Persoalan Gula di
PTPN XI: Antara Bahtsul Masail dan Pemburu Rente.
MAJALAH-GEMPUR.Com. Persoalan gula dan petani tebu, ternyata
masih menjadi masalah menarik bagi Menteri BUMN. Dahlan Iskan melakukan Bahtsul
Masail untuk memecahkan masalah yang kesimpulannya, petani telah kehilangan
kepercayaan kepada BUMN.
Ini memang akar persoalan yang tak pernah diselesaikan selama beberapa tahun. Persoalan lain diluar agenda ini, ternyata dalam hubungan petani dengan BUMN, banyak oknum yang bermain untuk mengeruk keuntungan sendiri (pemburu rente).
Dengan mengatasnamakan kepentingan petani dan memanfaatkan kedekatannya dengan penguasa pengelola pergulaan, para pemburu rente ini, justru yang menjadi bahan pertimbangan Direksi PTPN dalam menetapkan besaran profit sharing yang merugikan petani. Para ulama NU, yang menaungi kebanyakan umat petani tebu, yang sebagian besar Nahdliyin, memandang hubungan transakasi pabrik gula dan petani tersebut, dapat dianggap “batil” tidak sah.
Dalam hal ini, kebijakan yang dilakukan oleh
PTPN XI menjadi tanda tanya. Artinya, sama-sama berada didalam lingkup BUMN
PTPN, kenapa kebijakan PTPN yang satu dengan yang lain berbeda? Lebih jauh,
jika Batsul Masail akan dilaksanakan lagi, apakah mungkin pembahasan bagaimana
menundukan oligarki dan pemburu rente pergulaan bisa diselesaikan ? Beranikah
Menteri BUMN kita yang jujur dan lugu melawan oligarki dan pemburu rente itu?
Jika tidak, tidak usalahah dilakukan bahtsul masail-bahtsul masail lagi, karena
persoalan yang paling mendasar di dunia pergulaan tidak terjawab. (Eros/Zq/Yud/Rud/Rus/Iks).
![]() |
Persoalan gula dan Petani Tebu di BUMN |
Ini memang akar persoalan yang tak pernah diselesaikan selama beberapa tahun. Persoalan lain diluar agenda ini, ternyata dalam hubungan petani dengan BUMN, banyak oknum yang bermain untuk mengeruk keuntungan sendiri (pemburu rente).
Dengan mengatasnamakan kepentingan petani dan memanfaatkan kedekatannya dengan penguasa pengelola pergulaan, para pemburu rente ini, justru yang menjadi bahan pertimbangan Direksi PTPN dalam menetapkan besaran profit sharing yang merugikan petani. Para ulama NU, yang menaungi kebanyakan umat petani tebu, yang sebagian besar Nahdliyin, memandang hubungan transakasi pabrik gula dan petani tersebut, dapat dianggap “batil” tidak sah.
Hampir seribu
orang, para pemangku kepentingan pergualaan, mulai dari pegawai rendahan sampai
direksi BUMN, dikumpulkan oleh Dahlan Iskan, Menteri BUMN, di gedung Empire
Surabaya menyampaikan beberapa permasalahan yang ada di Pabrik Gula BUMN. Minggu
05 Februari 2011, (Jawa Pos, 06 februari 2012).
Dalam Forum
itu, yang dikemas dalam acara “Bahtsul Masail Kubro” ditemukan 17 topik yang
selama ini menjadi penyebab sulitnya pabrik gula. Topik-topik itu misalnya:
mengapa petani tidak berminat menanam tebu di suatu wilayah pabrik, mengapa ada
pabrik yang lebih dekat tetapi petani mengirim tebunya ke pabrik yang lebih
jauh, mengapa ketidakefisienan pabrik ikut dibebankan kepada petani, mengapa
tebu dari jauh diberi insentif ongkos angkut sementara tidak ada insentif
kepada petani yang dekat dengan pabrik, apa yang harus dilakukan untuk merebut
kepercayaan petani kepada pabrik gula setempat, betapa besar pengaruh
kekompakan para kepala bagian di dalam suatu pabrik terhadap keberhasilan
pabrik gula, bagaimana agar pembakaran ketel tidak lagi menggunakan bahan bakar
minyak, mungkinkah dilakukan sistem beli putus: petani kirim tebu dan langsung
dibayar saat itu, bagaimana mengatasi semakin sulitnya mencari tenaga untuk
menebang tebu dan seterusnya.
