
Tak puas sampai disitu, siang itu, di teras rumahnya Ahmad Rofik,
(37 tahun) masih memotongi ujung
stik es krim yang kemarin sore dia beli di pasar setempat. Ia menggunakan stik
dari kayu pinus itu sebagai bahan baku kerajinan kapal-kapalan ciptaannya.
Setelah dipotong, stik ia panaskan menggunakan sebatang korek api.
Tujuannya agar bisa meliuk mengikuti desain kapal. Baru kemudian tiap ujung
stik ia rekatkan menggunakan lem kayu hingga membentuk miniatur kapal. Ukuran
kapal-kapalan bikinannya berfariasi, mulai dari 20 hingga 40 cm, tergantung
jenis kapalnya.
Sehari-hari, ia mengerjakan pekerjaannya dibantu oleh anak
perempuannya yang berusia 10 tahun. Terkadang juga dibantu oleh keponakannya
yang seusia dengan putrinya. Keduanya hanya sebatas mengaplas kapal yang
selesai dirakit Rofik.
Tiap tiga minggu sekali Rofik menitipkan hasil karnyanya ke salah
seorang pemilik stand kerajinan di komplek Pantai Payangan. Ia mengaku baru
mendapat uang setelah laku. "Ini miniatur kapal eder, khas nelayan Puger.
Cuma sekarang kapal jenis ini jarang ditemui. Soalnya tidak tahan saat
terhempas angin," ujarnya.
Kapal eder merupakan kapal yang hanya ada di Puger. Bentuknya
melengkung pada kedua ujungnya, serta cembung di bagian badan kapal. Selain
kapal eder, Rofik juga membuat jukung-jukungan berukuran relatif kecil serta
jenis kapal besar lain yang dia tak tahu persis kapal apa namanya.
Sebelumnya, Rofik bukanlah pembuat kerajianan. Akan tetapi seorang
pemilik kapal pencari ikan yang biasa mempekerjakan nelayan. “Saya mulai menjadi
pengrajin kapal-kapalan sejak November 2016 kemarin, setelah resmi bebas dari
lembaga pemasyarakatan Jember”. Jelasnya
Ia mesti hidup selama 3 tahun 2 bulan di ruang tahanan selepas
pecah kerusuhan sektarian di Puger pada 2013 silam. Setahun awal masa tahanan
ia jalani di Rutan Medaeng Surabaya. Baru kemudian dipindahkan ke Lapas Jember
hingga akhir masa tahanannya.
Selama di Lapas, Rofik berkenalan dengan kerajinan kapal-kapalan
yang ditekuninya. Ceritanya, warga binaan di lapas hampir tiap hari mendapat
pelatihan merangkai bunga dari pelatih yang ditunjuk pihak lapas. Rofik juga
sempat mencicipi kegiatan itu. Namun, pada perjalannya dia terpikir untuk
membuat sesuatu yang beda.
Di sela kesendiriannya di kamar lapas Rofik merenung masuk ke
dunia masa lalunya. Dia merekonstruksi pengalamannya selama bertahun-tahun
sebagai nelayan. Dari situlah ide membuat kapal-kapalan muncul. Uji coba
membuat kapal-kapalan pertama kali dilakukan Rofik dengan memanfaatkan kardus
sisa yang ada di sekitar lapas.
Tidak ada desain yang bisa ia tiru di situ. Rofik membuat
kapal-kapalan hanya berdasar ingatan lamat-lamat. "Akhirnya ya jadi tapi
jelek," kata Rofik. Salah seorang teman sekamarnya menganjurkan agar coba
membuat kapal-kapalan dari bahan stik es krim. Rofik menganggap usulan itu
sebagai saran yang menarik.
Saat keluarganya datang membesuk, ia berpesan agar pada kunjungan
berikutnya dibawakan satu plastik stik es krim. Dari bahan stik itulah Rofik
berhasil membuat kapal-kapalan yang ternyata layak jual. "Ya mungkin ada
faktor bakat juga," tuturnya.
Dengan bantuan petugas lapas, tiap kapal-kapalan yang selesai ia
kerjakan lantas dipajang di ruang jenguk. Tiap itu pula keluarga napi lain yang
datang memborong hasil kerajinan Rofik. "Ada yang membelinya Rp. 100 ribu,
ada juga yang lebih. Tergantung mereka," jelasnya penuh bangga.
Dari situ pula kemudian ia juga diminta petugas lapas untuk
mengajari keterampilan serupa kepada warga binaan lain. Hingga kemudian tiga
buah kapal karyanya sempat diikutkan pada acara kompetisi hasil kerajinan warga
lapas tingkat nasional di Jakarta.
Adalah kabar yang membanggakan bagi Rofik saat kapal-kapalan
buatannya yang diboyong ke Jakarta dinyatakan sebagai hasil kerajinan warga
lapas terbaik nomor dua tingkat nasional.
Setelah menghirup udara bebas, dia berniat fokus menjadi pengrajin
kapal-kapalan. Keputusan itu diambilnya setelah banyak asetnya, termasuk kapal
pencari ikan yang menjadi andalannya, habis terjual selama dia dipenjara.
"Saya nggak punya apa-apa lagi. Cari ikan juga susah
sekarang. Makanya keterampilan membuat kerajinan yang saya dapat dari pelatihan
di Lapas ini yang bisa saya lakukan," ujarnya sambil menyerahkan
kapal-kapalan yang sedari tadi selesai dirakit untuk diamplas kepada putrinya.
Hanya saja, Rofik masih mengeluhkan sulitnya mencari peluang
pasar. Selain di Payangan, belum ada tempat lain yang mau mengakomodir hasil
karyanya itu. Faktor modal juga jadi kendala lain.
Untuk membuat sebuah kapal eder, ia menghabiskan modal Rp. 50
ribu. Lantas ia melepasnya ke pasaran Rp. 100 ribu. Sedangkan, untuk
jukung-jukungan yang ukurannya lebih kecil, Rofik menjualnya Rp. 50 ribu.
"Rata-rata harga jualnya lima puluh persen dari biaya pembuatannya.
Soalnya bikinnya lama dan susah," tutur Rofik.
Ia mengaku memerlukan waktu satu hari untuk menyelesaikan
jukung-jukungan. Dan untuk kapal yang ukurannya lebih besar bisa selesai antara
dua hingga tinga hari.