Hampir Sewindu, Tanpa Ada Kepastian Ganti Rugi.
Subandi, Saat Didampingi H. Mashud |
Gempur-Jember. Tujuh
tahun bukanlah waktu yang singkat, apalagi waktu yang ditempuh itu tanpa ada
sebuah kepastian. Seidaknya itulah yang dirasakan Subandi (56), yang sebelumnya
tinggal di Desa Tanggul Wetan Kecamatan Tanggul (sekarang area pembanguna
tanggul plaza). Subandi adalah penerima hibah dari Toasih ahli waris dari Toli
alias Tinggal Slamet, yang hampir tujuh tahun terahir ini menunggu ganti rugi
penggusuran yang tak kunjung tiba.
Kejadian yang memaksa Subandi pindah dari rumahnya itu
berawal saat tahun 1999. Dari keterangan Toasih, Ketika itu Subandi mencari
data-data kepemilikan tanah tersebut, setelah mendapatkan bahwa tanah itu atas
nama Toli alias Tinggal Slamet (bapak dari Toasih_red), akhirnya pada tahun
2000 Subandi berani membangun rumah diatas tanah tersebut.
Kurang lebih 3 tahun ia menempati rumahnya, tepatnya
tahun 2004, ketenangan Subandi terusik dengan kedatangan Kepala Desa Tanggul
Wetan, Suryatim (Alm), serta Edy Budi Susilo, yang saat itu menjabat Kepala
Bagian Polisi Pamong Praja (Kabag Pol PP) Pemerintah Kabupaten Jember. Pejabat
terahir, penerima kuasa dari Masaji Mulyo yang berkedudukan di jalan Basuki
Rahmat No. 11 Surabaya.
Kedua pejabat tersebut mendatangi Subandi dan menyuruhnya agar tanah segera di
kosongkan, dengan alasan akan di bangun Pasar Kabupaten, yang ternyata adalah
Tanggul Plaza, akan tetapi Subandi menolak untuk meninggalkan rumahnya,
sebab Subandi merasa memiliki bukti kepemilikan Petok dan bukti pembayaran
pajak yang sah sebagaimana yang tertera di buku kerawangan Desa Tanggul Wetan dengan
Nomer Petok. C No. 1331 dan 219 atas nama Toli alias Tinggal Slamet/Toasih.
Disisi lain, ternyata tanah tersebut juga dikuasai oleh
pengusaha, berdasar Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN)
tanggal 10/01/1991, Nomor 42/HGB/BPN/1991. Dan telah diterbitkan sertifikat Hak
Guna Bangunan (HGB) dengan Nomor 46/Tanggul Wetan atas nama Widhakdo Mulyo,
dahulu bernama Tjieo Bien Hoei dengan
luas tanah 11,095m2, yang berlaku sampai dengan 11 Juni 2010.
Sebelum dikuasai Widhakdo Mulyo, tanah itu berstatus Eigendom Perponding Nomor 2986 dan 3252
atas nama Gerrit Tjioe (Tjioe Sien Aan),
yang juga diterbitkan sertifikat HGB Nomor 2/Tanggul Wetan dan Nomor 4/Tanggul
Wetan Atas Nama Lie Han Tjioe Stichting,
yang berkedudukan di Kabupaten Bondowoso dan berakhir masa haknya pada tanggal
23 September 1980.
Ditemui dirumahnya, Minggu (25/12/11) Subandi kembali
menceritakan saat awal pembongkaran paksa itu. Ia mengatakan bahwa hasil
kesepakatan, tanahnya akan dibeli dengan harga umum, serta ada ganti biaya
pembongkaran rumah sebesar Rp. 20 juta, bahkan dirinya dijanjikan untuk
dicarikan tanah pengganti.
Pejabat waktu itu mengatakan, lanjut Subandi, sedikitnya
ada 3 lokasi yang telah disiapkan sebagai pengganti tanahnya yang digusur.
Salah satunya di Desa Tanggul Kulon dan 3 lokasi lainnya di Desa Tanggul Wetan,
“setelah kami kroscek tempat yang disediakan, kami bersedia pindah dan membangun
rumah, termasuk saya membuat rumah di tanggul ini. Tapi setelah dua tahun kami
menempati tanah ini, kami di tagih oleh orang yang mempunyai tanah. Jadi
ternyata tanah ini tidak dibayar, dan kami yang harus membayarnya. Padahal uang
ganti rugi yang di janjikan tidak kunjung datang sampai sekarang,” ujar
Subandi, yang merasa kecewa atas oknum pejabat tersebut.
Tak mau menyerah begitu saja, Subandi berusaha mengadukan
nasibnya kepada pihak terkait dengan melayangkan surat kebeberapa instansi pemerintah
mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten, bahkan ke Presiden, “saya yang
langsung antar sendiri kerumah pribadi beliau (Presiden SBY_red) di cikeas,”
katanya.
Namun tetap saja tak ada keadilan baginya, lagi-lagi
jawaban dari Cikeas sama dengan jawaban yang
disampaikan oleh pihak kabupaten yang ia surati terlebih
dulu, “isinya bahwa saya sudah menerima uang ganti rugi sebesar 20 juta,
padahal uang tersebut adalah biaya bongkar bukan ganti rugi,” paparnya.
“Dan apabila kami tidak puas, kami di suruh menempuh ke jalur
hukum, biaya apa yang kami pakai untuk berperkara mas,” keluhnya. “Apakah keadilan
harus di tempuh dengan berperkara dulu. Selain tak memiliki biaya, kan sudah
jelas tanah itu milik kami,“ imbuh Subandi,
dengan nada bertanya-tanya dan menyesal.
Ditemui terpisah, Edi Budi Susilo, yang saat ini menjabat
Kepala Bapemas Kabupaten Jember,
berdalih keterlibatan dirinya dalam proses pembongkaran rumah milik Subandi
adalah membantu dan menjembatani proses tersebut. Saat disinggung dalam kapasitas
apa dia membantu permasalah ini, Edi mengatakan dirinya sebagai pribadi yang
pernah menjabat sebagai Camat Tanggul, ”waktu itu, sebelum saya sebagai Kabag
Pol PP, saya menjabat Camat Tanggul. Jadi ada semacam ikatan emosional anatara
saya dengan warga Tanggul,” kilahnya.