Sebagai Calon Ketua KOPRI PKC PMII Jawa Timur, saya—Kholisatul Hasanah—yakin betul bahwa arah gerakan kita hari ini nggak bisa dilepaskan dari realitas yang dihadapi masyarakat secara langsung.
Terutama soal isu lingkungan, yang ironisnya malah absen dari pembahasan debat Ketua PKC dan KOPRI Jawa Timur kali ini. Padahal menurut saya, krisis ekologis yang melilit Jawa Timur bukan sekadar bencana alam atau kejadian insidental. Ini hasil dari relasi kuasa yang timpang atas ruang, alam, dan sumber daya.
Dalam konteks ini, dua misi yang saya bawa—terutama poin keempat dan kelima—justru jadi sangat relevan dan mendesak untuk diwujudkan.
Keduanya saya siapkan sebagai platform gerakan KOPRI yang advokatif, solutif, dan tentu saja berbasis kualitas kader di setiap zona. Maka dari lubuk hati yang paling dalam, saya cukup menyayangkan kenapa isu lingkungan tidak menjadi bagian dari perbincangan debat Sabtu esok.
Misi keempat saya adalah tentang repowering peran KOPRI sebagai mitra kritis yang solutif dan kontributif. KOPRI nggak cukup hanya jadi corong suara. Kita harus bisa hadir sebagai kekuatan analisis, pendorong kebijakan, dan penyambung lidah masyarakat terdampak. Sedangkan misi kelima bicara soal konsolidasi kolektif berbasis zonasi dan manajemen. Intinya, penting ada koneksi antarwilayah, kualitas kader yang merata, dan pendampingan berkelanjutan terhadap isu-isu lokal—tentu dengan pendekatan kearifan lokal.
Dalam bingkai inilah, tujuh wilayah krisis ekologis yang pernah dirilis WALHI Jawa Timur menurut saya menjadi medan strategis untuk KOPRI turun tangan. Dikarenakan coattail effect kerusakan lingkungan bukan hanya berdampak kepada laki-laki, melainkan perempuan, maka dari itu saya ingin KOPRI tidak cuma jadi penonton, tapi benar-benar terlibat sebagai penggerak.
Krisis ekologis di Jawa Timur ini bukan sekadar ancaman lingkungan yang biasa-biasa saja. Ini krisis sistemik—dampak dari tata kelola ruang dan sumber daya alam yang timpang, berwatak kapitalistik, dan seringkali malah melemahkan posisi rakyat di tanahnya sendiri. Di banyak tempat, warga bukan cuma kehilangan sawah atau air, tapi juga hak dasar mereka untuk hidup di lingkungan yang sehat dan adil.
Sebagai kader perempuan PMII dan kebetulan juga sebagai calon Ketua KOPRI PKC Jawa Timur, saya merasa inilah panggilan yang mempertegas urgensi dua misi tadi. Kita nggak bisa cuma diam dan jadi saksi atas derita rakyat. KOPRI menjadi bagian dari solusi, dari perubahan, dari suara-suara yang nggak mau tunduk pada ketimpangan dan kepentingan elit.
Tulisan ini adalah bentuk artikulasi dari dua misi besar tersebut. Saya rumuskan dengan membaca dan merenungi kondisi di tujuh wilayah krisis ekologis yang dilaporkan WALHI Jawa Timur. Setiap wilayah menyimpan cerita luka yang mendalam. Tapi di saat yang sama, ada potensi besar untuk lahirnya gerakan perubahan—gerakan yang bisa dimotori oleh kader-kader perempuan progresif, khususnya dari KOPRI itu sendiri.
Surabaya Raya—meliputi Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo—pelan-pelan berubah jadi pusat urban yang disebut-sebut sebagai simbol kemajuan Jawa Timur. Tapi, kemajuan macam apa kalau harus menyingkirkan alam dari denyut kehidupan manusianya?
Ruang terbuka hijau makin mengalami penyempitan, waduk-waduk dialihfungsi, dan wajah kota diganti deretan properti mewah. Ini bukan sekadar krisis ekologis, tapi juga krisis peradaban kota yang mulai kehilangan etika dalam mengatur tata ruang hidup.
Ambil contoh kasus Waduk Sepat. Dulu, waduk ini jadi penyangga banjir, sumber air, dan tempat bersosialisasi warga. Namun sekarang atas nama investasi, waduk itu “ditukar guling” dan berubah jadi kawasan properti. Lebih mirisnya, warga yang mencoba melawan justru dikriminalisasi. Negara bukannya melindungi, malah tampak condong ke pemodal.
Sudah saatnya ada moratorium alih fungsi lahan ekologis di kawasan urban. Pemerintah harus mengaudit semua proses tukar guling dan membuka dokumennya ke publik.
