Translate

Iklan

Iklan

Catatan Polres Banyuwangi, Tentang Kenakalan anak Atau Kejahatan Remaja Tahun 2012

3/15/13, 21:00 WIB Last Updated 2013-03-15T17:50:33Z
(Oleh: AKBP Nanang Masbudi, SIK, MSI)

AKBP Nanang Masbudi,SIK,MS.i
Banyuwangi, MAJALAH-GEMPUR.Com. Kenakalan anak sering disebut dengan “Juvenile Delinquency” atau yang biasa diartikan sebagai “kejahatan remaja” dan dirumuskan sebagai suatu kelainan tingkah laku.

Perbuatan ataupun tindakan remaja yang bersifat asosial, bertentangan dengan agama, dan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Anak dinyatakan melakukan perbuatan terlarang, jika melakukan perbuatan yang dilarang baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Setiap manusia dalam perjalanan hidupnya pasti pernah mengalami kegoncangan pada masa menjelang kedewasaan, dimana tindakan-tindakannya merupakan manifestasi dari kepuberan remaja. Oleh karena hal terseebut, diperlukan pengawasan dan pembinaan yang tepat terhadap anak sehingga masa perubahan menjelang kedewasaan itu dapat dilewati dengan baik tanpa terjadi tindakan-tindakan yang menjurus ke arah perbuatan kriminal.

Ironis, selama tahun 2012 ini telah terjadi beberapa tindak pidana yang dilakukan anak baru gede (ABG) ini. Catatan Polres Banyuwangi terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak, baik pencurian maupun pembunuhan

Terungkapnya sindikat curanmor di Polsek Muncar, dengan 12 TKP yang mana ketua sindikat dan anggota sindikat pelakunya masih anak-anak (usia sekolah, dan belum menikah dan berusia di bawah 18 tahun). Kasus curanmor di 6 tkp di polsek Wongsorejo, juga melibatkan secara langsung pelakunya anak anak yang berusia 14 tahun.

Pencurian toko mas tkp di wil hukum Polsek Tegaldlimo juga dilakukan oleh 6 orang anak anak di bawah umur, bahkan kasus pembunuhan dengan korban Rima Lutfia 16 tahun di srono, juga dilakukan oleh dua tersangka, saudara gusti dan  farhan, yg berumur 16 tahun.

Kejahatan jalanan lainnya yg dilakukan oleh anak, misalnya pemerasan , pemalakan, pencurian helm maupun pelecehan seksual serta penyalahgunaan miras maupun narkoba. Penanganan kasus-kasus di atas,yang melibatkan anak, haruslah tetap  mengacu kepada UU Perlindungan dan UU Peradilan anak.

Apabila kemudian di putus hakim terbukti bersalah, maka pendekatan pendidikanlah diperlukan dalam pembinaan selama menjalani hukumannya. Oleh karena itu keberadaan LAPAS anak menjadi kebutuhan yang mendesak di Kabupaten ini, demi masa depan generasi muda di kabupaten Banyuwangi.

Contoh kejahatan oleh anak, diatas  hanyalah sebagian saja yang terdata atau tertangani oleh kepolisian resort Banyuwangi atau kebetulan terekspos oleh media massa. Mungkin masih ada beberapa kasus lain yang dilakukan oleh ABG, baik dengan jenis kejahatan yang serupa maupun berbeda.

Dalam ilmu kriminologi dikenal istilah dark number (angka gelap) pada data statistik kriminal kepolisian, dimana sangat dimungkinkan tidak semua kejahatan dan pelanggaran yang terjadi dimasyarakat masuk kedalam data statistik kriminal karena beberapa hal, seperti ada kasus yang tidak dilaporkan kepolisi, telah diselesaikan secara kekeluargaan atau cukup diselesaikan di pada tingkat RT/RW saja, mengingat pelakunya masih warga setempat atau karena masih ABG. Beberapa hal tadi belum termasuk kejahatan yang sukses alias berhasil alias tidak ketahuan/tertangkap.

Perlakuan Terhadap Kejahatan Anak
Semua manusia pasti mendambakan mempunyai keluarga dan kehidupan yang bahagia. Demikian pula dengan anak-anak, mereka juga mendambakan suatu kehidupan yang nyaman karena terlindungi dan tentram karena ada kebahagian.

