(Oleh: AKBP Nanang Masbudi, SIK, MSI)
Banyuwangi,
MAJALAH-GEMPUR.Com.
Kenakalan anak sering disebut dengan “Juvenile
Delinquency” atau yang biasa diartikan sebagai “kejahatan remaja” dan
dirumuskan sebagai suatu kelainan tingkah laku.
Dalam ketentuan Pasal 42 ayat (3) Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1997 menyebutkan bahwa proses penyidikan terhadap perkara Anak Nakal
wajib dirahasiakan. Tindakan penyidik mulai dari tahap penyelidikan sampai
dengan tahap penyidikan wajib dilakukan secara rahasia. Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tidak memberikan sanksi yang tegas terhadap penyidik apabila
kewajiban tersebut dilanggar serta tidak mengatur akibat hukum dari hasil
penyidikan. Hal itu dapat mempengaruhi kualitas kerja penyidik serta
menyebabkan kerugian pada si anak baik secara fisik, mental maupun sosial
karena dapat menghambat perkembangan kehidupan anak. (*)
![]() |
AKBP Nanang Masbudi,SIK,MS.i |
Perbuatan ataupun tindakan remaja yang bersifat
asosial, bertentangan dengan agama, dan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku
dalam masyarakat. Anak dinyatakan melakukan perbuatan terlarang,
jika melakukan perbuatan yang
dilarang baik menurut
peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan
berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Setiap
manusia dalam perjalanan hidupnya pasti pernah mengalami kegoncangan pada masa
menjelang kedewasaan, dimana tindakan-tindakannya merupakan manifestasi dari
kepuberan remaja. Oleh karena hal terseebut, diperlukan pengawasan dan
pembinaan yang tepat terhadap anak sehingga masa perubahan menjelang kedewasaan
itu dapat dilewati dengan baik tanpa terjadi tindakan-tindakan yang menjurus ke
arah perbuatan kriminal.
Ironis,
selama tahun 2012 ini telah terjadi beberapa tindak pidana yang dilakukan
anak baru gede (ABG) ini. Catatan Polres Banyuwangi terhadap tindak pidana yang
dilakukan oleh anak, baik pencurian maupun pembunuhan
Terungkapnya
sindikat curanmor di Polsek Muncar, dengan 12 TKP yang mana ketua
sindikat dan anggota sindikat pelakunya masih anak-anak (usia sekolah, dan belum menikah dan berusia
di bawah 18 tahun). Kasus curanmor di 6 tkp di polsek Wongsorejo, juga
melibatkan secara langsung pelakunya anak anak yang berusia 14 tahun.
Pencurian
toko mas tkp di wil hukum Polsek Tegaldlimo juga dilakukan oleh 6 orang anak
anak di bawah umur, bahkan kasus pembunuhan dengan korban Rima Lutfia 16 tahun
di srono, juga dilakukan oleh dua tersangka, saudara gusti dan
farhan, yg berumur
16 tahun.
Kejahatan jalanan lainnya yg dilakukan oleh anak, misalnya pemerasan ,
pemalakan, pencurian helm maupun pelecehan seksual serta penyalahgunaan miras
maupun narkoba. Penanganan kasus-kasus di atas,yang melibatkan anak, haruslah
tetap mengacu kepada UU Perlindungan dan UU Peradilan anak.
Apabila
kemudian di putus hakim terbukti bersalah, maka pendekatan pendidikanlah
diperlukan dalam pembinaan selama menjalani hukumannya. Oleh karena itu
keberadaan LAPAS anak menjadi kebutuhan yang mendesak di Kabupaten ini, demi masa depan generasi muda
di kabupaten Banyuwangi.
Contoh
kejahatan oleh anak, diatas hanyalah sebagian saja yang terdata atau
tertangani oleh kepolisian resort Banyuwangi atau kebetulan terekspos oleh
media massa. Mungkin masih ada beberapa kasus lain yang dilakukan oleh ABG,
baik dengan jenis kejahatan yang serupa maupun berbeda.
Dalam
ilmu kriminologi dikenal istilah dark number (angka gelap) pada data statistik
kriminal kepolisian, dimana sangat dimungkinkan tidak semua kejahatan dan
pelanggaran yang terjadi dimasyarakat masuk kedalam data statistik kriminal
karena beberapa hal, seperti ada kasus yang tidak dilaporkan kepolisi, telah
diselesaikan secara kekeluargaan atau cukup diselesaikan di pada tingkat RT/RW
saja, mengingat pelakunya masih warga setempat atau karena masih ABG. Beberapa
hal tadi belum termasuk kejahatan yang sukses alias berhasil alias tidak
ketahuan/tertangkap.
