
Zakat,
sebagai salah satu ibadah yang diajarkan oleh Rasulullah, seharusnya apabila
dijalankan dengan sebenar-benarnya, pasti akan meningkatkan kepekaan sosial
bagi para MUZAKKI, menciptakan kedekatan, kemesraan dan terjalinnya komunikasi
yang baik antara MUZAKKI dan MUSTAHIQ, juga otomatis akan memunculkan
kepercayaan diri, harga diri dan kebahagiaan tersendiri bagi para penerima
zakat. Seperti yang di contohkan oleh Umar bin Khattab. Beliau mencari dan
memberi bahkan memanggul sendiri bantuan beras kepada seorang ibu yang saat itu
sedang merebus batu demi “menipu” anaknya yang menangis kelaparan.
Yang terjadi
di Indonesia Banyak Muzakki (pembayar Zakat) yang seharusnya
mengeluarkan zakat demi kebutuhan
untuk menyempurnakan ibadahnya,
justru menganggap bahwa yang membutuhkan zakat adalah para Mustahiq (penerima
Zakat). Dengan congkaknya para Muzakki membagi-bagikan zakat dengan liputan
pers dan perhatian khalayak bak selebritis, tetapi pernghargaan dan kepekaan
mereka terhadap kaum lemah dan kaum miskin justru semakin menipis.
Mereka
menganggap bahwa penerima zakat adalah orang yang membutuhkan. Semakin panjang
antrian “peminta zakat” semakin bangga dan semakin congkaklah mereka. Bahkan
dengan cara dan model pembagian zakat seperti ini, dibeberapa tempat telah memakan
korban sampai ada yang meninggal dunia.
Dengan cara
dan model memberi zakat seperti itu, maka terkesan ada justifikasi bahwa mereka
dibutuhkan oleh sekian orang. Dan sekian orang tergantung kepada mereka. Bukan
tergantung kepada Allah. Inikah esensi zakat yang sesungguhnya ?