Kenyataannya yang mereka hadapi sangatlah jauh berbeda. Mereka merasakan hidup dalam aturan-aturan yang tidak menyenangkan dan bahkan menyakitkan. Mereka merasakan aturan yang ada tidak adil dan dan membelenggu kebebasan mereka. Walaupun telah ada dan telah ditetapkan Hari Anak Nasional pada setiap tanggal 23 Juli, buktinya masih banyak anak-anak yang mengalami perlakuaan-perlakuaan yang tidak wajar.

Anak yang dijual untuk dilacurkan terutama anak-anak perempuan, anak yang ditelantarkan ataupun anak yg sudah dipaksa oleh orang tuanya untuk membantu mencari nafkah,dengan menjadi buruh,pengemis ataupun pengamen . Belum lagi mereka yang menjadi korban kekerasan seksual (perkosaan, sadomi, dan lain lainnya). Mereka merasa bahwa hak-haknya tidak terlindungi walaupun sudah ada undang-undangnya.

Perlakuan-perlakuan inilah yang mengakibatkan anak-anak terjerumus dalam pergaulan yang tidak benar. Apakah ini suatu tindakan bukti pemberontakan mereka? Dan lebih ngeri lagi ada beberapa dari antara mereka yang dengan sengaja menjerumuskan diri dengan melakukan tindakan-tindakan yang melawan hukum.

Mereka sadar ataupun tidak sadar bahwa bahaya selalu mengintai mereka. Realitas mengatakan bahwa terbukti bukan hanya orang dewasa ataupun para residivis yang dapat melakukan tindak kejahatan tetapi mereka yang disebut dengan anak-anakpun melakukan tindak kejahatan yang berkategori berat bahkan sangat berat.

Contoh seperti yang saya sampaian diatas  tentang tren kejahatan yang dilakukan oleh anak di kabupaten Banyuwangi yang menunjukkan, tren peningkatan. Nah, bagaimana kita sebagai orang dewasa yang mempunyai kewajiban bertanggung jawab dalam memberikan perlindungan dan kesejahteraan dalam menghadapi kenyataan yang terjadi pada anak-anak generasi penerus bangsa ini? Kalaupun saat ini kita sedang menghadapi permasalahan banyaknya pelaku kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak , maka timbul pertanyaan bagaimana cara mengatasinya?

Sudah banyak cara yang dilakukan oleh pemerintah Kab Banyuwangi dan pihak pihak terkait, namun cukup memprihatinkan kenyataan yang ada bukan semakin berkurang tetapi semakin bertambah dan merajalela dengan beraneka ragam modus operandinya. Anak-anak yang diciptakan oleh Tuhan dengan segala keindahan dan kesempurnaannya, mereka memiliki masa depan, hak apapun yang ada didunia dan mereka hadir untuk dicintai. Namun apa yang mereka dapatkan? Sehingga mereka melakukan tindakan-tindakan yang terkadang mereka tidak mengetahui bahwa tindakan itu sangatlah berbahaya bagi mereka. 

Oleh karenanya masalah anak merupakan salah satu masalah pokok yang harus diperhatikan dan dipikirkan dalam kaitannya dengan pembinaan generasi penerus bangsa yang terampil dan bertanggungjawab. Anak-anak baik yang menjadi korban ataupun mereka sebagai pelaku tindak kejahatan sudah barang tentu semuanya berurusan dengan hukum dan mereka pasti akan memperoleh cap ataupun lebel sebagai penjahat cilik dan tidak mustahil masa depan cerah mereka akan berubah menjadi masa depan yang suram.

Sebelum seseorang beranjak dewasa tentunya terlebih dahulu mereka akan melalui masa masa yang disebut dengan anak-anak. Berdasarkan undang-undang perlindungan anak, yang dimaksudkan dengan anak adalah mereka yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan (UU No. 23 Tahun 2002).

Sedangkan menurut undang-undang pengadilan anak yang dimaksudkan dengan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin (UU No. 3 Tahun 1997).

Siapakah yang dimaksud dengan anak pelaku tindak kejahatan? Mereka adalah anak nakal. Nah yang dimaksud dengan anak nakal adalah anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dilarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Terhadap mereka yang disebut dengan anak nakal dapat dijatuhi sanksi yang berupa tindakan dan pidana.

Mencegah kejahatan adalah lebih baik daripada mendidik penjahat untuk menjadi lebih baik kembali. Tindakan ini jauh lebih bermanfaat (baik dari segi biaya dan pencapaian tujuannya). Banyak faktor yang mendorong munculnya kejahatan yang dilakukan oleh anak anak yaitu adanya faktor intern dan faktor ekstern.

