Oleh: Moh. Ali Makrus *)
Kalau semua kepala daerah memilih diam, maka Jember akan lumpuh minggu ini. Untung saja, Fawait nekat.
Namanya Muhammad Fawait. Usianya baru 37 tahun. Tapi keputusan politiknya tidak bisa dibilang kekanak-kanakan.
Di tengah kelangkaan BBM yang bikin warga antre seperti zaman lampau, dia mengambil langkah yang tidak biasa: belajar daring bagi siswa sekolah dan ASN boleh kerja dari rumah. Tanpa ribet. Tanpa babibu.
Kebijakan itu diumumkan Senin malam. Berlaku Selasa pagi. Langsung eksekusi. Tidak ditunda-tunda.
Padahal semua orang tahu, distribusi BBM itu urusan Pertamina. Bukan bupati. Tapi Fawait tidak mau menunggu.
Dia tahu, krisis tidak mengenal siapa punya kewenangan. Ia hanya tahu satu hal: kalau tak segera ditangani, masyarakat yang jadi korban.
Langkah itu membuat sebagian orang terkejut. Lho, kok sekolah diberi kebebasan? Kenapa ASN dilonggarkan? Apa nggak terlalu reaktif?
Tapi mereka lupa. Di balik keputusan yang kelihatan "nekat" itu, ada koordinasi besar-besaran yang dilakukan.
Fawait sudah menghubungi Pertamina. Ia minta pasokan diprioritaskan. Armada tangki BBM dari luar Jatim diminta masuk. Ia tahu stok aman, tapi distribusi mampet. Jadi solusi bukan hanya di SPBU, tapi di jalur pengiriman.
Ia juga kumpulkan OPD. Minta Dishub turun langsung ke jalan, bantu atur lalu lintas SPBU. Dinas pendidikan gerak cepat, siapkan teknis pembelajaran daring. Satpol PP, camat, hingga lurah dan kepala desa ikut diminta pantau antrean. Semua bergerak.
DPRD pun tidak tinggal diam. Pimpinan dewan diajak duduk bareng. Mereka satu suara. Krisis ini harus cepat selesai, jangan sampai membusuk.
Bahkan Kapolres dan Dandim pun dilibatkan. Aparat keamanan disiagakan untuk cegah konflik di lapangan. Semua ini terjadi bukan karena panik. Tapi karena sense of crisis.
Dan mungkin, itu warisan dari jejak panjang Fawait di dunia organisasi.
Waktu SMA ia sudah aktif di IPNU. Lanjut ke HMI saat kuliah di Universitas Airlangga. Lalu GP Ansor. Ia bukan tipe pemimpin instan. Fawait terbiasa berdebat, mengambil keputusan cepat, dan diserang dari segala arah.
Karena itu, waktu krisis datang, dia tidak menyalahkan siapa-siapa. Tidak juga lempar bola ke pemerintah pusat. Ia bergerak dan menggerakkan.
Tentu saja keputusan seperti ini punya risiko. Bisa jadi blunder. Kalau pasokan BBM masih seret dan masyarakat tetap antre, siapa yang akan dicari? Fawait. Tapi justru karena itu, dia layak dihormati.
Pemimpin itu bukan soal siapa yang paling tahu. Tapi siapa yang paling siap pasang badan saat keadaan genting. Dan Fawait mengambil langkah berisiko itu.
Fawait layak disebut bukan bupati biasa. Ia pemimpin muda yang sedang menguji satu hal. Apakah publik masih bisa membedakan antara mereka yang hanya sibuk bicara dan mereka yang benar-benar bekerja.
Langkah Fawait mungkin tidak sempurna. Tapi jelas berani. Dan keberanian semacam itu, hari ini, adalah barang langka di republik ini.
Lantas, jika Anda merasa terganggu karena sekolah anak jadi daring, atau karena kantor berubah longgar? Ingat satu hal. Ini bukan soal kenyamanan jangka pendek. Namun soal pemulihan krisis agar tidak berubah jadi ledakan sosial.
Dan untuk itu, Jember patut bersyukur punya pemimpin yang lebih dulu mengambil tindakan. Bukan diam menunggu atau bahkan melempar handuk dengan dalih bukan kewenangan. Tabik! (*)
*) Penulis adalah Jurnalis dan Pemerhati Sosial yang tinggal di Jember.