![]() |
| Haryono usai melapor di Mapolres Jember |
Jember, MAJALAH-GEMPUR.Com - Media sosial kembali menjadi ruang yang memicu persoalan hukum. Seorang warga Desa Rowo Indah, Kecamatan Ajung, Kabupaten Jember, Haryono, melaporkan dugaan pencemaran nama baik ke Markas Kepolisian Resor (Mapolres) Jember, Senin (29/12/2025).
Laporan ini berangkat dari unggahan di Facebook yang dinilainya tidak hanya keliru, tetapi juga berpotensi merusak reputasi dan integritas pribadinya. Unggahan yang dipersoalkan berupa foto disertai narasi dari akun Facebook bernama Herkun Huda, tertanggal 24 Desember 2025.
Dalam unggahan tersebut, kegiatan pengajian yang berlangsung di yayasan milik Haryono digambarkan seolah-olah memiliki muatan politik, khususnya dikaitkan dengan isu pencalonan kepala desa.
Bagi Haryono, narasi itu bukan sekadar salah tafsir, melainkan sebuah tudingan yang berbahaya. Ia menilai, penggiringan opini tersebut mencederai kehormatan dirinya sebagai tokoh masyarakat sekaligus aparatur sipil negara.
“Saya melaporkan adanya tindakan pencemaran nama baik atas nama saya. Ada foto dan kata-kata yang menurut saya kurang pantas yang diunggah oleh akun Facebook bernama Herkun Huda,” ujar Haryono saat memberikan keterangan di Mapolres Jember.
Ia menegaskan, pengajian tersebut murni kegiatan keagamaan tanpa muatan politik apa pun. Apalagi, konteks waktu pemilihan kepala desa dinilai masih jauh, sehingga tuduhan politisasi kegiatan pengajian dianggap tidak berdasar.
“Saya tersinggung karena itu pengajian di yayasan saya sendiri. Tapi diunggah seolah-olah diarahkan ke politik. Padahal sama sekali tidak ada muatan politik,” tegasnya.
Menurut Haryono, bukan hanya dirinya yang merasa dirugikan. Panitia pengajian dan pihak yayasan juga mengaku tersinggung karena kegiatan yang diniatkan sebagai sarana ibadah justru ditarik ke ruang tafsir politik yang sensitif.
“Pilkades saja masih kurang dua tahun. Tidak ada agenda seperti itu. Makanya semua panitia pengajian juga merasa tersinggung,” katanya.
Meski foto yang diunggah disebut tidak terlalu jelas, Haryono menilai identitas dirinya tetap mudah dikenali oleh masyarakat setempat. Hal inilah yang membuat dampak unggahan tersebut terasa nyata di lingkungan sosialnya.
“Walaupun fotonya agak buram, orang-orang di Rowo Indah tahu itu saya,” ujarnya.
Lebih jauh, ia mengungkapkan kekhawatiran atas implikasi unggahan tersebut terhadap keluarganya dan profesinya sebagai guru di bawah naungan Kementerian Agama. Dalam posisinya sebagai PNS, keterkaitan dengan isu politik dinilai dapat menimbulkan konsekuensi serius.
“Keluarga juga merasa tidak enak. Apalagi saya ini PNS, kalau dikaitkan dengan bau-bau politik, itu tidak baik dan bisa berdampak ke pekerjaan saya,” tuturnya.
Melalui laporan ini, Haryono berharap aparat kepolisian dapat menindaklanjuti kasus tersebut secara profesional. Ia juga menekankan pentingnya kesadaran publik dalam menggunakan media sosial agar tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain.
“Harapan saya ini diproses secara maksimal. Mudah-mudahan bisa menjadi pembelajaran agar lebih bijak dalam bermedia sosial,” pungkasnya.
Kasus ini kembali menegaskan bahwa batas antara kebebasan berekspresi dan potensi pelanggaran hukum di ruang digital kian tipis. Ketika narasi personal disebarkan tanpa kehati-hatian, media sosial bukan lagi sekadar ruang berbagi, melainkan dapat berubah menjadi medan sengketa hukum. (Wahyu/Eros)


