Jember, MAJALAH-GEMPUR.Com. Selama tahun 2015 angka perceraian di Jember capai
6.108 kasus. Angka ini menurun jika dibandingkan tahun sebelumnya, yang
mencapai 7.544 perkara, yang telah disidangkan oleh PA Jember.
Menurut Panitera Muda Gugatan PA Jember As’ari
mengungkapkan bahwa kasus perceraian ini mayoritas dilatar belakangi persoalan
ekonomi yang tercatat 2.100 kasus, disusul karena faktor ketidak harmonisan
keluarga, sebanyak 1.382 kasus.
“Ada juga yang berlatarbelakang tidak ada
tanggungjawab pasangan, sejumlah 1.210 kasus. Tidak adanya tanggungjawab ini
biasanya karena perhatian yang diberikan salah satu pasangan, baik suami atau
istri dinilai kurang,” ujarnya Jumat (1/1)
Gangguan pihak ketiga, juga menjadi penyebab keretakan
rumah tangga, PA Jember mencatat ada 395 kasus. Disusul kemudian karena rasa
cemburu yang mencapai angka 130 kasus. “Memang macam-macam faktornya, ada juga
yang bercerai karena sebelumnya dipaksa kawin yang tercatat ada 51 kasus,”
imbuh As’ari,
Sementara kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),
sesuai laporan PA Jember, tercatat ada 54 kasus. “Sisanya, karena factor
lain-lain. Yang tidak tercatat secara terperinci,” jelas dia.
Kasus perceraian yang diajukan ke Pengadilan Agama
(PA) Jember, lebih banyak diajukan oleh kaum perempuan. Sebagiamana data yang
terekam PA Jember, dari 6.108 kasus perceraian sepanjang tahun 2015, sebanyak
69,7 persen merupakan perceraian yang diajukan oleh pasangan perempuan.
“Hingga tanggal 31 Desember 2015, data yang tercatat
ada 6.108 perkara gugatan cerai. Dari sejumlah itu, 4.257 merupakan cerai gugat
yang diajukan oleh pihak perempuan. Sisanya, 1.851 kasus adalah cerai talak,
yang diajukan oleh pihak laki-laki,” katanya.
Menurut As’ari, perkara yang disidangkan di PA Jember,
terbanyak memang kasus perceraian. Selain perceraian, ada juga permohonan
sidang isbat nikah sejumlah 892 perkara. “Tertinggi memang perceraian, baru
kemudian permohonan sidang isbat nikah, permohonan perwalian, izin kawin, serta
permohonan dispensasi karena kurang umur saat akan menikah. Jadi total seluruh
perkara sebanyak 7002,” ujarnya.
Ada fakta menarik dari kasus perceraian. Menurut As’ari
sebagian besar pasangan yang mengajukan cerai usia pernikahannya di atas 5
tahun. “Memang faktor usia tidak terpotret dalam catatan pengadilan. Namun
sebagian besar pasangan yang mengajukan cerai, usia pernikahannya di atas 5
tahun,” ujarnya.
Namun, dijelaskan As’ari, hal itu hanya menunjukkan
kecenderungan saja, bukan penghakiman atas usia dalam sebuah hubungan
pernikahan. Menurut dia, pasangan yang bercerai juga tak pandang profesi.
Hampir semua profesi ada yang mengajukan gugutan cerai ke PA Jember, baik itu
cerai gugat maupun cerai talak.
Kendati demikian, penyumbang angka perceraian di
Jember adalah warga yang menjadi Tenaga Kerja Indonesia yang terlalu lama
bekerja di luar negeri. “Kadang saat ditinggal kerja keluar negeri, suami sudah
nikah siri. Ada juga yang karena ekonominya sudah mapan setelah bekerja di luar
negeri, saat pulang sang suami atau istri telah memiliki calon lain sehingga
salah satu pasangannya mengajukan cerai,” paparnya.
Sementara ditanya mengenai wilayah mana yang paling
tinggi tingkat perceraiannya, As’ari tak dapat merinci. Tetapi, dari catatan
dia, wilayah selatan Kabupaten Jember, seperti Kecamatan Ambulu, Wuluhan, dan
Kecamatan Puger, tingkat perceraiannya lebih tinggi jika dibanding daerah yang
lainnya.
“Daerah seperti Jember bagian timur dan utara malah
kecil tingkat perceraiannya. Malah tingkat ekonomi yang lebih mapan angka
perceraiannya lebih besar. Seperti daerah Jember bagian selatan. Mungkin hal
itu karena tuntutan ekonomi keluarganya lebih tinggi, sehingga berdampak
terhadap retaknya hubungan pernikahan,” sebutnya.
Selain faktor tuntutan ekonomi, sambung As’ari,
tingginya angka perceraian di wilayah Jember selatan juga didukung jumlah
penduduk yang lebih besar jika dibandingkan daerah lain.“Selain itu, Jember
bagian selatan angka pernikahannya juga lebih tinggi dibanding wilayah
lainnya,” pungkasnya. (midd/ruz)