
Kesabaran Sabar sudah sampai pada titik nadir, harapannya raib-sirna. Semua jalur sudah ditempuhnya tetapi buntu. Akhirnya Sabar dan Ali mencoba berkirim surat kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono (SBY) pada 27 Agustus 2009 yang intinya adalah pengaduan atas PHK secara lisan. Sabar tidak tahu apakah suratnya direspon atau tidak oleh presiden karena belum pernah menerima surat jawaban.
Pada 29 September 2009, tiba-tiba Sabar dipanggil oleh administrator lewat SMS untuk bicara empat mata. Semenjak itu, administrator rajin minta bertemu dengan Sabar. Setelah melalui beberapa kali perundingan, akhirnya Sabar dipekerjakan kembali sebagai tenaga keamanan terhitung 1 Oktober 2009.
Upah yang tidak dibayar selama PHK disepakati akan dicicil perusahaan kepada Sabar setiap setengah bulan. Sabar merasa heran mengapa perundingan yang sebelumnya alot, sekarang menjadi mudah dan perusahaan terkesan memenuhi tuntutannya.
Sabar baru tahu suratnya direspon oleh presiden justru dari seorang mandor yang membocorkannya kepadanya. Bahkan karena surat presiden itu, menurut mandor tersebut, rombongan Disnakertrans Kabupaten Jember datang ke perkebunan pada pada 28 Oktober 2009, rapat dengan administrator, sinder, kepala kantor, dan para mandor mengenai kasus PHK terhadap Sabar.
Menurut mandor tersebut, Disnakertrans menawarkan sebagai pihak ketiga untuk menyelesaikan kasus Sabar apabila perusahaan tidak mampu menyelesaikannya sendiri. Tetapi administrator menolak secara halus dengan alasan Sabar sudah dipekerjakan kembali.
Setelah Sabar diperkerjakan kembali, pihak perusahaan pada 2 Desember 2009, melalui seorang anggota Komisaris PDP Kabupaten Jember, mengirim SMS supaya Sabar membuat surat kepada presiden dan Disnakertrans yang menjelaskan dirinya sudah dipekerjakan kembali. Tetapi Sabar menolak persoalan dengan pihak perkebunan selesai. Alasan Sabar, persoalan yang selama ini diperjuangkan bukanlah persoalan pribadinya sendiri melainkan persoalan buruh lainnya.
Menurut Sabar, selama perusahaan masih membayar upah jauh di bawah UMK dan tidak memenuhi hak-hak dasar dan legal buruh–dan sebaliknya malah menerapkan sistem buruh lepas, tidak memberi cuti haid/melahirkan, tidak memberikan jaminan kesehatan bagi pekerja – ia tidak akan membuat surat yang mengklarifikasi bahwa persoalannya dengan perusahaan telah selesai (eros).