![]() |
Diskusi peringatan 40 tahun INFID yang digelar di Jakarta, Senin (23/6/2025). (Foto: Dok. INFID) |
Jakarta, MAJALAH-GEMPUR.Com - Di tengah kemunduran demokrasi global dan nasional, peran organisasi masyarakat sipil (OMS) dinilai semakin penting dan relevan. Hal ini ditegaskan dalam peringatan 40 tahun Indonesian Forum for the Environment and Development (INFID), yang digelar di Jakarta, Senin (23/6/2025), dengan tajuk “Hope in Uncertainty: Civil Society’s Journey through Challenges and Emerging Opportunities.”
Direktur Eksekutif INFID, Siti Khoirun Ni’mah, mengungkapkan bahwa situasi saat ini ditandai oleh mengecilnya ruang demokrasi, ketimpangan yang makin melebar, serta tantangan disrupsi digital. Namun di sisi lain, muncul aktivisme anak muda dan gerakan solidaritas baru yang menjadi titik terang.
“Hari ini kita berada di posisi yang sangat tidak menentu. Tapi harapan tetap ada, terutama dari gerakan muda dan solidaritas akar rumput,” ujar Ni’mah.
Data dari Economist Intelligence Unit (EIU) dan Freedom House memperlihatkan kemunduran demokrasi secara global, dengan penurunan skor rata-rata dari 5,5 menjadi 5,1 sejak 2014. Indonesia sendiri disebut sebagai “demokrasi yang cacat” dan “sebagian bebas”, dengan indikasi maraknya politik transaksional, lemahnya institusi, serta represi terhadap kebebasan berpendapat.
Pakar politik Indonesia asal Swedia, Hans Antlov, menyebut tren pemerintahan Indonesia mengarah pada model unitary executive, yakni kekuasaan yang terpusat di tangan presiden dan minim oposisi. “Kalau trias politika tidak berjalan, suara warga negara menjadi sangat penting,” tegas Hans.
Sidney Jones, pakar asal Amerika Serikat yang telah terlibat bersama INFID sejak 1985, menyoroti perlunya strategi baru dalam advokasi. “Hari ini, agenda masyarakat sipil yang berhasil umumnya sempit dan spesifik. Kita perlu realistis dan adaptif,” ujar Sidney.
INFID mencatat beberapa gerakan masyarakat sipil yang berhasil mengguncang kebijakan publik, seperti #SaveRajaAmpat yang mencabut empat izin tambang, hingga gerakan Peringatan Darurat yang menggagalkan perubahan UU Pilkada. Namun ada pula gerakan yang belum berhasil, seperti penolakan terhadap UU Cipta Kerja.
Situasi makin rumit dengan berkurangnya anggaran pembangunan dari negara-negara donor akibat tekanan geopolitik dan meningkatnya populisme kanan di Eropa serta Amerika Serikat. Hal ini turut memengaruhi keberlangsungan program OMS yang selama ini didukung internasional.
Ben Witjes, pengamat pembangunan asal Belanda, mencatat banyak lembaga donor kini mengalihkan fokusnya dari isu demokrasi dan HAM ke perubahan iklim, akibat konflik seperti di Ukraina dan meningkatnya pengeluaran militer negara-negara Barat.
“Hidup akan semakin sulit bagi NGO. Akan ada lebih banyak pengawasan, pembatasan, dan tuntutan akuntabilitas,” kata Sidney menambahkan.
INFID, Simpul Perjuangan Masyarakat Sipil
Memasuki usia ke-40, INFID tetap berkomitmen menjadi simpul gerakan masyarakat sipil di Indonesia dan internasional. Didirikan pada masa Orde Baru, INFID telah bertahan dari berbagai bentuk represi dan terus memperjuangkan hak asasi manusia, demokrasi, dan keadilan sosial.
INFID mengukir sejarah penting saat mendapat status konsultatif khusus dari Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC) pada 2004. Status ini memungkinkan INFID menyuarakan kepentingan masyarakat sipil Indonesia di forum internasional.
“Waktu telah membuktikan bahwa peran masyarakat sipil adalah fondasi demokrasi yang tak tergantikan,” pungkas Ni’mah.
Saat ini INFID memiliki 80 anggota dan terus mendorong advokasi berbasis bukti, membangun narasi solidaritas tanpa batas, serta menuntut akuntabilitas negara dan korporasi. Di tengah ketidakpastian global dan nasional, INFID tetap menjadi pilar penting dalam perjuangan masyarakat sipil Indonesia. (*)