Topik yang
paling panjang tentu yang satu ini: bagaimana merebut kepercayaan petani, agar
mereka mau menanam tebu. Agar mereka mengirim tebu ke pabrik yang terdekat.
Agar pabrik tidak kekurangan tebu. Agar petani merasakan keadilan dan
kesejahteraan.
Menurut
Dahlan Iskan : mencari jawabnya tidak sulit. Sudah ada contoh yang sangat berhasil.
Pabrik Gula Pesantren Baru dan Pabrik Gula Ngadirejo, keduanya di Kediri, sudah
menerapkannya dengan sukses. Demikian juga delapan pabrik gula lainnya,
termasuk yang di Lampung dan Palembang. Sejak empat tahun lalu kelompok 10 ini
tidak pernah lagi mengalami kesulitan bahan baku. Bahkan sampai berlebihan.
Kuncinya satu: Keterbukaan manajemen kepada petani tebu.
Namun, kata
kunci itu tidak dapat dilaksanakan di beberapa pabrik gula, yang justru karena
kesulitan bahan baku, bahkan berencana menutup 7 pabrik gula yaitu PG Kanigoro Madiun, PG
Gending, PG Wonolangan, PG. Pajarakan di Probolinggo, dan PG Wringinganom, PG.
Olean, PG. Panji di Situbondo karena kekurangan lahan dan merugi. Meruginya
ketujuh Pabrik Gula PTPN
XI tersebut, dikarenakan buruknya manajemen perusahaan.(Gempur, Juni 2011).
Apakah ada
jaminan, jika manajemen pabrik gula di perbaiki dengan memberikan ruang pada
petani untuk mengetahui manajemen pabrik, menjadikan kekurangan lahan
terpenuhi? Ternyata tidak. Di PTPN XI, persoalan profit sharing yang tidak adil
juga menjadi masalah yang dijadikan alasan petani untuk mengirimkan tebu ke
pabrik lain. Sehingga tetap saja pabrik gula-pabrik gula dibawah PTPN XI
menghadapi kekurangan pasokan tebu.
Bahtsul Masail Kubro, memang tidak secara
detail membahas masalah profit sharing, sehingga persoalan “bagaimana merebut
kepercayaan petani” dan bagaimana mengembalikan kepercayan petani yang hilang
terhadap BUMN khususnya di PTPN XI, belum terjawab. Jebloknya kepercayaan
petani, rupanya tidak bisa dijawab hanya dengan membuka manajemen pabrik.
Karena justru manajemen pabrik (manajemen direksi) yang secara rapat ditutupi
agar jaringan penguasaan gula, yang keuntungannya dinikmati segelintir pemain, tidak
gampang dibongkar. Tehnik penguasaan itu, melibatkan pemodal, oknum direksi dan
asosiasi petani, dengan melakukan rekayasa terhadap penentuan profit sharing
Persoalan Kebijakan Profit Sharing
Profit sharing adalah hitung-hitungan berapa bagian yang akan diterima
petani, jika gulanya dilelang diatas harga yang disepakati pada saat petani
menerima dana talangan. Dana talangan adalah sejumlah uang yang diterima petani
atas penjualan gula sebelum dilelang. Jika harga lelang lebih tinggi, maka
selisihnya dibagi antara petani dan penalang (investor), dengan ketentuan
profit sharing
Kebijakan profit sharing, biasanya diambil berdasarkan surat
Menteri Pertanian (Mentan) yang ditujukan pada Menteri Perdagangan. Ini
berlangsung sejak tahun 2002. Untuk tahun 2011 berdasar pada surat Menteri
Pertanian No.245/PD.320M/5/2011 pada tanggal 5 Mei 2011, yang menjelaskan
usulan bahwa profit sharing bagian petani “minimal
sebesar 60%. Surat itu mendapat jawaban dari Menteri Perdangan (Mendag)
dengan No. Surat 729/M-DAG/5/2011 tanggal 6/05/2011, yang isinya setuju dengan
usulan Mentan. Kebijakan PTPN XI profit
sharing 60%-40% ini, harus di ikuti oleh petani.
Untuk mengamankan kebijakan tersebut, pabrik gula dibawah PTPN XI,
mengedarkan surat pernyataan kepada petani dibawah binaan pabrik gula, untuk
menyetujui besaran profit sharing. Jika tidak, maka tebu petani tidak boleh
digiling di PG-PG wilayah PTPN XI.