Perlakuan Terhadap Kejahatan Anak
Semua
manusia pasti mendambakan mempunyai keluarga dan kehidupan yang bahagia.
Demikian pula dengan anak-anak, mereka juga mendambakan suatu kehidupan yang nyaman
karena terlindungi dan tentram karena ada kebahagian.
Kenyataannya
yang mereka hadapi sangatlah jauh berbeda. Mereka merasakan hidup dalam
aturan-aturan yang tidak menyenangkan dan bahkan menyakitkan. Mereka merasakan
aturan yang ada tidak adil dan dan membelenggu kebebasan mereka. Walaupun telah
ada dan telah ditetapkan Hari Anak Nasional pada setiap tanggal 23 Juli,
buktinya masih banyak anak-anak yang mengalami perlakuaan-perlakuaan yang tidak
wajar.
Anak
yang dijual untuk dilacurkan terutama anak-anak perempuan, anak yang
ditelantarkan ataupun anak yg sudah dipaksa oleh orang tuanya untuk membantu
mencari nafkah,dengan menjadi buruh,pengemis ataupun pengamen . Belum lagi
mereka yang menjadi korban kekerasan seksual (perkosaan, sadomi, dan lain
lainnya). Mereka merasa bahwa hak-haknya tidak terlindungi walaupun sudah ada
undang-undangnya.
Perlakuan-perlakuan
inilah yang mengakibatkan anak-anak terjerumus dalam pergaulan yang tidak
benar. Apakah ini suatu tindakan bukti pemberontakan mereka? Dan lebih ngeri
lagi ada beberapa dari antara mereka yang dengan sengaja menjerumuskan diri
dengan melakukan tindakan-tindakan yang melawan hukum.
Mereka
sadar ataupun tidak sadar bahwa bahaya selalu mengintai mereka. Realitas
mengatakan bahwa terbukti bukan hanya orang dewasa ataupun para residivis yang
dapat melakukan tindak kejahatan tetapi mereka yang disebut dengan anak-anakpun
melakukan tindak kejahatan yang berkategori berat bahkan sangat berat.
Contoh
seperti yang saya sampaian diatas tentang tren kejahatan yang dilakukan
oleh anak di kabupaten Banyuwangi yang menunjukkan, tren peningkatan. Nah,
bagaimana kita sebagai orang dewasa yang mempunyai kewajiban bertanggung jawab
dalam memberikan perlindungan dan kesejahteraan dalam menghadapi kenyataan yang
terjadi pada anak-anak generasi penerus bangsa ini? Kalaupun saat ini kita
sedang menghadapi permasalahan banyaknya pelaku kejahatan yang dilakukan oleh
anak-anak , maka timbul pertanyaan bagaimana cara mengatasinya?
Sudah
banyak cara yang dilakukan oleh pemerintah Kab Banyuwangi dan pihak pihak
terkait, namun cukup memprihatinkan kenyataan yang ada bukan semakin berkurang
tetapi semakin bertambah dan merajalela dengan beraneka ragam modus
operandinya. Anak-anak yang diciptakan oleh Tuhan dengan segala keindahan dan
kesempurnaannya, mereka memiliki masa depan, hak apapun yang ada didunia dan
mereka hadir untuk dicintai. Namun apa yang mereka dapatkan? Sehingga mereka
melakukan tindakan-tindakan yang terkadang mereka tidak mengetahui bahwa
tindakan itu sangatlah berbahaya bagi mereka.
Oleh
karenanya masalah anak merupakan salah satu masalah pokok yang harus diperhatikan
dan dipikirkan dalam kaitannya dengan pembinaan generasi penerus bangsa yang
terampil dan bertanggungjawab. Anak-anak baik yang menjadi korban ataupun
mereka sebagai pelaku tindak kejahatan sudah barang tentu semuanya berurusan
dengan hukum dan mereka pasti akan memperoleh cap ataupun lebel sebagai
penjahat cilik dan tidak mustahil masa depan cerah mereka akan berubah menjadi
masa depan yang suram.
