Jember, MAJALAH-GEMPUR.Com. Para insan pers dituntut agar lebih profesional dalam
mencari dan menyajikan sebuah berita, disamping itu harus memiliki Jiwa Nasionalis, kepentingan bangsa
harus diletakkan diatas kepentingan pribadi maupun golongan.
Termasuk perlu menghindari media Pengusaha-Penguasa
(Pengpeng). "Disinilah pertaruhannya, kalau media sudah memihak, yang
ditakutkan malah akan menimbulkan dis integrasi bangsa, Untuk itu para wartawan
harus memiliki jiwa nasionalisme” katanya dengan nada cemas. (midd)
Pada Era globalisasi
yang berkembang sangat pesat ini, dunia sudah tidak ada batasan lagi, apa yang
terjadi di Amirika detik ini, Trum ngomong apa, maka bisa dilihat, dibaca dan
didengar detik ini juga di Indonesia. Kemudahan-kemudahan itulah yang sering dimanfaatkan
oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
Demikian kata
wartawan senior Jember, Aga Suratno dalam diskusi publik “Ancaman Disintegrasi
Bangsa dan Hilangnya Semangat Kebangsaan” yang diselenggarakan Forum Wartawan
Lintas Media (FWLM) Jember, di warung kembang, Sabtu (11/2).
Hadir dalam acara
tersebut pululuhan wartawan dan sejumlah
pemateri yaitu, Kasat reskrim, AKP Bambang Wijaya, Dandim 0824 Jember, Letkol
Ifantri Rudiyanto, Wartawan senior Jember, Aga Suratno, Anggota DPRD Jawa Timur
Fraksi Nasdem, Moch Iksan, Kepala Bakesbangpol, Suprapto dan akademisi, Soeseno.
Akibat pesatnya
globalisasi banyak bermunculan media baru yang tidak jelas keberadaannya dan menyajikan
berita bohong, yang tidak jelas juga sumber beritarnya (hoax). Jika hal ini dibiarkan,
bisa saja akan mengancam disintegrasi bangsa.
Memang ada
ungkapan yang mengatakan bahwa tugas jurnalisne itu "Bad News Is Good News". Bagi pers,
kejadian yang buruk itulah berita yang bagus. Kalau situasi nyaman tidak ada
berita, “Pendapat seperti itu perlu
dirubah, Bisa kok kejadian yang baik,
menjadi berita baik”. Katanya.
Konflik itu
tidak bisa dihindari, yang bisa dilakukan adalah mengelola konflik. Ini pendekatannya
mesti harus konfrehensif. Tidak bisa hanya jurnalistik saja tetapi juga harus melalui
pendekan ekonomi, politik, sosial dan budaya, pertahanan dan keamanan.
Kalau bicara
disintegrasi, menurutnya bahwa disintegrasi itu artinya berpecah-belah,
jangan-jangan memang ada tangan-tangan yang sengaja mau mengkapling Indonesia
(Imposile ya?). Katanya ini yang sedang berlangsung di Indonesia. Kalau menurut
Analisanya Panglima Tentara Nasional (TNI), itu adalah Proxy War.
Ancaman
disintegrasi itu sebenarnya tidak ada apa-apanya. Proxy War, ini sebenarnya teori
lama, karena kelangkaan sumber daya alam. Pasalnya tidak semua negara dapat
memenuhi hajat hidup bangsanya, sehingga mereka (kaum kapitalis) ekspansi ke negara
yang kaya akan sember daya alamnya.
Jangan-jangan
itu, memang itu ulah kapitalis, karena globalisasi itu idealnya, satu sama lain
saling tergantung, saling berinteres, nyatanya tidak. Tetapi kita jangan berkecil
hati, semakin mengglobal, ada sebuah kondisi sebagai bangsa kita akan terangkat
identitas dan entitasnya.
Semakin terancam
suatu bangsa, maka kita juga akan semakin bisa mempertahankan diri terhadap panetrasi
pengaruh-pengaruh globalisasi itu. “Dan saya sangat menyakini itu, dan Indonesia
sudah teruji, karena kita sudah sepakat bahwa NKRI harga mati” lanjutnya.
Bagaimana para
jurnalis melawan kemajuan teknologi informasi. Karena sejak dulu masyarkat sudah
dikonstuksi bahwa pesan itu menandakan realitas, sampai kemudian pesan itu
menutupi realitas. Sampai kita beranggapan yang muncul di media sosial, seolah
menjadi faktanya, padahal tidak seperti itu”. Tegasnya.
Untuk itu, seorang
jurnalis harus berpegang teguh pada Kode Etik, ini harus dijadikan pedoman
ketika berada dilapangan, agar pesan itu tersampaikan dengan sebenar-benarnya. “Bahwa
keadaan seperti ini, tidak seperti itu. Ada keburukan seperti ini, tidak
seperti itu dan seterusnya”. Harapnya.
Ada sisi
baik sebenarnya berita dibalik konflik yang bisa kita tulis, akibat kejadian
tersebut ada ribuan janda, anak yatim, ada trauma sosial didalam masyarakat.
Paradikma itu yang harus dirubah, termasuk etika saat melakukan wawancara
dengan narasumber.
Dalam
kesempatan tersebut Cak Aga, biasa wartawan senior Jember ini dipanggil mengingatkan
kepada para wartawan agar selalu menyajikan berita yang akurat dan mengedepankan
etika dalam melakukan peliputan berita dilapangan. “Minimal kode etik
jurnalistik sudah paham," ujarnya.
Pasalnya persoalan
media sangat kompleksitas dan butuh pemahaman dan kesadaran diri dari pelaku
media itu sendiri. “Untuk itu para pekerja pena harus mampu menjaga
independensi dalam menyajikan berita dan tidak terkontaminasi oleh kepentingan”. Harapnya.