Jika dihitung secara kasar, lahan petani yang ada 50 ribu hektar
(TR/Tebu rakyat PTPN XI), dengan rata-rata hasil gula petani bersih 4 ton per
Ha (selama beberapa tahun). Dalam musim tanam MT 2010/2011, sebagai contoh,
harga gula talangan Rp. 7000/kg, sedangkan harga lelang Rp. 8250/kg , terdapat
selisih Rp. 1250/kg atau Rp. 1.250.00 per ton, jadi per Ha menjadi Rp. 5 juta.
Bagian petani per Ha Rp. 3 juta, bagian penalang (investor) Rp. 2 juta. Investor
yang bekerjasama dengan PTPN XI akan menikmati Rp. 100 milayar dalam sekali
musim. Duit yang sangat-sangat
besar untuk dilepas begitu saja.
Padahal, dana yang mesti dijamin investor adalah Rp. 1,4 trilyun (4 tonx 50 Ha x Rp. 7000) untuk seluruh masa giling (selama 6 bulan). Satu
periode masa giling dibutuhkan dana segar sampai rata-rata 10 kali. Jadi investor
hanya cukup menyediakan dana segar sebesar Rp. 140 milyar yang diputar selama
sepuluh kali. Dengan begitu, hitungannya investor menikmati 71 % (100M/140M x
100 %) dalam waktu 6 bulan. Ini hasil yang lebih tinggi dari tingkat
suku bunga bank dimanapun di Indonesia bahkan di dunia. Hasil yang
besar inilah yang membuat investor tetap mempertahankan posisinya untuk bermain
di dunia pergulaan selama beberapa tahun dengan membangun aliansi dengan
pengurus asosiasi petani dan oknum direksi. (data Gempur, wawancara dengan
Ketua PPTR, 2010)
Hal ini pulalah yang menimbulkan kemarahan petani, untuk itu ketua
PPTR Jember mengirimkan SMS kepada Mentri BUMN dan Anggota DPR RI (lihat box
sms petani kepada Dahlan Iskan di Majalah Gempur Edisi bulan Januari-Maret 2012 ), yang menjelaskan bahwa Direksi PTPN XI dan
APTRI dibawah naungan PTPN XI, PT Tani Sejahtera, PT Bina Arta Niaga, serta PT
Bima Citra, adalah produk sempurna Oligarki Hitam, yang artinya kebijakan itu
merupakan kerjasama antara birokrat direksi PTPN XI, wakil-wakil petani tebu,
dan investor yang semata-mata hanya mencari keuntungan saja.
Pada saat pertemuan antara Ketua APTRI Unit PG Jatiroto, Eko
yuli, perwakilan Petani Tebu dan Adm PG Jatiroto Lumajang Jum’at, (10/06) kebijakan
profit sharng tersebut dipertanyakan petani tebu: "Saya sangat
menyayangkan kinerja APTRI karena saya rasa tidak memperhatikan petani tebu.
Dimana usulan kami sebelumnya, terkait profit sharing ini 80% untuk petani dan
20% untuk investor. Tapi kenapa, tiba tiba muncul surat dari menteri yang
menyatakan 60% untuk petani dan 40% untuk investor, padahal menteri sendiri
tidak akan memutuskan sesuatu tanpa adanya usulan dari bawah, yang dalam hal
ini Dewan Gula yang di dalamnya terdapat unsur APTRI. Ada apa dengan APTRI kita
?. "Ini penindasan, tidak mungkin keluar surat dari menteri kalau tidak
didasarkan pada surat usulan dari Dewan Gula, yang salah satunya terdapat unsur
APTRI, artinya APTRI kita sudah tidak berpihak lagi kepada petani melainkan ke
berpihak Investor. " ungkap salah satu petani lainnya.
"Saya
tetap akan memperjuangkan petani tebu, karena saya sendiri petani tebu. saya
berani bersumpah DEMI ALLAH saya tidak tahu atas munculnya profit sharing
tersebut, untuk itu mari kita berjuang bersama-sama" Ungkap ketua APTRI
Unit PG Jatiroto Lumajang Eko Yuli. Sementara Itu, Adm PG Jatiroto Djoko
Winarno mengatakan bahwa pihaknya juga tidak tahu dalam penentuan profit
sharing tersebut. Menurut Djoko, semua itu kebijakan dari Direksi. (Gempur, 10 Juni 2011)
Kalau
APTRI mempertanyakan ketentuan profit sharing, karena usulannya tidak masuk dan
salah satu Adm pabrik gula menunjuk kebijakan direksi, sebenarnya ketentuan
profit sharing tersebut, permainan siapa?