Oleh karena itu apabila kita menginginkan kasus kriminal yang dilakukan oleh anak-anak dapat berkurang dan bila memungkinkan dapat terhapus, maka titik fokus pencegahan dan penanggulangannya harus diarahkan sepenuhnya pada anak karena kemerosotan mental orang dewasa telah diawali dengan kemerosotan mental sejak kecil (masih anak anak).

Upaya untuk memahami dan menjelaskan gejala yang yang sedang terjadi dengan maraknya pelaku tindak kejahatan oleh anak-anak tentunya banyak tantangan yang harus dihadapi. Sebagai kunci utamanya adalah sesering mungkin untuk mensosialisakan undang undang dan peraturan peraturan yang terkait dengan perlindungan anak keseluruh komponen masyarakat.

Mengupayakan setiap kegiatan kegiatan yang berkaitan dengan kepedulian dan kebutuhan pada anak-anak secara proposional. Menjauhkan dan menghindarkan anak-anak dari konflik hukum yang pasti akan menyulitkan bagi mereka dimasa depannya, karena siapapun yang telah melanggar hukum pasti mendapatkan sanksi. Nah apabila mereka pernah masuk penjara dan tecatat sebagai pelaku tindak kriminal maka tidak menutup kemungkinan mereka akan mendapatkan perlakuan diskriminasi dari masyarakat.

Disini para penyelenggara perlindungan anak terutama penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) untuk berhati hati dalam menjatuhkan sanksi karena dapat berakibat fatal terhadap kehidupan anak-anak. (kenyataan dengan penjatuhan sanksi penjara yang terlalu lama serta didikan yang “keras dan kasar“ bukan membuat mereka jera tetapi akan menimbulkan hal-hal yang semakin mencemaskan bagi mereka yaitu mencetak penjahat penjahat dimasa depan).

Didik mereka dengan cinta kasih yang tak bersyarat bukan dengan kekerasan karena apa yang dilakukan oleh anak anak merupakan cerminan dan produk dari kita yang membinanya. Sedangkan dalam rangka memperbaiki/rehabilitasi terhadap anak-anak pelaku tindak kejahatan maka haruslah melibatkan orang tua sebagai pihak pertama yang memberikan dasar kepribadian dalam perkembangan/pembentukan sifat dan sikapnya.

Selanjutnya dalam rangka mengembalikan dan memberikan perlindungan terhadap anak anak perlu adanya kerjasama pada semua pihak (baik pemerintah maupun masyarakat) serta didukung oleh penyediaan dana yang telah terencana dan melaksanakan tujuan dari konvensi anak yang telah diratifikasi sebagai dasar dalam melaksanakan upaya perlindungan, pencegahan dan pemulihan pada anak anak pelaku tindak kejahatan, agar mereka dapat diterima dilingkungan keluarga serta komunitasnya dan hidup normal.

Faktor Penyebab Kejahatan Anak
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya kejahatan/pelanggaran yang dilakukan oleh anak/ABG, diantaranya adalah faktor keluarga, faktor lingkungan dan faktor ekonomi. Dari ketiga faktor tersebut, bisa ketiganya sekaligus menjadi faktor penyebab atau hanya salah satunya saja.

Pertama, faktor keluarga. Faktor ini dapat terjadi karena beberapa hal, seperti ketidakharmonisan dalam keluarga. Hal ini bisa membentuk anak kearah negatif, karena keluarga memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam mengarahkan perilaku, pergaulan dan kepatuhan norma si anak.

Ketidakharmonisan bisa terjadi karena perceraian orang tua, orang tua yang super sibuk dengan pekerjaannya, orang tua yang berlaku diskriminatif terhadap anak, minimnya penghargaan kepada anak dan dan lain-lain. Kesemua hal tersebut membuat anak merasa sendiri dalam mengatasi masalahnya di sekolah dan lingkungannya, tidak ada tauladan yang patut dicontoh dirumah, minimnya perhatian, selalu dalam posisi dipersalahkan, bahkan anak merasa diperlakukan tidak adil dalam keluarga.

Faktor ketidakharmonisan keluarga yang memicu anak mudah melanggar norma, baik norma hukum,budaya maupun agama sebagaimana saya ungkapkan di atas, menurut kaca mata sosiologis mungkin hal yang wajar dan sejalan dengan hukum sebab akibat.