Sebelum
seseorang beranjak dewasa tentunya terlebih dahulu mereka akan melalui masa
masa yang disebut dengan anak-anak. Berdasarkan undang-undang perlindungan
anak, yang dimaksudkan dengan anak adalah mereka yang belum berusia 18 tahun
termasuk anak yang masih dalam kandungan (UU No. 23 Tahun 2002).
Sedangkan
menurut undang-undang pengadilan anak yang dimaksudkan dengan anak adalah orang
yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai
umur 18 tahun dan belum pernah kawin (UU No. 3 Tahun 1997).
Siapakah
yang dimaksud dengan anak pelaku tindak kejahatan? Mereka adalah anak nakal.
Nah yang dimaksud dengan anak nakal adalah anak yang melakukan tindak pidana
atau anak yang melakukan perbuatan yang dilarang bagi anak, baik menurut
peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan
berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Terhadap mereka yang disebut dengan
anak nakal dapat dijatuhi sanksi yang berupa tindakan dan pidana.
Mencegah
kejahatan adalah lebih baik daripada mendidik penjahat untuk menjadi lebih baik
kembali. Tindakan ini jauh lebih bermanfaat (baik dari segi biaya dan
pencapaian tujuannya). Banyak faktor yang mendorong munculnya kejahatan yang
dilakukan oleh anak anak yaitu adanya faktor intern dan faktor ekstern.
Oleh
karena itu apabila kita menginginkan kasus kriminal yang dilakukan oleh anak-anak
dapat berkurang dan bila memungkinkan dapat terhapus, maka titik fokus
pencegahan dan penanggulangannya harus diarahkan sepenuhnya pada anak karena
kemerosotan mental orang dewasa telah diawali dengan kemerosotan mental sejak
kecil (masih anak anak).
Upaya
untuk memahami dan menjelaskan gejala yang yang sedang terjadi dengan maraknya
pelaku tindak kejahatan oleh anak-anak tentunya banyak tantangan yang harus
dihadapi. Sebagai kunci utamanya adalah sesering mungkin untuk mensosialisakan
undang undang dan peraturan peraturan yang terkait dengan perlindungan anak
keseluruh komponen masyarakat.
Mengupayakan
setiap kegiatan kegiatan yang berkaitan dengan kepedulian dan kebutuhan pada
anak-anak secara proposional. Menjauhkan dan menghindarkan anak-anak dari
konflik hukum yang pasti akan menyulitkan bagi mereka dimasa depannya, karena
siapapun yang telah melanggar hukum pasti mendapatkan sanksi. Nah apabila
mereka pernah masuk penjara dan tecatat sebagai pelaku tindak kriminal maka
tidak menutup kemungkinan mereka akan mendapatkan perlakuan diskriminasi dari
masyarakat.
Disini
para penyelenggara perlindungan anak terutama penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) untuk berhati
hati dalam menjatuhkan sanksi karena dapat berakibat fatal terhadap kehidupan
anak-anak. (kenyataan dengan penjatuhan sanksi penjara yang terlalu lama serta
didikan yang “keras dan kasar“ bukan membuat mereka jera tetapi akan
menimbulkan hal-hal yang semakin mencemaskan bagi mereka yaitu mencetak
penjahat penjahat dimasa depan).
Didik
mereka dengan cinta kasih yang tak bersyarat bukan dengan kekerasan karena apa
yang dilakukan oleh anak anak merupakan cerminan dan produk dari kita yang
membinanya. Sedangkan dalam rangka memperbaiki/rehabilitasi terhadap anak-anak
pelaku tindak kejahatan maka haruslah melibatkan orang tua sebagai pihak
pertama yang memberikan dasar kepribadian dalam perkembangan/pembentukan sifat
dan sikapnya.
Selanjutnya
dalam rangka mengembalikan dan memberikan perlindungan terhadap anak anak perlu
adanya kerjasama pada semua pihak (baik pemerintah maupun masyarakat) serta
didukung oleh penyediaan dana yang telah terencana dan melaksanakan tujuan dari
konvensi anak yang telah diratifikasi sebagai dasar dalam melaksanakan upaya
perlindungan, pencegahan dan pemulihan pada anak anak pelaku tindak kejahatan,
agar mereka dapat diterima dilingkungan keluarga serta komunitasnya dan hidup
normal.
