
Sejak pagi, upacara yang
digelar pada Minggu 25 Nopember 2012 dan sudah menjadi agenda tahunan mulai
dipadati ribuan masyarakat yang ingin melihat dari dekat upacara adat
kebo-keboan atau yang lazim disebut Ritual Using (Ritus) Kebo-Keboan ini.
Acara warga Dusun Krajan,
Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, Kabupaten Banyuwangi, Jatim yang digelar setiap bulan
Suro (dalam kalender Jawa) ini, sedianya akan dimulai jam 8 pagi dan dibuka
Gubernur Jatim, Soekarwo, tersebut sempat molor beberapa jam dari jadual yang
ditentukan panitia. Pasalnya, informasi yang diterima panitia Soekarwo sudah
berada di Banyuwangi.
Namun sayangnya setelah
ditunggu hingga pukul 10.00 Wib, orang nomor satu di Provinsi Jawa Timur itu
tak kunjung datang. Akhirnya, pesta rakyat itupun dibuka oleh sekretaris Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi, Fajar Swasana, SH, mewakili
Bupati Abdullah Azwar Anas, yang berhalangan hadir karena sedang melakukan
kunjungan dinas keluar negeri.

Sontak dari jajaran
penonton tidak sedikit yang harus lari tunggang langgang karena takut disenggol
Kebo jadi-jadian. Maklum, tubuh kebo-keboan itu penuh dengan lumpur dan cat
warna hitam yang melumuri seluruh tubuhnya. Bahkan dalam Ritus tersebut,
beberapa Kebo jadi-jadian sengaja mendekap dan mengusap-usapkan lumpur hitam
yang menempel ditubuhnya kepada penonton ibu-ibu maupun pemuda-pemuda. Sehingga
sempat terdengar jeritan histeris ketakutan dari mereka walaupun sebenarnya
tidak ada hal yang membahayakan.
Moh. Syarfin, selaku tetua
adat sekaligus yang memandu serangkaian acara menyatakan, bahwa apa yang
diperbuat oleh para Kerbau jejadian itu sebagai salam persaudaraan yang
hendaknya tidak dijadikan alasan untuk marah atau emosi. “Maksudnya itu
pertanda salam persaudaraan, tenang saja. Tidak ada masalah kok” ujarnya
melalui speaker menenangkan ketakutan dan histerisasi para penonton yang sempat
terkena sentuhan para Kerbau jejadian.
Sementara HM. Suriko,
selaku ketua panitia menyatakan kegembiraannya. Mengingat tahun ini Ritus
didaerahnya dihadiri ketua Taman Budaya Desa Adat Nusantara, Mbah Suprapto,
dari Solo, Jateng, yang sekaligus juga menyerahkan cinderamata berupa Ani-Ani.
“Syukur Alhamdulillah kepada Gusti Alloh SWt, Ritus Kebo-Keboan tahun ini lebih
meriah lagi dibandingkan dengan tahun-tahun kemarin,” ujarnya kepada puluhan
awak media cetak maupun electronik yang merubungnya.
Setelah serangkaian ritual
usai digelar, akhirnya event tahunan yang juga sudah masuk dalam kalender
wisata di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi, itu ditutup
dengan ritual membajak sawah dan menyemai benih padi ditengah pematang sawah.
Ritual yang dinantikan penonton itu yakni menyemai ditengah pematang sawah,
karena mereka meyakini benih padi yang disemai dalam ritual tersebut bisa untuk
“syarat” dan disimpan serta disemai bersamaan dengan padi dimusim tanam.
Hal itu diyakini bisa
menjauhkan tanaman padi dari hama tikus, wereng dan penyakit padi. Untuk
memperoleh padi yang ditebar itu, para penonton harus berjibaku dengan sang
Kebo jejadian yang berusaha menjaga agar tidak bisa merebutnya. “Saya puas
meski tubuh harus penuh lumpur, yang penting saya dapat padi yang disemai”
ungkap Yogik (45), warga Dusun Krajan, Desa Tamanagung, Kecamatan Cluring.
(Hakim Said)