
Pasalnya dalam sejarahnya
sejak diberlakukan sering dimanipulasi pengadilan dan kelompok Mayoritas “Yang
Dianggap Menodai Agama Resmi di Indonesia”, karena selama ini banyak kasus
seperti ini lebih ‘memihak’ kaum mayoritas, lebih cenderung melindungi
‘kepentingan agama’
Hal ini bias dengan
kepentingan kelompok mayoritas, keduanya merupakan peraturan yang multitafsir,
dimana pasal tersebut bisa digunakan untuk menundukkan siapapun yang dianggap menodai
‘agama’,” ujar Rosita Indrayati Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember, Sabtu,
(13/5)
Sepaham juga mendesak agar
kedua peraturan tersebut dibekukan, hal ini untuk menghormati nilai-nilai HAM dan
menghindari pelanggaran hak individu dan kelompok yang punya penafsiran bebeda.
Serta menyelaraskan peraturan Nasional dengan Instrumen HAM international sebagai
bagian dari HAM di Indonesia.
“Kami melihat kasus
penodaan agama merupakan persoalan hukum yang diputus oleh pengadilan bukan
lagi ditujukan untuk menciptakan rasa keadilan dan melindungi hak-hak individu
dan minoritas, melainkan digunakan untuk menciptakan keadilan versi mayoritas,”
tambah Rosita.