Perlindungan hukum terhadap waduk dan RTH kampung harus jadi prioritas. Dan yang penting, warga harus dilibatkan secara partisipatif dalam perencanaan kota lewat forum musyawarah ekologi yang berbasis kebutuhan nyata—bukan demi keuntungan kapital.
Tak hanya itu, WALHI Jawa Timur ditahun 2024 kembali merilis ikhwal ruang hidup nelayan di Surabaya yang saat ini juga sangat rentan oleh ancaman ocean grabbing atau perampasan atas ruang laut dalam bentuk reklamasi berkedok proyek strategis nasional (PSN).
Juga konflik di Kampung Pecinan Tambak Bayan, Surabaya, melibatkan sengketa lahan antara warga (mayoritas etnis Tionghoa) dan pihak hotel (juga etnis Tionghoa) yang ingin menggusur kampung tersebut. Warga Tambak Bayan berupaya mempertahankan kampung mereka yang merupakan bagian dari sejarah dan budaya Surabaya.
Porong, Sidoarjo: Luka Lapindo yang Tak Pernah Diobati
Sudah hampir dua dekade sejak tragedi Lapindo melanda Porong. Tapi luka ekologis dan sosialnya tak kunjung sembuh. Kurang lebih 600 hektare wilayah tenggelam lumpur panas, dan ribuan warga kehilangan rumah, tanah, bahkan identitas kampung halamannya.
Ketika rakyat dibiarkan terpuruk, seharusnya negara hadir dan menyelesaikan pemulihan secara serius. Tapi nyatanya? Alih-alih menyelesaikan, justru membiarkan izin perusahaan yang terbukti lalai. Di mana letak keberpihakan kalau begini?
KOPRI kedepannya harus bersuara lantang. Dorong penghentian eksplorasi migas di wilayah padat penduduk yang belum dikaji secara ekologis.
Kita perlu advokasi lahirnya UU khusus tentang tanggung jawab korporasi atas bencana ekologis. Bahkan, perlu ada badan independen untuk mengawasi dan menangani pemulihan pascabencana, yang benar-benar melibatkan korban secara aktif, partisipatif, dan bermartabat.
Jombang: Ekspansi Migas Tanpa Etika dan Kajian Lingkungan
Setelah Porong, Lapindo Brantas merambah wilayah Jombang. Kali ini caranya lebih halus tapi nggak kalah licik: eksplorasi dilakukan tanpa Amdal, cukup dengan UKL-UPL. Padahal wilayah ini padat penduduk dan rawan bencana. Ini bukti bahwa regulasi dilemahkan demi memuluskan jalan investasi migas.
Regulasi yang seharusnya melindungi rakyat justru dipakai buat kompromi. Permen LH No. 05/2012 yang memperbolehkan eksplorasi hanya dengan UKL-UPL. Ini jelas harus direvisi. Kita nggak bisa biarkan wilayah padat penduduk jadi kelinci percobaan industri ekstraktif.
KOPRI harus ambil posisi sebagai pengingat publik. Pembangunan tanpa kajian lingkungan bukan sekadar kesalahan, tapi kejahatan sistemik. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) harus ditegakkan dengan serius, disertai konsultasi publik yang sungguh-sungguh—bukan cuma formalitas.
Lakardowo, Mojokerto: Hidup di Tengah Limbah Racun
Desa Lakardowo jadi bukti nyata bagaimana warga dipaksa hidup berdampingan dengan limbah B3 dari PT PRIA. Air berubah warna, anak-anak kena penyakit kulit, panen rusak, dan negara seperti kehilangan arah. Tapi di tengah kesenyapan itu, muncul suara-suara perlawanan dari para perempuan yang menamakan diri “Green Woman”. Mereka bukan cuma korban, tapi juga motor perubahan.
Saat negara diam, perempuan bersuara. Ini kekuatan yang harus terus dijaga dan diperluas. Semangat ini seharusnya jadi napas gerakan KOPRI. Kita nggak cukup menyuarakan derita. Kita harus membangun gerakan yang dorong perubahan nyata.
Langkah yang bisa didorong: hentikan sementara industri pencemar sampai ada audit lingkungan menyeluruh. Pelaku kejahatan limbah harus dihukum tegas. Negara wajib hadir dengan air bersih dan layanan kesehatan gratis. Dan KOPRI perlu mengadvokasi insentif buat industri yang benar-benar ramah lingkungan.