Namun demikian lain halnya apabila yang memicu justru orang tua atau yang dituakan oleh si anak. Artinya pelanggaran norma tersebut justru dilegalkan oleh orang tua atau lebih berbahaya lagi kondisinya apabila pelanggaran norma tersebut didukung, dikondisikan dan dikoordinir oleh orang tua sendiri,maupun noleh orang yang dituakan.

Kedua, faktor lingkungan. Setelah keluarga, tempat anak bersosialisasi adalah lingkungan sekolah dan lingkungan tempat bermainnya atau lingkungan tempat tinggalnya . Mau tidak mau, lingkungan merupakan institusi pendidikan kedua setelah keluarga, sehingga kontrol di sekolah dan siapa teman bermain anak juga mempengaruhi kecenderungan kenakalan anak yang mengarah pada perbuatan melanggar hukum.

Tidak semua anak dengan keluarga tidak harmonis memiliki kecenderungan melakukan pelanggaran hukum, karena ada juga kasus dimana anak sebagai pelaku ternyata memiliki keluarga yang harmonis. Hal ini dikarenakan begitu kuatnya faktor lingkungan bermainnya yang negatif. Anak dengan latarbelakang ketidakharmonisan keluarga, tentu akan lebih berpotensi untuk mencari sendiri lingkungan diluar keluarga yang bisa menerima apa adanya.

Apabila lingkungan tersebut positif tentu akan menyelesaikan masalah si anak dan membawanya kearah yang positif juga. Sebaliknya, jika lingkungan negatif yang didapat, inilah yang justru akan menjerumuskan si anak pada hal-hal yang negatif, termasuk mulai melakukan pelanggaran hukum seperti mencuri, memeras, mencopet, menggunakan dan mengedarkan narkoba bahkan melakukan pembunuhan utk melaksanakan kejahatannya.

Aktivitas kelompok atau biasa dikenal ”gang” sepertinya perlu mendapat perhatian lebih dari orang tua, guru dan tokoh masyarakat, baik itu yang tumbuh di sekolah maupun di lingkungan masyarakat ( Seperti kasus di muncar, ataupun kejahatan yg dilakukan oleh kelompok gang motor).

Sebuah komunitas gang biasanya dipandang negatif. Bahayanya, komunitas ini memiliki tingkat solidaritas yang tinggi, karena si anak ingin tetap diakui eksistensinya dalam gang tersebut, karena dikeluarga maupun disekolah si anak merasa tidak diakui keberadaannya. Akibatnya, penilaian mengenai apakah perbuatan gang itu salah atau benar tidak lagi masalah, yang penting si anak memiliki tempat dimana ia diterima apa adanya

Ketiga, faktor ekonomi. Alasan tuntutan ekonomi merupakan alasan klasik yang sudah menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kejahatan sejak perkembangan awal ilmu kriminologi (ilmu yang mempelajari kejahatan) seperti contohnya pembunuhan yang dilakukan terhadap Rima lutfia yg dilakukan oleh gusti dan farhan di srono.

Alasan ekonomilah dijadikan alasan untuk membunuh rima,karena ingin menguasai kendaraan korban. Alasana ekonomi biasanya dijadikan latar belakang oleh anak untuk melakukan kejahatan anak. Mulai dari kebutuhan keluarga, sekolah sampai dengan ingin menambah uang jajan sering menjadi alasan ketika anak melakukan pelanggaran hukum.

Ketiga faktor di atas, hanyalah sebagian dari pemicu anak melakukan pelanggaran hukum. Perlu perhatian yang serius oleh tiga institusi pendidikan anak, yaitu keluarga, sekolah dan lingkungan. Orang tua harus memberikan perhatian ekstra terhadap anak, baik itu pendidikannya maupun teman bermainnya.

Pihak sekolah juga harus melakukan pengawasan yang maksimal, meskipun keberadaan anak disekolah tidak lama, minimal dapat mencegah berkembangbiaknya ”geng-geng” yang nakal disekolah dan menghindari terjadinya perkelahian antar siswa dan tawuran antar sekolah.

Terakhir, sosial kontrol dari tokoh masyarakat dan tokoh agama, serta peran pemerintah dan swasta untuk memberikan ruang bermain bagi anak dilingkungannya, sehingga anak tidak bermain dijalan dan membentuk komunitas yang negatif juga menjadi faktor yang penting.