Faktor Penyebab Kejahatan Anak
Ada
beberapa faktor penyebab terjadinya kejahatan/pelanggaran yang dilakukan oleh
anak/ABG, diantaranya adalah faktor keluarga, faktor lingkungan dan faktor
ekonomi. Dari ketiga faktor tersebut, bisa ketiganya sekaligus menjadi faktor
penyebab atau hanya salah satunya saja.
Pertama, faktor keluarga. Faktor ini dapat terjadi
karena beberapa hal, seperti ketidakharmonisan dalam keluarga. Hal ini bisa
membentuk anak kearah negatif, karena keluarga memiliki pengaruh yang sangat
kuat dalam mengarahkan perilaku, pergaulan dan kepatuhan norma si anak.
Ketidakharmonisan
bisa terjadi karena perceraian orang tua, orang tua yang super sibuk dengan
pekerjaannya, orang tua yang berlaku diskriminatif terhadap anak, minimnya
penghargaan kepada anak dan dan lain-lain. Kesemua hal tersebut membuat anak
merasa sendiri dalam mengatasi masalahnya di sekolah dan lingkungannya, tidak ada
tauladan yang patut dicontoh dirumah, minimnya perhatian, selalu dalam posisi
dipersalahkan, bahkan anak merasa diperlakukan tidak adil dalam keluarga.
Faktor
ketidakharmonisan keluarga yang memicu anak mudah melanggar norma, baik norma hukum,budaya maupun
agama sebagaimana saya ungkapkan di atas, menurut kaca mata sosiologis mungkin
hal yang wajar dan sejalan dengan hukum sebab akibat.
Namun
demikian lain halnya apabila yang memicu justru orang tua atau yang dituakan
oleh si anak. Artinya pelanggaran norma tersebut justru dilegalkan oleh orang
tua atau lebih berbahaya lagi kondisinya apabila pelanggaran norma tersebut
didukung, dikondisikan dan dikoordinir oleh orang tua sendiri,maupun noleh
orang yang dituakan.
Kedua, faktor lingkungan. Setelah keluarga, tempat anak
bersosialisasi adalah lingkungan sekolah dan lingkungan tempat bermainnya atau
lingkungan tempat tinggalnya . Mau tidak mau, lingkungan merupakan institusi
pendidikan kedua setelah keluarga, sehingga kontrol di sekolah dan siapa teman
bermain anak juga mempengaruhi kecenderungan kenakalan anak yang mengarah pada
perbuatan melanggar hukum.
Tidak
semua anak dengan keluarga tidak harmonis memiliki kecenderungan melakukan
pelanggaran hukum, karena ada juga kasus dimana anak sebagai pelaku ternyata
memiliki keluarga yang harmonis. Hal ini dikarenakan begitu kuatnya faktor
lingkungan bermainnya yang negatif. Anak dengan latarbelakang ketidakharmonisan
keluarga, tentu akan lebih berpotensi untuk mencari sendiri lingkungan diluar
keluarga yang bisa menerima apa adanya.
Apabila
lingkungan tersebut positif tentu akan menyelesaikan masalah si anak dan
membawanya kearah yang positif juga. Sebaliknya, jika lingkungan negatif yang
didapat, inilah yang justru akan menjerumuskan si anak pada hal-hal yang negatif,
termasuk mulai melakukan pelanggaran hukum seperti mencuri, memeras, mencopet, menggunakan dan mengedarkan
narkoba bahkan melakukan pembunuhan utk melaksanakan kejahatannya.
Aktivitas
kelompok atau biasa dikenal ”gang” sepertinya perlu mendapat perhatian lebih
dari orang tua, guru dan tokoh masyarakat, baik itu yang tumbuh di sekolah
maupun di lingkungan masyarakat ( Seperti kasus di muncar, ataupun kejahatan yg dilakukan
oleh kelompok gang motor).
Sebuah
komunitas gang biasanya dipandang negatif. Bahayanya, komunitas ini memiliki
tingkat solidaritas yang tinggi, karena si anak ingin tetap diakui
eksistensinya dalam gang tersebut, karena dikeluarga maupun disekolah si anak
merasa tidak diakui keberadaannya. Akibatnya, penilaian mengenai apakah
perbuatan gang itu salah atau benar tidak lagi masalah, yang penting si anak
memiliki tempat dimana ia diterima apa adanya
Ketiga, faktor ekonomi. Alasan tuntutan ekonomi
merupakan alasan klasik yang sudah menjadi salah satu faktor penyebab
terjadinya kejahatan sejak perkembangan awal ilmu kriminologi (ilmu yang
mempelajari kejahatan) seperti contohnya pembunuhan yang dilakukan terhadap
Rima lutfia yg dilakukan oleh gusti dan farhan di srono.
