Translate

Iklan

Iklan

KASUS TANAH KETAJEK, (VERPONDING NO. 2712 & 2713, TAHUN 1892 - 1967)

4/21/10, 23:52 WIB Last Updated 2010-12-05T17:25:40Z
Sejarah Tanah Tanah hutan Ketajek yang kini merupakan sengketa, termasuk dalam desa Suci dan desa Pakis, kecamatan Panti, kabupaten Jember, Jawa Timur terdiri atas dua bagian, yaitu pertama, merupakan bekas hak erfpacht atas nama Landbouw Mij Out Djember te Deventer (L...MODTD), dengan verponding nomor 2712 seluas 125,73 HA dan verponding nomor 2713 seluas 352,14 H.A. (bila dijumlahkan seluas 478 Ha), yang seharusnya berakhir pada tahun 1967. Kedua, hasil babat warga seluas kurang lebih 710 Ha. a.

Pada awal tahun 1930-an NV LMODTD meninggalkan tanah tersebut dan menelantarkannya, sehingga sebagian kecil hutan yang telah dibabat dan dibuka, kembali menjadi hutan. Pada tahun 1942, warga mulai membabat tanah ketajek yang telah menjadi hutan kembali. Di samping membabat lahan yang merupakan bekas lahan erfpacht LMODTD, warga juga membuka lahan yang berada di sekitar lahan erfpacht, yang tak termasuk hak erfpacht NV LMODTD.

Pembukaan hutan oleh warga tidak mendapat tentangan sama sekali dari pihak NV LMODTD. b. Pada tahun 1949, penguasaan erfpacht hutan Ketajek beralih ke tangan Tan Tjhiang Bek. Untuk menggarap hutan tersebut, Tan Tjhiang Bek mengadakan perjanjian kerja sama dengan warga di sekitar Ketajek (mayoritas warga desa Suci dan Pakis). Perjanjian tersebut berisi:
• pembabatan hutan seluas 0,5 HA akan mendapat Rp 400,-
• bantuan pembuatan rumah (ukuran besar) Rp 80,-
• bantuan pembuatan rumah (ukuran sedang) Rp 60,-

Maka pada saat tersebut, baik warga yang telah mendiami tanah Ketajek maupun dari desa-desa sekitar (kebanyakan desa Pakis dan Suci), membuka hutan Ketajek sehingga berdirilah perkampungan dan berbagai sarana penunjang lainnya, seperti perumahan, musholla, kuburan, adanya kepala kampung, dsb. Guna menyambung hidup, warga menanam berbagai tanaman pangan (singkong, jagung, dll) maupun tanaman keras (kopi, durian, kelapa, dsb). Hingga tahun 1952, Tan Tjhiang Bek tidak mampu memenuhi perjanjiannya: warga diterlantarkan begitu saja dan tidak pernah dibayar.

Warga tetap bertahan dengan memungut hasil tanaman pada yang mereka buka. Pada tahun 1952 pula, Tan Tjhiang Bek menyuruh warga menanam randu, namun warga meminta supaya upah mereka diberikan dahulu. Tan Tjhiang Bek yang masih belum memenuhi perjanjian tersebut, malahan mendatangkan kuli dari luar untuk menanam randu. Maka timbullah sengketa antara Tan Tjhiang Bek dengan warga.

Persengketaan ini dibawa ke Kepala Desa Suci (bapak Suha, sepuh), dan Tan Tjhiang Bek akhirnya bersedia menyerahkan lahan tersebut kepada warga sesuai yang telah dibuka oleh warga. Setelah sengketa dan penyerahan lahan oleh Tan Tjhiang Bek, dan pindah ke Surabaya. Sejak tahun 1942 dan secara lebih masal pada tahun 1949, secara de facto warga menguasai dan merasa memiliki tanah Ketajek. Pada tahun 1953, warga telah membayar pajak bumi yang dibuktikan oleh petok.

Namun penguasaan atas lahan yang dilakukan sejak tahun 1942 hingga pertengahan tahun 1950-an dan telah mendapatkan beberapa surat bukti tersebut masih belum membuat hati warga tenang. Maka pada tahun 1957 warga meminta bantuan dari Persatuan Tani Nasional Indonesia (PTNI) cabang Jember yang diketuai oleh bapak M. Yasir (kini masih hidup dan siap memberikan kesaksian), sebuah organisasi tani underbouw Partai Nasional Indonesia (PNI) untuk mengupayakan status hukum tanah bagi warga yang diharapkan memiliki kekuatan lebih pasti.

