BANYUWANGI – Empat bulan sudah berlalu sejak laporan resmi terkait dugaan aktivitas tambang ilegal di Kelurahan Bulusan, Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi, dilayangkan ke pihak kepolisian. Namun hingga kini, warga belum melihat adanya langkah tegas terhadap para pelaku. Kekecewaan pun mulai meluas di tengah masyarakat yang menilai proses hukum berjalan lambat dan tidak transparan.
Pak Hasyim, salah satu warga pelapor, mengungkapkan bahwa hingga saat ini kasus tersebut masih berstatus penyelidikan tanpa adanya penetapan tersangka. “Kami sudah empat bulan menunggu. Tapi hasilnya masih sama, hanya penyelidikan tanpa kejelasan,” ujarnya kepada wartawan, Jumat (17/10/2025).
Menurut penuturan Hasyim, tambang yang diduga beroperasi tanpa izin itu telah menyebabkan kerusakan lingkungan cukup parah. Lubang bekas galian dengan luas sekitar 10 hektare dan kedalaman lebih dari 50 meter kini dibiarkan terbuka tanpa pengamanan. Warga khawatir lubang itu bisa menimbulkan longsor maupun kecelakaan bagi anak-anak yang bermain di sekitar lokasi. “Kalau hujan turun deras, tanah di sekitar lokasi rawan ambles. Kami hidup dalam ketakutan setiap hari,” tambahnya.
Selain kerusakan tanah, warga juga mengeluhkan kebisingan akibat mesin breaker dan selepan batu yang terus beroperasi meski tambang utama dikabarkan sempat berhenti. Aktivitas pemecahan batu itu menimbulkan suara keras yang menggangu ketenangan warga. “Hari Minggu pun tetap ada suara mesin. Kami tidak bisa beristirahat,” keluhnya.
Dampak ekonomi pun mulai dirasakan. Lahan-lahan di sekitar lokasi tambang yang sebelumnya bernilai hingga Rp60 juta per petak kini anjlok drastis. Bahkan, meski dijual Rp30 juta, tidak ada warga yang berminat membeli karena khawatir akan risiko longsor dan keselamatan keluarga. “Nilai tanah kami hancur. Kami rugi, tapi hukum diam saja,” tutur Hasyim.
Pihak Kelurahan Bulusan sendiri menegaskan bahwa mereka tidak pernah mengeluarkan izin tambang di wilayah tersebut. Namun warga menilai, meski secara administratif sudah jelas, penegakan hukum di lapangan tetap mandek. Hasyim bahkan sempat menyampaikan kepada lurah bahwa jika tidak ada tindakan nyata, ia akan memviralkan kasus tersebut agar mendapat perhatian publik. Sang lurah menjawab santai, “Monggo, kalau memang mau diviralkan.”
Hingga kini, warga yang telah diperiksa sebagai saksi belum menerima kejelasan lanjutan. Surat dari kepolisian selalu menyebut bahwa kasus masih dalam tahap “penyelidikan”. Keterlambatan ini menimbulkan dugaan adanya pembiaran terhadap praktik tambang ilegal.
Menanggapi hal ini, Sekretaris Jenderal AMPUH (Aliansi Masyarakat Pemerhati Lingkungan Hidup) Jawa Timur, Ali Safit Tarmizi, mengecam keras lambannya penegakan hukum. “Tambang ilegal harus dihentikan! Ini bukan hanya soal lingkungan, tapi juga soal nyawa dan masa depan masyarakat. Aparat harus berani menangkap mafia tambang tanpa pandang bulu,” tegasnya.
Ali menilai, pembiaran terhadap aktivitas ilegal ini adalah bentuk ketidakadilan. “Sangat tidak adil! Tambang ilegal merugikan negara dan masyarakat, sementara pelakunya bebas berkeliaran. Penegak hukum harus bertindak tegas, tidak ada toleransi,” ujarnya lantang.
Ia juga menyerukan agar masyarakat bersatu menolak segala bentuk tambang ilegal. “Tambang ilegal adalah kejahatan terhadap lingkungan dan masyarakat. Jika tidak ada tindakan nyata, AMPUH Jawa Timur akan menggelar aksi besar-besaran bersama LASKAR JAHANAM yang dipimpin Dwiagus Budiyanto. Kami akan turun ke jalan menuntut keadilan dan menolak perusakan alam di Jawa Timur,” tutupnya.
Warga Bulusan kini menanti keberanian aparat untuk bertindak. Mereka berharap suara kecil dari kampung mereka dapat didengar hingga ke tingkat pusat. “Kami hanya ingin keadilan dan lingkungan yang aman untuk anak cucu kami,” ujar Hasyim penuh harap. (r1ck)