Selamat Hari Jadi Jember ke 96

https://draft.blogger.com/blog/page/edit/1360945809311009771/7858131956542366929

Translate

Iklan

Demokrasi dalam Bayang Ambisi dan Trauma: Bisakah Parlemen Menyerap Aspirasi di Era Post-Truth?

02 September 2025, Selasa, September 02, 2025 WIB Last Updated 2025-09-02T08:38:38Z

 Ditulis oleh Rickhardo Hasudungan Tumanggor, Anggota FAA PPMI (Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia)


### **Pendahuluan**


Demokrasi Indonesia pasca-Reformasi 1998 adalah sebuah karya yang belum selesai. Meski berhasil membangun pilpres dan pemilu yang berjalan, jurang antara aspirasi warga dan kebijakan nyata justru menganga. Era *post-truth*—di mana emosi dan keyakinan mengalahkan fakta—memperdalam jurang itu. Esai ini berargumen bahwa masa depan penyerapan aspirasi publik tidak hanya bergantung pada prosedur demokrasi, tetapi pada tarik ulur empat faktor kunci: **ambisi elit, trauma kolektif, karakter kepemimpinan, dan peran parlemen.**


### **Analisis**


**1. Ambisi dan Trauma: Memanfaatkan Luka Lama untuk Kekuasaan Baru**


Ambisi politik, yang seharusnya diterjemahkan menjadi kerja nyata, sering kali dipuaskan dengan memanipulasi trauma kolektif. Narasi tentang "stabilitas" dan "ketertiban"—gema dari luka rezim otoriter dan kerusuhan 1998—dijadikan alat untuk melegitimasi pembatasan kebebasan sipil.


Buktinya terlihat dari dua produk hukum kontroversial:

* **UU Cipta Kerja:** Diabdikan untuk ambisi menarik investasi, proses pengesahannya mengabaikan partisipasi publik yang bermakna.

* **KUHP Baru:** Meski melibatkan dialog, pasal-pasal bermasalah seperti penghinaan terhadap presiden tetap lolos. Trauma akan kekacauan dan ambisi memiliki produk hukum "reformasi" digunakan untuk melemahkan ruang demokrasi.


**2. Kepemimpinan dan Parlemen: Koalisi Gemuk, Pengawasan Kurus**


Sebuah kepemimpinan yang sentralistik dan populis cenderung melihat parlemen hanya sebagai stempel untuk mengesahkan agenda, bukan mitra yang setara. Parlemen, yang didominasi koalisi pendukung pemerintah, pun kehilangan taringnya.


Fungsi pengawasan melemah bukan karena ketidakmampuan, tetapi karena **ambisi pragmatis partai**. Trauma akan ketidakstabilan koalisi di masa lalu dan nafsu untuk mendapat jatah kekuasaan (rent-seeking) lebih kuat daripada kewajiban untuk mewakili rakyat. Hasilnya, dalam pembahasan APBN dan RUU kontroversial, DPR lebih sering berfungsi sebagai *rubber stamp*.


**3. Amplifier Post-Truth: Memperkeruh Segala-Galanya**


Era *post-truth* memperparah semua faktor ini:

* **Ambisi** kini bisa diraih dengan menciptakan "fakta" lewat buzzer dan media partisan.

* **Trauma** dibesar-besarkan lewat narasi emotif di media sosial untuk menebar rasa takut.

* **Kepemimpinan** bisa dibangun dari persona fiktif, bukan rekam jejak.

* **Parlemen** kian tidak relevan karena debat berbasis fakta tenggelam dalam *political spectacle* dan perang narasi online. Aspirasi publik yang nyata hilang dalam banjir informasi yang bias.


### **Kesimpulan: Jalan Terjal Menuju Konsolidasi**


Potret suram itu nyata: ambisi elit yang memanfaatkan trauma, didukung pemimpin populis, dan dilemahkan oleh parlemen yang lunak, membuat penyerapan aspirasi hanya terjadi secara semu.


Namun, harapan tetap ada pada tekanan dari masyarakat sipil, media independen, dan akademisi. Membalikkan tren ini memerlukan:

1. **Rekonsiliasi masa lalu** yang berbasis kebenaran, bukan politisasi.

2. **Reformasi sistem elektoral** yang memberi imbalan pada politisi yang bekerja untuk rakyat, bukan donatur.

3. **Pencarian figur kepemimpinan** yang berkomitmen pada institusi demokrasi, melampaui politik identitas.

4. **Penguatan kemandirian parlemen**, mendorong fungsi pengawasan yang kritis bahkan dari dalam koalisi.


Demokrasi Indonesia tidak diukur dari seringnya pemilu, tetapi dari kemampuannya menjawab aspirasi warganya dengan jujur—sebuah ujian yang semakin berat di tengah


kabut era *post-truth*.

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Demokrasi dalam Bayang Ambisi dan Trauma: Bisakah Parlemen Menyerap Aspirasi di Era Post-Truth?

Terkini

Close x