
Kelemahan itulah yang
selalu dimanfaatkan oleh para tengkulak dan atau pedagang bermodal besar (Kapitalis). Kalau para
petani masih tetap melakukan cara-cara konfensional (lama) baik cara bertanam atau
bertransaksi, sampai kapanpun tidak mungkin akan bisa bersaing dengan mereka.
Pasalnya dengan sistem
lama itu ini petani tidak akan dapat memenuhi kebutuhan (stok) barang yang
diminta konsumen langsung secara rutin dengan jumlah tertentu. Demikian
disampaikan petani Hydrophonik (Greend house), Kustiono Musri saat didatangi di rumahnya Rabo, (22/2) di Greenhouse
Sementara para pedagang
dan tengkulak bermodal besar mampu memenuhi kebutuhan konsumen. Agar bisa menciptakan
kebutuhan barang sendiri secara rutin, petani harus bersatu dan bekerjasama, baik
melalui komunitas-komunitas sesuai jenis tanaman maupun melalui koperasi.
“Jadi prinsip dasar yang
tidak dimiliki petani, adalah kepastian menyediakan stok barang secara kontinew,
kepastian supai barang pada konsumen langsung, kepastian stok barang ini hanya
bisa disediakan oleh para tengkulak, dan para pedagang besar (Kapitalis),
sehingga dengan begitu tidak ada peluang, konsumen itu bisa berhubungan dengan
petani secara langsug” Jelasnya
Petani Hydroponik Greendhos
yang juga dikenal dengan aktivis anti korupsi ini mencontohkan, ketika seorang
pemilik rumah makan (restoran), setiap hari membutuhkan sayur tertentu, contohnya
sawi, maka dengan kondisi petani yang masih seperti ini, maka bisa dipastikan tidak
akan pernah ada petani yang sanggup memenuhi kebutuahn tersebut” Lanjutnya.
Disamping memang selama
ini petani masih berjalan sendiri, petani
juga di sawah juga masih tergantung pada musim untuk menanam-tanaman-tanaman
tertentu, sehingga setelah panen habis terjual, Padahal jika mau bekerjasama
antar petani, potensi yang dimiliki petani sangat luar biasa.
Untuk menjawab kegelisahan
itu, Cak Kus biasa ia dipanggil, bersama teman-temanya membuat terobosan baru dengan
merubah pola tanam yang dulunya tergantung musim, sekarang tidak lagi.”Dengan pola
tanam berbasis Hidroponik ini, kita
bisa mengatur waktu, sehingga kita bisa
panen setiap hari”, Katanya.
Bahkan dengan pola tanam itu, disamping tidak
membutuhkan lahan luas, juga bisa dikerjakan di pekarangan, bahkan di depan rumah
sekalipun. Cocok untuk petani berlahan kecil. “Dengan cara ini kita bisa mengatur
atau membagi, kapan kita akan panen, apalagi dilakukan bersama komunitas. Pasti
kebutuhan konsumen (stok barang) akan bisa kita penuhi” tururnya dengan penuh keyakinan,
Cak kus mencontokan tanaman
Sawi yang usianya antara 25 – 30 hari, maka lahan kita bagi 30. Sehingga setiap
hari bisa panen, “Dengan cara itu maka
saya harus bisa menamam dengan luasan tertentu. Pada hari 25 atau 30 maka tanpa
disadari tanaman pertama, sudah bisa dipanen, Otomatis dengan pola itu maka
saya bisa memproduksi sayur setiap hari dengan jumlah tertentu”. Katanya.
Kami berharap pola ini
bisa dicontoh oleh para petani, khususnya di Jember umumnya di Indonesia, pasalnya,
ketika petani sudah bisa memiliki stok barang setiap hari dengan jumlah
tertentu, maka publik akan mengenal bahwa ia bisa menciptakan pasar sendiri,
sehingga para konsumen akan datamg mencari yang butuhkan..
Kalau hal itu dilakukan, tugas
Pemerintah semakin ringan, karena sudah tidak perlu lagi fokus pemberian
bantuan berupa teknologi maupun permodalan, tetapi pemerintah hadir dalam
bentuk bantuan menejemen petani, sehingga kebutuhan stok dapat dipenuhi, bukan
oleh pedang atau tengkulak. Pungsanya. (eros)