Ternyata, pembahasan perjanjian dana
talangan gula petani tebu lingkup PTPN XI untuk tahun giling 2011 berlangsung
di Kantor Pusat, Surabaya, Rabu (8/6/2011), yang didahului sebelumnya dengan
rapat koordinasi antara direksi, investor dan ketua APTRI tanggal 3/8/2011
Dalam pembahasan tersebut hadir 4 orang anggota Direksi, wakil investor, dan
Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) M. Arum Sabil.
Sesuai kesepakatan, semua petani tebu PTPN XI mendapatkan dana talangan gula
sebesar Rp. 7.000 per kg. Bila harga riil lebih rendah, risiko ditanggung
investor. Sedangkan bila lebih tinggi, petani mendapatkan profit sharing 60% atas
kelebihannya. Dana talangan disediakan oleh 3 perusahaan, yakni PT Mitra
Tani Sejahtera, PT Bina Arta Niaga, dan PT Bima Citra.
Sedangkan beberapa profit sharing yang ada diluar wilayah PTPN XI,
telah memenuhi rasa keadilan. Seperti di PTPN X, Profit Sharing 100% untuk
petani dan 0 % untuk Investor, yang dikemas, 80% untuk petani dan 20 % untuk
investor. Sedangkan di wilayah PTPN IX (Jateng), profit sharing (85% untuk
petani, 15 % untuk investor). Sementara di wilayah RNI, dan PT Kebon Agung (Malang),
non profit sharing artinya tidak menggunakan sistem bagi hasil.
Perlawanan Petani Tebu Terhadap Oligarki dan Pemburu
Rente
Siapa
oligarki dan pemburu rente yang bermain dalam dunia pergulaan di PTPN XI, dan
secara luas di Jawa Timur ?. Mengingat Jawa Timur merupakan pemasok gula
nasional sampai 40 %. Oligarki adalah sejenis komplotan pemilik modal yang
sanggup mempengaruhi kebijakan pemerintah, seperti penerbitan aturan. Didalam
dunia pergulaan, terkenal dengan “ the seven samurai”, yaitu tujuh (7)
pengusaha yang bermain di dunia pergulaan.
Diantaranya salah orang pengusaha kelompok Harijono Santoso ( Soehariyanto, Harijono
Santoso dan Hartono Santoso ) yang menguasai 11 perusahaan yang beroperasi
untuk pembelian gula lewat lelang ( PT Agro Tani Nusantara ; PT Agro Makmur
Nusantara ; PT Arta Agung sentosa ; PT Arta Guna Sentosa ; PT Arta Kencana
Agung ; CV Haris ; PT Kedung Agung ; CV Kecana Makmur ; PT Gemilang Citra Utama
: CV Sumber Makmur ; PT Gema Nusa Makmur Santoso ). Pada tahun 2007 terungkap
di Komisi Pengawas Persaingan Usaha ( KPPU ), mereka menguasai hampir 89 % gula
pasir yang diproduksi oleh PTPN XI. (Faisal Basri, KPPU 2007).
Namun karena sifat monopoli ini tidak digugat, maka tidak dihukum
oleh KPPU. Yang terungkap justru kepemilikan silang diantara
perusahaan-perusahaan itu dimana mereka satu keluarga dapat mengikuti lelang di
PTPN XI. “ Tata niaga yang dikelola PTPN XI, sangat bobrok” ungkap Faisal, “
ada perusahaan yang sudah tutup milik keluarga itu juga diundang lelang oleh
PTPN XI”, lanjutnya.
Kelompok Harijono Santoso, ternyata juga memiliki
perusahaan-perusahaan yang memberikan dana talangan pada petani, antara lain PT
Mitra Tani Sejahtera, sebagai salah satu penandatangan MoU dengan PTPN XI dan
APTRI.
PT. Mitra
Tani Sejahtera sejak tahun 2005, secara terus menerus sebagai investor Dana
Talangan Gula Tebu Rakyat. Tampaknya, Harijono Santoso sebagai investor sudah
lama berhubungan dengan Arum Sabil sebagai ketua APTRI, karena M. Arum Sabil
sejak itu sudah mempunyai kuasa menandatangani dana talangan gula tebu rakyat.