Upaya tersebut membuahkan hasil dengan dimasukkannya lahan Ketajek dalam obyek landreform bagi tanah yang merupakan bekas erfpacht NV LMODTD seluas 478 ha. Pada tahun 1964, terbitlah S.K. Menteri Pertanian dan Agraria nomor 50/KA/64 yang ditindaklanjuti oleh S.K. Kantor Inspeksi Agraria Jawa Timur nomor 1/Agr/6/XI/122/HM/III tentang redistribusi lahan bagi 803 warga. Adapun lahan yang lain (yang tidak merupakan erfpacht NV LMODTD, berarti tidak termasuk obyek landreform), tetap didiami dan dirawat dengan baik oleh warga. Penyerahan kedua S.K. tersebut dilakukan di Kantor Kecamatan Panti.

Banyak warga hadir pada proses penyerahan tersebut. Penyerahan S.K. tersebut dilakukan oleh Bupati KDH tingkat II Jember (Bapak Oetomo) kepada warga. Hadir pula dalam penyerahan surat tersebut antara lain; Soetopo (Camat Panti), Soeparman (Kapolsek Panti), Goentoro (Danramil Panti), Madram (Carik Desa Suci) dan Moch. Yasir (Ketua Persatuan Tani Nasional Indonesia cabang Jember). Dengan turunnya S.K. tersebut, warga merasa makin tenteram karena memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat. Bahkan sesuai ketentuan S.K. tersebut, warga membayar uang ganti rugi kepada negara melalui Bank Bumi Daya cabang Jember hingga tahun 1969. Pada tahun 1967, Pemerintahan Daerah tingkat II Jember membentuk tim penyerahan Petok D kepada warga.

Penyerahan tersebut dilakukan di kantor Kecamatan Panti, dan diserahkan untuk masing-masing desa (desa Suci dan Pakis). Untuk desa Suci, yang menerima Petok D sebanyak 176 orang, dengan panitia pelaksana Soetopo (camat Panti), Kartadji (Wakapolsek Panti), Nasuha (Kades Suci), Madran (Carik Suci), dan Pak Sumariyah (Kepala Dusun Ketajek). Sedangkan untuk desa Pakis yang menerima sebanyak 134 orang, dengan panitia pelaksana Soetopo (Camat Panti), Kartadji (Wakapolsek Panti), Sarijo (Carik Desa Pakis), Sami (Kepala Dusun Ketajek) dan Atim (ketua RT 31 dusun Ketajek).

Pada saat tersebut, warga makin merasa memiliki kekuatan hukum yang kuat atas tanah tersebut berdasar hukum formil yang berlaku: warga sudah membayar pajak sejak tahun 1953, mendapat S.K. Menteri Pertanian dan Agraria nomor 50/KA/64 dan S.K. Kinag Jatim nomor 1/Agr./6/XI/122/HM/III; membayar uang ganti rugi kepada negara; dan memiliki Petok D. Dan di samping secara yuridis formal, secara ipso facto (dalam rumusan hukum adat), warga telah menempati lahan tersebut untuk waktu yang lama, tanpa mendapat gangguan atau halangan.

Pada saat tersebut, di dusun Ketajek telah terdapat perkampungan besar dengan adanya kuburan, Masjid, 4 Musholla dan ratusan bangunan rumah. Perampasan oleh Perusahaan Daerah Perkebunan Pada tahun 1972, ketentraman warga tersebut mulai terusik oleh perilaku yang tidak manusiawi dari petugas Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Jember. Pada tahun tersebut, petugas PDP mendatangi rumah Suwardi (seorang Kerawat Desa, sekarang masih hidup ) dan mengundang warga pemilik tanah Ketajek.

Petugas PDP tersebut menyatakan: 1. tanah hak milik warga telah diambil alih PDP 2. warga diharuskan (dengan ancaman) untuk menerima ganti rugi tanaman kopi 3.warga harus menjadi karyawan PDP dan tunduk kepada PDP. Tentu saja warga menolak pernyataan sepihak tersebut. Pada tahun 1973, secara sepihak petugas PDP mulai menghitung pohon kopi. Kemudian dengan bantuan aparat keamanan, PDP memaksa warga untuk menerima ganti rugi pohon kopi saja dengan harga yang sangat tidak manusiawi (dan tidak ada ganti rugi tanah!), serta merampas segala tanda bukti atas tanah warga.

