, forum inilah yang bisa melatih, sebelum
benar-benar menjadi wartawan profesional” tegas Gangsar.
Gangsar mengutip
UU no 40 tahun 1999 tentang pers pasal 1 ayat 4, bahwa yang dinamakan wartawan
adalah mereka yang secara teratur melakukan kerja jurnalistiknya, sedangkan
dari sekian ratus wartawan di jember, yang bisa menunjukkan karyanya sebagai
jurnalis masih
minim.
“Kalau dilihat
dari setiap hari orang yang mengaku wartawan dilingkungan pemkab ada puluhan
bahkan kalau menjelang lebaran ada ratusan, tapi ketika ada kegiatan seperti
ini hanya puluhan, dan saya melihat yang hadir inilah yang serius ingin menjadi
wartawan,” tambah Gangsar.
Sementara
Hadianto lebih banyak memberikan
pemahaman tentang tugas dan profesi jurnalis, menurut pria asli jember ini,
seorang wartawan harus bisa melihat, membaca apa yang dilihat, serta menulis
apa yang dibaca dan dilihat, untuk disampaikan kepada orang lain dengan baik dan benar.
“Tugas wartawan menyampaikan
apa yang dilihat, karya harus mengandung visi dan misi kebenaran, mengajak pembaca larut dan seperti
melihat sendiri, misinya mereka tersentuh dan memahami apa yang dibaca,” ujar
wartawan yang pernah bertugas di Istana Negara sejak orde baru hingga era
reformasi ini.
Hadianto juga
menyoroti karya jurnalis era reformasi, dalam era reformasi, karya jurnalis
sudah banyak yang kebablasan, era orde baru seorang
wartawan dalam menulis dilarang menulis secara vulgar pada sebuah peristiwa
yang mengakibatkan traumatik pada orang yang menjadi objek berita.
“Saat ini
penulisan wartawan sangat vulgar, seperti contoh ketika ada kasus perkosaan
atau kecelakaan, saat ini wartawan bisa menulis dan menceritakan secara vulgar
bagaiman korban diperkosa dan bagaimana korban kecelakaan meninggal secara
terinci.
Hal ini dampaknya tidak baik untuk korban dan
akan menimbulkan trumatik, tapi di era orde baru wartawan hanya boleh menulis
korban diperkosa tanpa harus menceritakan secara detail kronologi kejadiannya,”
ujar Totok panggilan akrab Hadianto.
Hadianto berharap
dengan pelatihan ini, mutu dan kualitas wartawan membaik
serta berkualitas, sehingga ketika mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW)
mereka benar-benar siap dan bisa lulus memuaskan, “Kalau wartawan yang baru
dididik dan terus dilatih, niscaya kualitasnya juga akan baik,” tambah Totok.
Totok juga
berharap kepada instansi untuk tidak menolak menemui wartawan yang belum
ber-UKW, sebab menurutnya UKW memang diperlukan dan wartawan yang sudah ber-UKW
itu menunjukkan kualitasnya, sedangkan mereka yang belum ber-UKW sedang dalam
proses untuk menjadi wartawan berkualitas.
“pejabat yang
menolak menemui wartawan yang tidak ber-UKW itu saya kira salah, wartawan yang sudah UKW adalah mereka yang
berkualitas, sedangkan yang belum tentu tidak bisa dikatakan tidak berkualitas, tapi mereka belum mendapat kesempatan,”
beber Totok.
Hal
senada juga disampaikan Mahbub Junaidi, menurut mantan wartawn koranTempoini,
bahwa seorang wartawan harus selalu upgrade kemampuannya, agar karya
jurnalisnya berkualitas, tidak hanya mengandalkan kecepatan semata, tetapi juga
isinya juga mendalam.
“Sekarang
ini wartawan tidak hanya dituntut untuk cepat menyajikan berita, tetapi juga
karyanya juga harus mendalam, hal ini bisa dilakukan jika wartawan terus-menerus
meupgrade kemampuannya agar mengetahui perkembangan terbaru, dan isu-isu aktul yang
sedang terjadi” Jalas Komisioner KIP Jawa Timur ini.
Keberadaan UU No. 14 tahun 2008 tentang KIP
dan UU Nomor 40
tahun 1999 tentang Pers memiliki
kesamaan. Jika kedua Undang-undang tersebut dijalankan, saya rasa wartawan
tidak sulit menggali informasi dari lembaga publik, “wartawan harus mengambil kesempatan ini”. Pungkasnya. (eros/edw/ali)