Desa Adat Sendi, Mojokerto: Ketika Hukum Adat Tidak Dianggap sebagai Hukum
Desa Sendi mengajari kita bahwa perlawanan nggak selalu lewat demo. Bertahun-tahun, mereka rawat hutan, tanam bambu, jaga mata air, dan lestarikan situs budaya. Tapi waktu mereka minta pengakuan sebagai masyarakat hukum adat, negara menolak hanya cuma gara-gara alasan administratif.
Kita harus bertanya sekarang: sejak kapan administrasi lebih penting dari realitas yang hidup? Desa Sendi jelas secara substansi layak disebut komunitas adat. Tapi karena nggak cocok dengan “standar negara”, mereka malah diabaikan. Ini pengingkaran terhadap keadilan dan keberagaman lokal.
Ke depannya saya menginginkan dari terajutnya konsolidasi antar zona, KOPRI bisa mendorong pengesahan Perda pengakuan masyarakat hukum adat. Standar pengakuan jangan cuma pakai angka dan formulir. Wilayah adat harus masuk dalam revisi RTRW dan program kehutanan sosial, bukan cuma demi alam, tapi juga demi budaya yang diwariskan dari generas ke generasi.
Malang Raya dan Pasuruan: Hulu yang Terancam, Sumber Air yang Mati
Malang dan Pasuruan sering dibanggakan sebagai kota-kota sejuk dan kaya sumber air. Tapi kenyataannya, di kota tersebut mata air di hulu satu per satu mengering. Bukan karena cuaca, tapi karena deforestasi dan industrialisasi pariwisata. Ironisnya lagi, perusahaan air minum kemasan ikut-ikutan mengurasnya tanpa batas.
Dampaknya, Pasuruan bagian hilir sering alami kekeringan. Ini bukan cuma ironi, tapi cermin dari pada tata kelola air yang timpang. Hulu dikuras, penjaga alam ditinggalkan.
Solusinya harus berani dan bareng-bareng. Moratorium eksploitasi air tanah di hulu harus segera dilakukan. Rehabilitasi tangkapan air mesti melibatkan semua pihak. Bangunan liar di zona konservasi air harus ditindak. Air bukan untuk diperdagangkan, tapi dijaga bersama.
Tapal Kuda: Hutan Direbut, Petani Dikriminalisasi
Wilayah Tapal Kuda—Jember, Situbondo, Lumajang—di berbagai tempatnya jadi saksi konflik antara petani dan Perhutani. Warga yang sejak lama mengelola hutan dituduh sebagai perambah, bahkan dikriminalisasi. Sementara korporasi justru diberi izin menebang dan menggali. Ini bentuk ketidakadilan yang dilegalkan negara.
Sudah saatnya pemerintah hadir untuk mengaudit semua izin kehutanan dan tambang alias dilakukan ulang. Hak kelola hutan harus dikembalikan ke masyarakat, bukan sekadar lewat skema administratif, tapi dengan jaminan partisipasi dan hak penuh warga. Petani hutan juga harus segera didekriminalisasi.
Tapal Kuda adalah simbol. Simbol bahwa perjuangan rakyat atas ruang hidup belum selesai. Dan KOPRI harus hadir, bukan cuma sebagai pendamping hukum, tapi juga sebagai pendengar, penguat, dan penggerak perubahan.
Penutup: KOPRI dan Agenda Perubahan Ekologis Jawa Timur
Krisis ekologis di Jawa Timur ini bukan sekadar deretan tragedi yang akan menjadi momok bagi masyarakatnya. Ini cerminan dari ketimpangan struktural dan ketidakpedulian negara terhadap keadilan ekologis. Tapi di balik semua itu, selalu ada harapan perubahan—asal kita mau bergerak dan menyusun kekuatan dari bawah.
Misi keempat saya sebagai calon Ketua KOPRI PKC adalah memastikan bahwa KOPRI nggak cuma hadir di ruang diskusi, tapi juga di medan juang. Jadi mitra kritis yang nggak cuma mencatat, tapi juga merumuskan solusi. Sementara misi kelima bicara tentang pentingnya konsolidasi zonasi, supaya semua wilayah—terutama yang terdampak krisis ekologis—mendapat perhatian dan standar gerakan yang setara.
Maka dari itu semua, sudah waktunya sekarang KOPRI tampil di garis depan perjuangan sosial-ekologis. Kita perlu bangun forum advokasi lintas zona, rumuskan kebijakan alternatif dari bawah, dan perkuat aliansi strategis dengan akademisi, jurnalis, serta pembela hukum. Melihat fakta-fakta yang sudah ada, bumi nggak akan diselamatkan oleh negara atau pasar. Bumi hanya bisa dijaga oleh mereka yang hidup bersamanya—raky
at, komunitas, dan anak cucu kita.***
*Penulis adalah Calon Ketua Kopri PKC Jawa Timur.