Ritual Kebo-keboan, Berawal Saat Lahan Pertanian Warga Diserang Pagebluk
Banyuwangi,
MAJALAH-GEMPUR.COM.
Diujung timur Pulau Jawa, di sebuah daerah yang disebut Toya Arum atau kini
bernama Banyuwangi, masuk provinsi Jawa Timur. Di situ, masih ada penghuni
aslinya Yang dikenal dengan sebutan suku Using.
Dimana secara turun
temurun punya berbagai macam budaya khas dan hingga kini tetap dilestarikan.
Salah satunya adalah Kebo-keboan, sebuah ritual traidisionil yang berkaitan
dengan bidang pertanian. Adapun beberapa tetua adat, yang juga merupakan
keturunan, cikal bakal dari para leluhur pencetus dan penggagas munculnya
ritual Kebo-keboan tersebut beruntung bisa ditemui dan berwawancara dengan media
ini
Adapun beberapa tetua adat
yang berhasil ditemui Majalah Gempur antara lain, M. Syarfin, SH (56), Drs. Subur Bahri,
MSi (48) dan HM. Suriko (47), kesemuanya warga Dusun Krajan, Desa Alasmalang,
Kecamatan Singojuruh.
Latar Belakang Diselenggarakannya Ritual Kebo-keboan
Hingga kini, belum ada
kejelasan mulai kapan ritual Kebo-keboan tersebut diselenggarakan. Hanya,
sebagaimana cerita yang berkembang secara turun-temurun dikalangan masyarakat
Krajan, Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, dibalik penyelenggaraan ritual
Kebo-keboan itu sendiri berawal ketika itu di Dusun Krajan, diserang "Pagebluk".wabah
penyakit Yakni mewabahnya berbagai macam hama penyakit hingga
berakibat kematian tanaman pertanian.
Nah, guna mengatasi
bencana tersebut, salah seorang tokoh masyarakat setempat yang bernama Buyut
Karti, mengadakan ritual dengan cara menirukan perilaku seekor kerbau yang
sedang membajak sawah. Ajaibnya, ternyata ritual tersebut justru mampu
menghalau berbagai macam bencana yang menimpa Dusun Krajan. Sehingga, ritual
yang pada akhirnya dikenal dengan Kebo-keboan itu digelar secara rutin setiap
tahun sekali tepat dibulan Suro.
Tujuan di Gelarnya Ritual Dan Para Pelakunya
Ritual Kebo-keboan itu
sendiri dimaksudkan untuk meminta kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberikan
kesuburan tanah, panen melimpah dan terhindar dari malapetaka "pagebluk" yang
menimpa tanaman maupun masyarakat Dusun Krajan, Desa Alasmalang, Kecamatan
Singojuruh.
Karena secara umum
sebenarnya Banyuwangi, merupakan tanah subur makmur, gemah ripah loh jinawi.
Bahkan, julukan lumbung padi selalu disandang baik tingkat Provinsi
maupun tingkat nasional. "Nilai positif lainnya dari digelarnya ritual ini
antara lain terdongkraknya ekonomi mikro masyarakat petani setempat," tutur
M. Syarfin, salah satu keturunan langsung Buyut Karti, tersebut.
Sekaligus dalam
penyelenggaraan ritual, Syarfin, yang juga anggota Polri dibagian Binmas Polres
Banyuwangi, itu mendapat job sebagai koordinator ritual. Sedangkan para pihak
yang terkait sebagai pelaku dan menjadi kebo-keboan, tidak terikat.
"Siapapun boleh ikut terlibat, baik orang Dusun Krajan, Desa Alasmalang
maupun diluar Desa sekalipun. Bahkan pria wanita juga tidak terbatas,
senyampang ikut membangun kebersamaan," tambah Syarfin, lagi.
Waktu Dan Tempat Penyelenggaraan Ritual
Ritual Kebo-keboan di
Dusun Krajan, Desa Alasmalang digelar setiap tahun pada bulan Sura, terhitung
tanggal 1 hingga 10, tanpa melihat hari pasaran. "Kita pilih hari Minggu,
dengan asumsi masyarakat kita sedang libur dan tidak bekerja. Sehingga
diharapkan semuanya dapat mengikuti jalannya ritual," beber HM. Suriko,
salah satu tetua adat yang dalam penyelenggaraan, dapuknya sebagai ketua
pelaksana ritual.
Sedangkan, dipilihnya
bulan Sura itu sendiri, pertimbangannya bahwa Sura, menurut kepercayaan
sebagian masyarakat Jawa, adalah bulan keramat, sakral dan penuh dengan
kejadian yang diluar kekuasaan akal sehat karena kehendak-Nya.
Menurut Suriko, yang juga
salah satu tokoh masyarakat Desa Alasmalang, juga seorang pegawai Pertamina
Banyuwangi, itu bahwa tempat penyelenggaraannya harus berada dilingkungan Dusun
Krajan, Desa Alasmalang. "Karena di Dusun Krajan itulah awal kemunculan
ritual, sehingga untuk penyelenggaraan berikutnya harus di Dusun Krajan
pula," tandasnya.
Pantangan Dan Dampak Tidak Diselenggarakannya Ritual
Menurut salah satu tetua
adat lainnya, Drs. Subur Bahri, MSi, yang juga seorang tenaga pengajar di Untag
1945 Banyuwangi, bahwa tidak ada pantangan yang berarti dalam hal digelarnya
ritual Kebo-keboan dilingkungannya. Hanya saja, dulu-dulu pernah dicekal oleh
Rezim Orde Baru, saat pecahnya pemberontakan PKI, sehingga tidak dilaksanakan
ritual. "Akibatnya banyak warga yang kesurupan, walau jika dikaitkan di
era kekinian itu merupakan sugesti.
Namun realita yang tidak
bisa ditolak, terbangunnya sinergi dengan masyarakat luar Desa," urai
Subur, yang juga Purek I Bidang Kemahasiwaan sekaligus Humas salah satu
universitas terkemuka di Banyuwangi, itu. Dikatakan oleh Subur, yang juga
sebagai dewan pakar ritual kebo-keboan itu, selain saat ini jadi event budaya,
ritual Kebo-keboan dilingkungannya tersebut juga menjadikan kebanggaan
tersendiri mengingat berawal muncul dari pelosok Desa, sekarang justru mampu
menyajikan event internasional.
Tahapan Ritual Dan Pemimpinnya
Ritual Kebo-keboan di
Dusun Krajan, Desa Alasmalang, diselenggarakan secara bertahap. Tahapan-tahapan
iyu antara lain, pertama, dilakukan selamatan terlebih dahulu di Petaunan,
kedua, tahapan ider bumi atau arak-arakan dimulai dari simpang empat Dusun
Krajan, selanjutnya mengelilingi Dusun Krajan dan tahapan ketiga, ritual
Kebo-keboan dilaksanakan di daerah persawahan Dusun Krajan.
Pemimpin dalam ritual
Kebo-keboan tersebut bergantung pada kegiatan atau tahap yang dilakukan. Pada
tahap selamatan di Petaunan, bertindak sebagai pemimpin upacara adalah Kepala
Dusun Krajan. Sedangkan, yang bertindak sebagai pimpinan ritual saat mengadakan
ider bumi dan Kebo-keboan adalah seorang pawang yang dianggap ahli dalam
memanggil roh-roh para leluhur.