Hubungan yang berlangsung lama, bukan tidak mungkin terjalin sebagai
persengkokolan yang dapat mengendalikan direksi PTPN XI dalam penentuan dana
talangan untuk memperoleh keuntungan dari jaringan yang dibangunnya. Arum Sabil, dengan memanfaatkan posisi sebagai
Ketua APTRI, diduga menerima keuntungan atas persetujuannya terhadap ketentuan
besaran profit sharing (lihat bok Perjanjian Kerja sama di Majalah Gempur Edisi Januari-Maret 2012). Bersama-sama dengan
direksi yang jelas-jelas, menguntungkan kelompok Harijono Santoso, ketentuan
profit sharing menciptakan rente-rente yang dinikmati oknum-oknum PTPN XI dan
Ketua APTRI. Mereka sebagai pemburu rente di dalam tataniaga pergulaan di PTPN
XI.
Profit sharing 60% petani, 40% investor yang ada di wilayah kerja
PTPN XI, mengakibatkan terjadinya perlawanan para petani tebu. Fakta empirik menunjukkan, ada beberapa perlawanan petani tebu
terhadap profit sharing yang ada di PTPN XI.
Salah satunya, yaitu di Kabupaten Jember,
Jawa Timur, Kamis 10 Jun 2010, Sejumlah perwakilan petani tebu menolak sistem
bagi hasil 60% untuk petani dan 40% persen untuk investor yang diberlakukan
Pabrik Gula (PG) Semboro, di bawah naungan PTPN XI. Hal tersebut disampaikan sejumlah
petani tebu dalam dengar pendapat (hearing) bersama Adm PG Semboro,
perwakilan Dinas Kehutanan Perkebunan dan Komisi B DPRD Jember di ruangan
Komisi DPRD setempat, mereka menganggap bahwa Komposisinya sebanyak 60% untuk
petani dan 40% untuk PG merupakan kebijakan yang merugikan. Ditambahkan lagi
dengan petani tebu sms dahlan iskan (lihat box sms di Majalah Gempur Edisi Januari-Maret 2012).
Ditambah lagi dengan aksi sejumlah petani
tebu, yang menggugat PTPN XI dan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI)
terkait lelang gula. Gugatan perdata itu disampaikan sejumlah petani yang
tergabung dalam Paguyuban Petani Tebu Rakyat (PPTR) melalui Pengadilan Negeri
(PN) Surabaya, Rabu 28 April 2010.
Kemudaian, pada
tanggal 12 Juni 2010, ratusan petani tebu di Lumajang juga menggelar aksi demo
menolak Surat Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan yang mengatur profit
sharing gula petani. Pemaksaan juga dilakukan pihak Direksi PTPN XI melalui
kemitraan dinilai merupakan intervensi terhadap hak-hak petani.
Aksi demo
ratusan petani asal Lumajang di lakukan di Pabrik Gula Pajarakan, Probolinggo.
Mereka menuntut tidak ada lagi profit sharing yang selama ini dipaksakan oleh
pihak Direksi dan investor selaku penjamin atas harga gula. Selama ini para
petani tebu yang tergabung dalam APTRI merasa jadi sapi perahan. Selain itu,
di Probolinggo, para petani tebu juga melakukan aksi yang sama. Isu dan
tuntutannya menolak keras pembagian keuntungan penjualan gula di PTPN XI.
Petani memandang itu semua permainan dan konspirasi yang menguntungkan pedagang
besar dan pengurus APTRI-PTPN XI.
Perlawanan
petani menggunakan isu profit sharing, pada dasarnya adalah ditujukan kepada
orang-orang yang telah membuat kesepakatan profit sharing tersebut. Kenyataan
bahwa asosiasi-asosiasi petani yang melakukan perlawanan, merasa aspirasinya
ditelikung dengan pengurus yang mengatasnamakan petani menjadi semakin terang.
Seperti penolakan APTRI Lumajang, Situbondo dan Probolinggo terhadap
kesepakatan profit sharing yang justru ditandatangani oleh Ketua APTRI, Arum
Sabil. Tampaknya Direksi, dan Investor memainkan posisi Arum Sabil, sebagai
Ketua APTRI untuk melancarkan kepentingan dalam memperoleh keuntungan lebih besar
dalam bisnis pergulaan. Inilah cara-cara pemburu rente bergabung dengan
oligarki pergulaan, yang luput dibicarakan dalam forum Bahtsul Masail Kubro
oleh Dahlan Iskan.
