Jember, MAJALAH-GEMPUR.Com. Ratusan pendemo yang menamakan diri Aliansi Peduli Korban Pebankan (APKP) Senin (30/10/2017
siang mendatangi Kantor Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Bapuri Jember.
Jika dibutuhkan,
pada saat pengadilan, Mulyadi mengaku siap menjadi saksi ahli,
sehingga ada proses timbang untuk membuktikan ada tidaknya ketidak patutan
selama proses terjadinya lelang. Dengan demikian diharapkan putusan
pengadilan dapat benar-benar menyampaikan keadilan. (edw).
Para demontrans yang sebelumnya
datangi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Jember ini, membawa spanduk dan poster
bernada kecamaman, Basmi renterner berkedok BPR, bubarkan sarang rentener, dan
BAPURI: Bank Penjarah Uang Rayat Indonesia maupun Waspada bahaya rentener
maupun BAPURI; Bank Pusat Riba
Kemarahan mereka dipicu perampasan
aset ‘dilelang dan eksekusi’ nasabah cacat hukum (janggal). Untuk itu Mereka
menuntut Bank Bapuri mengembalikan tanah dan bangunan milik Kreditur Almarhum
Soeratmin di Perumahana Bumi Mangli Permai, kecamatan Kaliwates yang dijadikan
jaminan pinjaman ke Bapuri
“Dari total pinjaman
Almarhum Soeratmin sebesar Rp 30 juta, Bapuri meminta kreditur membayar lebih
dari Rp 150 juta. Hingga akhirnya objek tersebut dilelang dan dibeli oleh
seseorang yang diduga salah satu pemegang saham di Bapuri”, Teriak korlap aksi,
Dwia Agus Budiono.
Lantaran
tidak satupun Pihak Bapuri yang mau keluar memberi penjelasan, mereka sempat
akan melakukan aksi penyegelan, penurunan papan nama dan pelemparan telur busuk
serta tomat busuk, namun atas himbauan aparat kepolisian aksi tersebut
urung dilakukan.
Meski demikian Agus
memastikan, jika pihak berwenang tidak mampu mencabut ijin atau menutup
operasional Bapuri, maka ia berjanji akan mengerahkan kekuatan massa yang lebih
besar untuk melakukan penutupan sendiri.
Menurut Legal Consultant
BPR Bapuri, Andi Cahyono Putra, hari ini ada mediasi difasilitasi Kapolres.
Namun terjadi deadlock. Sehingga pihak kreditur, Bapuri dan pemenang
lelang menyatakan kedepan tidak akan ada mediasi dan memilih akan
menyelesaaikan kasus ini secara hukum.
Yang
membuat tidak ada titik temu adalah nominal. “Kreditur menawar Rp 40 juta dan
naik menjadi Rp 50 juta. Sementara pemenag lelang mengeluarkan uang Rp 150
juta. Jika kreditur menyetujui Rp 150 juta maka pihaknya akan memberikan
pinjaman, namun ditolak dan memilih menempuh jalur hukum.
Menurut Kepala Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) Jember Mulyadi, pihaknya sudah melakukan upaya maksimal sesuai
kapasitas yang dimiliki. Saat mendatangkan masing-masing perwakilan pihak yang
berperkara, OJK menemukan adanya ketidak patutan. Dari hutang Rp 30
juta membengkak menjadi Rp 150 juta.
Oleh karnanya OJK
menegaskan Bank bukan renternir dan meminta dipotong hingga hutang
yang harus dilunasi kreditur tinggal Rp 53 juta. “Yang menjadi masalah, aset itu
saat ini sudah terlanjur terjual dengan sistem lelang sehingga bank
tidak punya hak untuk mengambil alih aset tersebut”, Jelasnya.
Yang bisa dilkaukan oleh bank sebenarnya
menurutnya adalah hanyalah mengembalikan sisa hasil penjualan. “Jika aset
tersebut terjual dengan harga Rp 75 sementara tagihan kreditur Rp 53
juta, maka yang harus dikembalikan bank sebesar Rp 22 juta.
Kini
pihaknya tidak dapat intervensi kasus yang sudah masuk ke pengadilan. “Jika
Presiden saja tak mampu intervensi kasus di persidangan, apalagi OJK. Jika
ingin menggugugurkan kasus ini dipengadilan maka harus ada perdamaian antara
kreditur dengan pemenang lelang yang rela melepaskan haknya.