Alasan ekonomilah dijadikan alasan untuk membunuh
rima,karena ingin menguasai kendaraan korban. Alasana ekonomi biasanya
dijadikan latar belakang oleh anak untuk melakukan kejahatan anak. Mulai dari
kebutuhan keluarga, sekolah sampai dengan ingin menambah uang jajan sering
menjadi alasan ketika anak melakukan pelanggaran hukum.
Ketiga
faktor di atas, hanyalah sebagian dari pemicu anak melakukan pelanggaran hukum.
Perlu perhatian yang serius oleh tiga institusi pendidikan anak, yaitu
keluarga, sekolah dan lingkungan. Orang tua harus memberikan perhatian ekstra
terhadap anak, baik itu pendidikannya maupun teman bermainnya.
Pihak
sekolah juga harus melakukan pengawasan yang maksimal, meskipun keberadaan anak
disekolah tidak lama, minimal dapat mencegah berkembangbiaknya ”geng-geng” yang
nakal disekolah dan menghindari terjadinya perkelahian antar siswa dan tawuran
antar sekolah.
Terakhir,
sosial kontrol dari tokoh masyarakat dan tokoh agama, serta peran pemerintah
dan swasta untuk memberikan ruang bermain bagi anak dilingkungannya, sehingga
anak tidak bermain dijalan dan membentuk komunitas yang negatif juga menjadi
faktor yang penting.
Tanggung Jawab Siapa ?
Beberapa
contoh kejahatan anak diatas ,hanyalah beberapa kejadian yang mewakili fenomena
kenakalan maupun kejahatan anak. Masih banyak deretan kejadian sebelumnya
dibelakang kejadian tersebut. Sebenarnya siapa yang salah sehingga mereka
berbuat demikian?
Mereka
sendiri, orang tua orang-orang disekelilingnya, ataukah sistem yang berlaku?
Menyalahkan mereka, menghukum mereka sampai kini belum terbukti menyelesaikan
masalah mereka. Bahkan penjara kadang bisa menjadi sekolah yang baik untuk
calon penjahat. Sehingga mencukupkan penanganan terhadap terhadap mereka
saja adalah suatu keniscayaan yang sia-sia.
Hak
yang seharusnya mereka terima, pemenuhan kebutuhan yang seharusnya mereka
nikmati, pendidikan yang benar maupun suasana yang kondusif terhadap
pertumbuhan maupun perkembangan anak yang baik sudah semestinya diperhatikan.
Kewajiban
orang tua terhadapa anak, yaitu mencukupi kebutuhannya baik fisik maupun
psikis, mendidiknya, tidak boleh terlalaikan kalu tidak ingin anaknya menjadi
penjahat. Sebab rumah merupakan titik awal bagi perkembangan anak untuk
selanjutnya. Pemenuhan kebutuhan yang tidak tersedia dirumah bisa mendorong
anak untuk mencarinya di luar.
Dan
ini bisa menjadi pemicu anak untuk melakukan kejahatan. Untuk itu kata-kata
sindiran “ jangan jadi orang tua kalau tidak tahu kewajiban orang tua atau
tidak mau melaksanakan kewajiban orang tua “ patut direnungkan. Lingkungan yang
baik tentunya ikut menentukan corak anak untuk kehidupan selanjutnya. Karena
anak belajar dari kehidupan sekarang. Anak yang hidup ditengah-tengah
kekerasan, maka ia akan menjadi bengis.
Sedangkan
anak yang hidup di tengah kasih sayang dan kedamaian maka ia akan menjadi
penyayang dan pencinta kedamaian serta persahabatan. Lebih dari itu, sistem
yang berlaku juga menjadi faktor domonan yang mempengaruhi pola fikir dan pola
sikap anak. Sistem pemerintahan yang baik, sistem ekonomi yang baik, sistem
sosial yang baik, maupun sistem keamanan ynag baik tentunya akan menentukan
corak warga negaranya termasuk anak-anak. Untuk itu orang tua yang tahu dan
memenuhi kewajibannya, lingkungan yang kon-dusif untuk anak dan sistem yang
tepat sama-sama punya andil untuk menghalau kejaha-tan dari diri anak.
