![]() |
Forum Grand Launching & Project Group Discussion bertema “Mentracking KUHP Baru sebagai Upaya Membangun Paradigma Hukum Pidana Abad 21” yang digelar di Banyuwangi, Sabtu (26/7/2025). |
Banyuwangi, MAJALAH-GEMPUR.Com - Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang mulai diberlakukan sebagai payung hukum pidana nasional menuai sorotan tajam dari kalangan praktisi hukum, aparat penegak hukum, dan akademisi. Hal itu tampak dalam forum Grand Launching & Project Group Discussion bertema “Mentracking KUHP Baru sebagai Upaya Membangun Paradigma Hukum Pidana Abad 21” yang digelar di Banyuwangi, Sabtu (26/7/2025).
Diskusi berlangsung di Jl. Kepiting No. 34–35, Kelurahan Tukangkayu, Banyuwangi, dan dipandu oleh Achmad Wahyudi, advokat senior sekaligus pengasuh pondok pesantren. Forum ini menghadirkan tiga narasumber dari institusi kunci sistem peradilan pidana: Kepolisian, Kejaksaan, dan perguruan tinggi.
Komang Yogi Arya Wiguna dari Polresta Banyuwangi menekankan pentingnya sinkronisasi pemahaman di antara aparat penegak hukum dalam menafsirkan pasal-pasal baru KUHP. Ia menilai semangat keadilan restoratif harus dimaknai secara tepat agar tidak kehilangan arah dalam implementasi di tingkat penyidikan.
Senada dengan itu, Gede Agastia Erlandi dari Kejari Banyuwangi menggarisbawahi bahwa peran jaksa dalam tahapan pra-penuntutan kini menuntut kehati-hatian lebih tinggi. Ia mencontohkan sejumlah pasal yang bersifat karet berpotensi multitafsir dan menyulitkan proses pembuktian di pengadilan.
Dari ranah akademik, Riza Alifianto Kurniawan menilai KUHP baru masih mewarisi semangat kolonial dalam sejumlah pasalnya. Ia juga menyoroti minimnya ruang bagi inovasi hukum di tengah perkembangan teknologi digital dan perubahan perilaku sosial.
Diskusi berkembang tajam ketika sejumlah praktisi hukum dari Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Banyuwangi menyampaikan kritik terbuka. R. Bomba Sugiarto menilai ada kegamangan dalam pelaksanaan asas legalitas. Ia mengingatkan, pasal-pasal baru tidak boleh menjadi alat pembenaran kriminalisasi terhadap ekspresi dan hak sipil masyarakat.
Hal senada disampaikan Andi Purnama dan Sugeng dari Peradi Banyuwangi. Mereka menekankan bahwa kompleksitas aturan dalam KUHP baru bisa memicu overkriminalisasi jika tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas aparat dan transparansi dalam penegakan hukum.
Selain advokat, forum ini juga dihadiri kalangan akademisi, mahasiswa hukum, tokoh masyarakat, serta perwakilan Forkopimda Banyuwangi. Diskusi berlangsung selama lebih dari tiga jam dengan partisipasi aktif dari peserta.
Menutup acara, Achmad Wahyudi menyatakan bahwa forum ini merupakan bentuk kontribusi konkret dari daerah dalam menyikapi perubahan besar dalam sistem hukum nasional. “Dari Banyuwangi, kita mulai membuka ruang refleksi terhadap hukum pidana Indonesia yang ideal,” ujarnya. (kim)