Namun warga tetap menolak, dan mengakibatkan makin tingginya perlakuan teror kepada warga, berupa teror fisik (penyiksaan, penahanan hingga pembakaran rumah warga) hingga teror psikis (warga yang menolak dicap PKI). Pada saat tersebut, sebagian warga ditangkap dan ditahan di Polsek Panti dan sebagian lainnya mengungsi ke tempat lain. Yang ditahan antara lain: Darsimun, Midin, Djumarto, Pak Tatik, Tori, Sardji, Atmodjo, Suroso, Suman, Miskari, Ngatemin, Wakimin, dll. Bersamaan dengan teror tersebut, PDP juga merampas segala surat bukti (petok, surat pajak, dll) milik warga. Baru pada tanggal 29 Agustus 1974, terbitlah S.K. Mendagri no. 12/HGU/DA/1974 yang menyatakan bahwa tanah Ketajek adalah tanah HGU PDP Jember. Dalam SK HGU tersebut, luas tanah yang HGU PDP Jember di Ketajek hanya seluas 478 Ha. Namun dalam kenyataannya PDP Jember tidak hanya menguasai 478 Ha, PDP juga menguasai hasil babatan rakyat yang seluas 710 Ha. Akibat perampasan tersebut sungguh mengenaskan: 1. kondisi psikologis warga sangat jatuh dan ketakutan, hingga warga harus mengungsi ke tempat lain (kebanyakan di sekitar tanah Ketajek); 2. kondisi sosial-ekonomi warga jatuh; 3. tiga orang meninggal dunia dan beberapa orang terluka fisik. Namun, perjuangan warga untuk mempertahankan hak miliknya tetap dan terus menerus dilakukan. Berbagai cara dilakukan oleh warga untuk mempertahankan hak miliknya. Warga yang tetap meneruskan perjuangan diintimidasi oleh aparat. Tercatat misalkan almarhum Ahmad Bazeed, mBah Midin, dan banyak warga yang lain tetap berjuang hingga tahun 1989. Namun, tekanan/represi yang begitu kuat dari petugas PDP yang dibantu aparat keamanan serta mengingat kondisi sosial politik saat itu, membuat warga selalu dikalahkan. Hingga pada saat datangnya reformasi 1998, warga memiliki tambahan tenaga untuk melakukan perjuangan lebih massif. Harapan Warga pada reformasi '98 Ketika gaung reformasi jelas berkumandang, dengan adanya niat baru untuk memberantas segala rekayasa, kekerasan dan KKN, warga menyambutnya dengan penuh harap. Dengan iklim reformasi tersebut, warga mengirim surat pemberitahuan ke berbagai instansi berwenang (mulai dari pemerintahan desa, kecamatan hingga BPN Jawa timur, untuk menempati kembali tanah hak miliknya. Selama menempati lahan tersebut, warga memperlakukannya dengan baik; me-miwil kopi, menyiangi rumput, dan sebagainya, sehingga kondisi kebun menjadi jauh lebih baik. Warga juga mendirikan perkampungan (rumah dengan atap genteng / permanen dan tempat ibadah) sebagai tempat tinggalnya dalam merawat lahan. Pada saat penempatan tersebut, telah ada pertemuan dengan Bupati (sebagai komisaris PDP) dan Setwilda. Namun upaya tersebut selalu gagal, karena Bupati selalu berkeras kepala bahwa tanah tersebut adalah tanah PDP Jember berdasar SK Mendagri nomor 12/HGU/DA/1974, tanpa memperdulikan kebenaran materiil dari S.K. tersebut. Pada bulan Desember 1998, PDP mendatangkan preman-preman berjumlah 160 orang untuk menjaga kebun ketajek. Istilah preman atau bajingan diberikan oleh warga melihat perilaku dan penampilan mereka sehari-hari. Preman-preman tersebut diberi kedok sebagai tenaga keamanan PDP. Meski demikian, provokasi tersebut tidak begitu berdampak pada warga hingga terjadinya tragedi 'Rabu Hitam' pada tanggal 21 April 1999. Pada hari Rabu tanggal 21 April 1999, terjadilah tragedi yang merupakan hasil kolusi antara PDP Jember dan pihak Polres Jember dan Polwil Besuki. Pada saat tersebut, aparat datang dan melakukan penganiayaan dan penembakan, yang kemudian dilanjutkan dengan penangkapan warga. Warga yang sama sekali tidak melakukan perlawanan menjadi ketakutan. Akibat insiden tersebut, 1 orang meninggal dunia (Anwar Kholili) dan puluhan luka-luka, sebagai akibat terjangan timah panas aparat. Kemudian aparat polisi menangkap warga yang laki-laki dan membiarkan warga perempuan. Tercatat 98 orang ditangkap. Kemudian, 30 0rang dilepaskan (penangguhan penahanan). Dengan mempergunakan 'sentralisme hukum', aparat me-mejahijau-kan 68 warga (3 anak-anak) ke pengadilan negeri Jember. Tuduhan rekayasa yang ditimpakan kepada warga antara lain: penghasutan (tidak terbukti di persidangan), melawan petugas (warga sangat patuh pada petugas, tidak ada niatan maupun perilaku melawan petugas, apalagi banyak perempuan dan anak kecil), membawa senjata tajam (semacam arit yang biasa digunakan untuk membersihkan lahan), perbuatan tidak menyenangkan (maaf: biasanya disebut pasal kentut, yang sangat elastis), dan mencuri kopi (padahal kopi saat tersebut, april, masih berupa pentil yang tidak mungkin dipanen, dan malahan warga-lah yang merawat kopi selama 6 bulan!). Sebagian dari warga yang dibawa ke persidangan telah diputus, antara 2 bulan 25 hari, 3 bulan 15 hari, 4 bulan, 4 bulan 15 hari, 5 bulan dan satu berkas ‘terberat’ divonis 9 bulan, yang dalam banding di Pengadilan Tinggi Jawa Timur vonis tersebut dikurangi menjadi 6 bulan. Adapun warga yang tidak ditangkap (terutama perempuan dan anak-anak), mengalami teror yang sangat keras. Banyak anak yang menjadi minder, sering mengigau hingga tidak berani ke sekolah. Teror ini dilakukan oleh aparat kepolisian dan --terutama-- petugas/preman PDP.

