Oleh
: Drs. Mohammad Hasyim, MM.

Secara
fisik, pendidikan formal bagi seseorang bisa dimulai ketika seseorang minimal
telah berusia 6 tahun. Sedangkan batas atas pendidikan adalah kurun waktu kapan
proses pendidikan bagi seseorang harus disudahi. Secara umum, pendidikan formal bagi
seseorang harus disudahi ketika seseorang
(anak didik) telah mencapai kedewasaan. Kedewasaan sendiri bisa diukur dari
aspek pisik, psikologis, sosial maupun ekonomi. Secara fisik, seseorang
dinyatakan dewasa apabila ia telah berusia 24 tahun bagi laki-laki dan 21 tahun
bagi perempuan, walaupun pada kasus-kasus tertentu ukuran tersebut bisa tidak
sesuai.
Pada
masyarakat agraris misalnya, usia biologis/fisik laki-laki maupun perempuan
datang lebih cepat. Sementara pada masyarakat urban, usia biologis mereka
cenderung melambat. Secara psikologis, ya itu tadi, ketika seseorang telah bisa
menghargai otoritas orang lain, ketika seseorang telah bisa membagi empati
dengan orang lain. Secara sosial, pendidikan bisa disudahi ketika seseorang
telah bisa melakukan peran-peran sosialnya, bisa memutuskan pilihan hidup
sekaligus sanggup mempertanggungjawabkan keputusan yang dibuatnya baik positif
maupun negatif. Sedangkan secara ekonomis, seseorang dinyatakan telah dewasa
dari sisi pendidikan ketika seseorang telah bisa mencukupi kebutuhan hidup
sehari-harinya, minimal kebutuhan-kebutuhan dasar dengan tanpa menyusahkan
orang lain.
Secara
informal, pendidikan sejatinya telah berlangsung jauh sebelum seseorang
dilahirkan kedunia dan peristiwa tersebut (baca:pendidikan) akan terus
berlangsung sejalan dengan tahapan-tahapan kehidupan manusia. Karena itu ada
istilah pendidikan pre-natal, pendidikan masa bayi, pendidikan anak usia dini,
pendidikan remaja dan pendidikan bagi
orang dewasa. Untuk menjamin keberhasilan pendidikan tersebut maka perlu
dikawal oleh konsep-konsep dasar psikologis dan pedagogis yang pas dengan tahap-tahap perkembangan tersebut.
Sejalan
dengan bertambahnya umur seseorang, maka berkembang pula potensi psikologisnya,
yang bersamaan dengan itu pula berkembang kebutuhan hidupnya, tuntutan-tuntutanya,
harapan-harapan dan pilihan-pilihan hidupnya. Disaat yang sama tumbuh pula
bakat, minat, kecenderungan-kecenderungan, interaksi dan afiliasi sosialnya.
Disisi lain, diluar diri seseorang, berkembang pula dengan cepat ilmu
pengetahuan, tehnologi, informasi dan komunikasi.
Semua
ini menjadikan sebab kebanyakan orangtua tidak lagi memiliki kemampuan untuk
memberikan pendidikan secara intensif kepada anak-anaknya. Banyaknya kebutuhan
hidup keluarga yang harus dipenuhi, mendorong orangtua harus sama-sama bekerja
diluar rumah. Ini juga menjadi alasan sehingga para orangtua mengirim
anak-anaknya ke sekolah-sekolah untuk mendapatkan layanan pendidikan formal
dari para guru. Sejak saat itulah pendidikan yang didesain dengan aturan-aturan
baku dan ketat (rigid) berkembang.
Sungguhpun
ada beragam jenis, jenjang dan satuan pendidikan formal, ada misi universal
diantara keragaman tersebut, yakni membentuk manusia ideal, manusia yang
berkepribadian utuh, yang dalam konsep Islam dikenal dengan istilah insan
kamil. Insan Kamil tersebut dicirikan dengan kecerdasan, keimanan/ketaqwaan,
kejujuran, kreatifitas, keuletan, solidar etis serta ahlakul karimah. Semakin
ideal kadar ke-insan kamilan, seseorang, semakin berkwalitas pula
kepribadian seseorang. Dan semua itu inheren dengan tujuan pendidikan
itu sendiri yaitu dewasa secara universal.
Pergeseran
orientasi kehidupan masyarakat membawa pula pergeseran cara masyarakat melihat,
memandang, menyikapi dan memberlakukan sesuatu dalam kehidupan mereka
sehari-hari, termasuk dalam praktek pendidikan di sekolah. Jika
dahulu,ukuran-ukuran pendidikan lebih ditekankan pada aspek-aspek yang lebih
bersifat afektif-kwalitatif, dan karenanya cenderung idealis, normatif
serta sarat nilai, tetapi sekarang tidak lagi demikian. Ukuran keberhasilan
pendidikan bagi seseorang lebih
ditekankan pada aspek-aspek yang lebih bersifat kwantitatif, dan
karenanya cenderung terukur secara phisik, pragmatis dan instan. Nah, disinilah
sebenarnya ada sesuatu yang hilang. Ada dimensi yang terabaikan dalam praktek
pendidikan modern yang cenderung kapitalis itu. Ada something loss dalam
pendidikan kita.
Adalah
sangat bisa dimengerti ketika semakin banyak masyarakat yang pinter (cerdas)
karena jasa pendidikan formal, tetapi semakin banyak pula ketimpangan-ketimpangan dan ironi-ironi
sosial terjadi di tengah-tengah masyarakat. Semakin banyak warga masyarakat
yang melek pendidikan, justru masyarakat semakin bertambah kacau, saling fitnah
dan saling bernafsu untuk menguasai satu terhadap lainya. Bukan pendidikanya
yang salah, ketika semakin banyak orang
Indonesia terpelajar bergelar sarjana, magister dan bahkan doktor, tetapi
korupsi makin bertambah maju dan menyebar dihampir semua bidang kehidupan, baik
sosial, politik, hukum apalagi ekonomi. Dan tidaklah salah jika negara ini
(Indonesia) dinobatkan sebagai salah satu negara terkorup di dunia oleh salah
satu lembaga internasional yang konsen dalam bidang ini. Dan cita-cita
menjadikan Indonesia sebagai negara yang damai, adil, sejahtera dan berkeadaban
semakin jauh panggang dari apinya.
Jika
kita semua yakin bahwa pendidikan adalah instrumen penting dalam membangun
masyarakat, yang denganya (pendidikan) masyarakat menjadi semakin cerdas, makin
trampil, makin mandiri, makin jujur, makin bertanggungjawab. Dan sekiranya kita
sadar bahwa hanya dengan pendidikan sajalah maka masyarakat akan semakin maju, semakin
berbudaya, bebas dari berbagai himpitan penyakit-penyakit sosial dan mental, maka
secepatnya kita menemukan dan mengembalikan lagi roh (spirit) pendidikan
yang hilang tersebut pada tempatnya. Roh atau spirit tersebut tiada lain adalah
keteladanan, kejujuran, keihlasan serta tanggungjawab.
Jika
dimensi-dimensi ini dapat kita
kembalikan lagi kedalam praktek pendidikan formal kita sehari-hari di sekolah, maka
insya-Alloh Indonesia akan segera bisa bangkit dari berbagai keterpurukan, karena
didukung oleh SDM yang cerdas, intelek sekaligus berahlak mulia. Dan ditangan
orang-orang seperti inilah pembangunan akan dapat dijalankan secara amanah.
Walllohu A’lam Bis Showab.
Penulis:
Pengawas Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan Kab. Banyuwangi, Ketua STAI
Ibrahimy Genteng Banyuwangi.