Beberapa
perlawanan petani tebu terhadap pemburu rente dan oligarki hitam yang dikemas
dalam perlawanan terhadap profit sharing itu, mendapat tanggapan dan pernyatan
dari tokoh-tokoh NU ( para ulama ). Karena petani tebu mayoritas warga NU.
Dengan adanya kebijakan dari PTPN XI dapat merugikan dan mengakibatkan
kesejateraan petani tebu hilang.
Pendapat Para
Ulama NU
Beberapa pendapat para ulama
(tokoh-tokoh NU), tentang kebijakan yang dilakukan oleh PTPN XI, terkait Polemik
Dana Talangan Gula Tebu Rakyat dengan profit sharing 60% untuk petani, dan
40% untuk investor, telah merugikan petani tebu yang mayoritas warga NU yang dikhawatirkan akan berakibat kemiskinan terhadap
para petani tebu.
Ketua PCNU Bondowoso KH. Abdul Qodir dan sekaligus pengasuh pondok pesantren Darul
Falah Bondowoso, Rabu (15/02), berpendapat bahwa pokok persoalan tertindasnya
keadilan petani tebu itu, sebenarnya berawal dari ketidak transpranan pihak pabrik dengan
petani, Artinya Pabrik Gula (PG) terkesan tertutup. Selain itu,
menurut ketua PCNU Bondowoso, pihak NU tidak bisa secara lansung menanggapi.
Akan tetapi, proses transaksi itu menurut syar’i sudah pernah menjadi keputusan
Muktamar NU, yang menyatakan bahwa transaksi pasif adalah transaksi rusak, dan
transaksi seperti itu tidak benar. Sedangkan dalam sisi hukum agama, proses
transaksi itu "Batil" tidak sah.
Sedangkan
Ketua PCNU Situbondo H. Fauzan Minggu (12/02), mengatakan bahwa apapun yang
kita perbuat, baik penguasa maupun rakyat jelata, serta pekerjaan dan jabatan
apapun jika di lakukan untuk kebaikan dan menjauhi kemungkaran, Insyallah akan
mulia di sisi Allah SWT, dan di mata masyarakat akan mendapat penilaian yang
baik. Selian itu, dia juga mengungkapkan rasa prihatinnya atas nasib yang di
alami oleh petani tebu, yang notabenenya adalah warga NU. Menurutnya, Ulama bisa mengarahkan mana yang boleh
dan mana tidak boleh dan pemerintah harus berbuat adil dalam segala hal.
Regulasi yang di buat harus mencerminkan keadilan dan kesejahteraan. Intinya
pemerintah harus berbuat adil dan profesional serta harus berpihak pada rakyat,
tidak hanya semata mata menguntungkan investor, yang justru menari-nari diatas
penderitaan petani yang mayoritas warga Nahdiyin.
Lain lagi
dengan pendapat dari Ketua PCNU Lumajang, Fanandri Abd Salam, selasa 14
Februari 2012, dalam menanggapi permasalahan kesejateraan Petani Tebu serta
mempertanyakan kebijakan dari PTPN XI. Fanandri menjelaskan bahwa dengan adanya
kebijakan dan perlakuan yang berbeda, tentu akan mengakibatkan dan meninggalkan
kesejahteraan petani yang ada pada daerah lebih dirugikan. Dibandingkan dengan
daerah yang lain, hal itu akan menjadi semakin sulit untuk meningkatkan ekonomi
dan kesejahteraannya.
Sementara
dari ketua PCNU Kencong Jember, M. Furqon Syuaibi, Senin (13/02), menyatakan bahwa Persoalan profit sharing dan kesejahteraan
petani tebu, akan segera di bicarakan
dalam Rapat Pengurus Harian NU Cabang Kencong terlebih dahulu. Setelah itu,
akan dibahas dalam pertemuan Bahtsul Masail Selasa Kliwonan. Disamping itu, “
kami juga akan segera menugaskan kepada Lembaga Pengembangan Pertanian
Nahdlatul Ulama (LP2NU) untuk segera melakukan investigasi terhadap persoalan
tersebut, karena bagaimanapun petani tebu mayoritas adalah warga Nahdiyin”.
Katanya.