Dari segi ekonomi, warga mengalami keadaan yang sangat sulit, karena suami mereka sebagai tulang punggung perekonomian keluarga berada di tahanan. Sementara harta mereka telah terkuras untuk membiayai pembangunan rumah di lahan Ketajek dan merawat kopi yang belum sempat mereka panen. Setelah insiden tersebut, kondisi lahan ketajek sungguh mengenaskan. Ratusan rumah warga dirusak dan sebagian dibakar oleh preman PDP.

Harta benda warga dijarah. Pada bulan Juli, PDP mulai memanen kopi warga, yang telah dirawat dengan baik oleh warga selama enam bulan. Warga Ketajek, memperkuat organ dengan membagi menjadi 6 Kelompok besar, meliputi Koordinator Pakis Utara, Cempaka, Badean, Karang Kebon, Glengseran dan Kemiri demi menjaga kekompakan.

Keyakinan mereka bahwa tanah Ketajek milik sah rakyat pasti akan kembali, karena SK Mendagri No.12 tahun 1964 akan habis masa berlakunya pada 1 Januari 2000. Aksi pendudukan kembali dilakukan warga Ketajek yang berjumlah sekitar 400 orang pada 1 Januari 2000 berjalan long march menuju tanah impiannya, meski mereka harus berhadapan dengan preman sewaan PDP yang jumlanya sekitar 200 orang dengan senjata tajam.

Sisi lain pengamanan yang dilakukan oleh polsek Panti dengan kekuatan 6 personel, melihat indikasi yang tidak beres tersebut warga segera dikomando untuk tidak bentrok (tidak terpancing provokasi), dan menghindar turun. Pertemuan antar warga yang berjuang atas tanah hak miliknya, yang ada di Jember diadakan atas inisatif warga Ketajek, mereka mengundang petani Jenggawah, Curah Nongko dan Sukorejo serta tokoh lokal termasuk para kiai, parpol,aparat keamanan. Pada 16 Pebruari 2000, peserta yang hadir lebih dari 600 orang, dan banyak diantara mereka yang setuju agar tanah Ketajek segera di kembalikan pada rakyat.
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • KASUS TANAH KETAJEK, (VERPONDING NO. 2712 & 2713, TAHUN 1892 - 1967)

Terkini

Close x