“Dihadapan hukum penerima dana
hibah maupun Bantuan Sosial (Bansos) harus bertanggungjawab, termasuk juga para
pejabat yang berwenang mengeluarkan anggaran tersebut,” Demikian kata Penjabat Dekan
Fakultas Hukum Universitas Jember, Nurul Ghufron kepada sejumlah wartawan ,
Jum’at (5/8).
Pernyataan ini menanggapi
atas ditetapkannya dua tersangka AIH dan RH dalam kasus korupsi bansos kelompok
pengajian oleh Kejaksaan Negeri Jember, beberapa pekan lalu. “Karena yang
paling bertanggung jawab terhadap uang Negara adalah yang punya kewenangan
mengeluarkan anggaran,” ujarnya.
Pasalnya sejauh ini,
Kejari Jember belum menyeret satu pun pejabat yang memiliki kewenangan
mengeluarkan, baik pejabat verifikator maupun pejabat yang merekomendasi bansos.
Kejaksaan baru menetapkan dua tersangka dan akan menetapkan dua tersangka baru
yang hingga kini identitasnya masih belum juga diumumkan.
“Walaupun pejabat tersebut
tidak turut menikmati uang tersebut. Tapi karena tidak berhati-hati dalam
melakukan verifikasi kepaca calon penerima bantuan, akibatnya terjadi penyelewengan
dalampenggunaannya, maka dia juga harus bertanggung jawab,” jelasnya.
Ada 3 skema, pihak yang
terlibat dalam pengucuran bansos, penerima, pejabat dan Anggota DPRD yang
merekomendasi perolehan bansos. “Anggota DPRD itu hanya merekomendasi, secara
normative rekomendasi itu hanya saran. Boleh diikuti boleh tidak,” ujarnya.
Meski secara faktual ada
deal-deal tertentu untuk mempengaruhi pejabat, tanggungjawabnya tetap ada di
pejabat yang mengeluarkan. “Namun, jika anggota DPRD itu menerima aliran, maka
dia bisa dipidanakan dengan pasal gratifikasi, bukan rezim (hukum) korupsi,”
terangnya.
Pidana gratifikasi juga
bisa dijeratkan pada pejabat lain maupun atasan pejabat yang turut menikmati
aliran dana tersebut. Sementara soal ditetapkannya AIH dan RH sebagai
tersangka, Ghufron menduga, kejari menggunakan pola follow the money untuk menjerat mereka. Pola ini mengikuti kemana
aliran dana bansos itu bermuara.