Perlindungan Terhadap Hak-Hak Anak
Pelaku Kejahatan Dalam Proses Penyidikan
Penyidikan
adalah serangkaian tindakan penyidik selama pemeriksaan pendahuluan untuk
mencari bukti-bukti tentang tindak pidana. Tindakan penyidikan meliputi
pemanggilan dan pemeriksaan saksi-saksi, penyitaan barang bukti, penggeledahan
serta pemanggilan dan pemeriksaan tersangka dengan melakukan penangkapan dan
penahanan.
Dalam
melakukan penyidikan anak, diusahakan dilaksanakan oleh polisi wanita dan dalam
beberapa hal, jika dipandang perlu dapat dilaksanakan dengan bantuan polisi
pria.
Penangkapan
tidak diatur secara rinci dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak. Dalam Pasal 43 ayat (1) diatur bahwa penangkapan Anak Nakal
delakukan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
Oleh
karena hal itu, maka yang digunakan sebagai dasar dalam penangkapan Anak Nakal
adalah Pasal 16 KUHAP yang menyatakan bahwa tujuan penangkapan tersangka adalah
untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan dalam Pasal 17 KUHAP,
ditegaskan bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga
keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup.
Anak
harus dipahami sebagai orang yang belum mampu memahami masalah hukum yang
terjadi atas dirinya. Dalam melakukan tindakan penangkapan, asas praduga tak
bersalah harus dihormati dan dijunjung tinggi sesuai dengan harkat dan martabat
anak. Menangkap anak yang diduga melakukan kenakalan, harus didasarkan pada
bukti yang cukup dan jangka waktu yang terbatas.
Jangka
waktu penahanan untuk kepentingan penyidikan paling lama adalah 20 (dua puluh)
hari. Apabila untuk kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat
diperpanjang paling lama 10 (sepuluh) hari. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)
hari tersebut, Penyidik harus sudah menyerahkan berkas perkara kepada penuntut
umum. Jangka waktu penahanan Anak Nakal lebih singkat daripada penahanan orang
dewasa.
Hal
tersebut merupakan suatu tindakan yang positif karena dari aspek perlindungan
anak, maka si anak tidak perlu terlalu lama berada dalam tahanan sehingga dapat
meminimalisir terjadinya gangguan dalam pertumbuhan anak baik secara fisik,
mental, maupun sosial.
Dalam
Pasal 45 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, disebutkan bahwa penahanan dilakukan
setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan/atau
kepentingan masyarakat. Berdasarkan pada ketentuan tersebut, maka dalam
melakukan tindakan penahanan penyidik harus terlebih dahulu mempertimbangkan
dengan matang semua akibat yang akan dialami oleh si anak dari tindakan
penahanan dari segi kepentingan anak serta mempertimbangkan adanya unsur
kepentingan masyarakat untuk memperoleh keadaan yang aman dan tenteram.
Ketentuan
Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa
penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan, menghendaki agar
pemeriksaan dilakukan dengan pendekatan secara efektif dan simpatik.
Pendekatan
secara efektif dapat diartikan bahwa pemeriksaan tersebut tidak memakan waktu
lama, dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan dapat mengajak
tersangka memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya. Sedangkan pendekatan
secara simpatik mempunyai maksud bahwa pada waktu pemeriksaan, penyidik harus
bersikap sopan dan ramah serta tidak menakut-nakuti tersangka.
Perlindungan
hukum terhadap anak telah tercermin dalam ketentuan Pasal 42 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, apabila dilaksanakan oleh penyidik
sebagaimana yang telah diatur dalam ketentaun tersebut. Tetapi apabila penyidik
tidak melakukan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan Pasal 42 ayat (1), tidak
ada sanksi yang bisa dikenakan serta tidak mempunyai akibat hukum apapun baik
terhadappejabat yang memeriksa maupun terhadap hasil pemeriksaannya. Hal
tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak.
Pasal
42 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menyebutkan bahwa dalam melakukan
penyidikan terhadap Anak Nakal, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran
dari Pembimbing Kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta
pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwaa, ahli agama
atau petugas kemasyarakatan lainnya. Hal ini mencerminkan suatu perlindungan
hukum agar keputusan yang dihasilkan mempunyai dampak yang positif, baik bagi
si anak maupun terhadap pihak yang dirugikan serta bagi massyarakat.