Tanggung Jawab Siapa ?
Beberapa contoh kejahatan anak diatas ,hanyalah beberapa kejadian yang mewakili fenomena kenakalan maupun kejahatan anak. Masih banyak deretan kejadian sebelumnya dibelakang kejadian tersebut. Sebenarnya siapa yang salah sehingga mereka berbuat demikian?

Mereka sendiri, orang tua orang-orang disekelilingnya, ataukah sistem yang berlaku? Menyalahkan mereka, menghukum mereka sampai kini belum terbukti menyelesaikan masalah mereka. Bahkan penjara kadang bisa menjadi sekolah yang baik untuk calon penjahat.  Sehingga mencukupkan penanganan terhadap terhadap mereka saja adalah suatu keniscayaan yang sia-sia. 

Hak yang seharusnya mereka terima, pemenuhan kebutuhan yang seharusnya mereka nikmati, pendidikan yang benar maupun suasana yang kondusif terhadap pertumbuhan maupun perkembangan anak yang baik sudah semestinya diperhatikan.

Kewajiban orang tua terhadapa anak, yaitu mencukupi kebutuhannya baik fisik maupun psikis, mendidiknya, tidak boleh terlalaikan kalu tidak ingin anaknya menjadi penjahat. Sebab rumah merupakan titik awal bagi perkembangan anak untuk selanjutnya. Pemenuhan kebutuhan yang tidak tersedia dirumah bisa mendorong anak untuk mencarinya di luar.

Dan ini bisa menjadi pemicu anak untuk melakukan kejahatan. Untuk itu kata-kata sindiran “ jangan jadi orang tua kalau tidak tahu kewajiban orang tua atau tidak mau melaksanakan kewajiban orang tua “ patut direnungkan. Lingkungan yang baik tentunya ikut menentukan corak anak untuk kehidupan selanjutnya. Karena anak belajar dari kehidupan sekarang. Anak yang hidup ditengah-tengah kekerasan, maka ia akan menjadi bengis.

Sedangkan anak yang hidup di tengah kasih sayang dan kedamaian maka ia akan menjadi penyayang dan pencinta kedamaian serta persahabatan. Lebih dari itu, sistem yang berlaku juga menjadi faktor domonan yang mempengaruhi pola fikir dan pola sikap anak. Sistem pemerintahan yang baik, sistem ekonomi yang baik, sistem sosial yang baik, maupun sistem keamanan ynag baik tentunya akan menentukan corak warga negaranya termasuk anak-anak. Untuk itu orang tua yang tahu dan memenuhi kewajibannya, lingkungan yang kon-dusif untuk anak dan sistem yang tepat sama-sama punya andil untuk menghalau kejaha-tan dari diri anak.

Perlindungan Terhadap Hak-Hak Anak Pelaku Kejahatan Dalam Proses Penyidikan
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik selama pemeriksaan pendahuluan untuk mencari bukti-bukti tentang tindak pidana. Tindakan penyidikan meliputi pemanggilan dan pemeriksaan saksi-saksi, penyitaan barang bukti, penggeledahan serta pemanggilan dan pemeriksaan tersangka dengan melakukan penangkapan dan penahanan.

Dalam melakukan penyidikan anak, diusahakan dilaksanakan oleh polisi wanita dan dalam beberapa hal, jika dipandang perlu dapat dilaksanakan dengan bantuan polisi pria.

Penangkapan tidak diatur secara rinci dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dalam Pasal 43 ayat (1) diatur bahwa penangkapan Anak Nakal delakukan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Oleh karena hal itu, maka yang digunakan sebagai dasar dalam penangkapan Anak Nakal adalah Pasal 16 KUHAP yang menyatakan bahwa tujuan penangkapan tersangka adalah untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan dalam Pasal 17 KUHAP, ditegaskan bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup.

Anak harus dipahami sebagai orang yang belum mampu memahami masalah hukum yang terjadi atas dirinya. Dalam melakukan tindakan penangkapan, asas praduga tak bersalah harus dihormati dan dijunjung tinggi sesuai dengan harkat dan martabat anak. Menangkap anak yang diduga melakukan kenakalan, harus didasarkan pada bukti yang cukup dan jangka waktu yang terbatas.

Jangka waktu penahanan untuk kepentingan penyidikan paling lama adalah 20 (dua puluh) hari. Apabila untuk kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang paling lama 10 (sepuluh) hari. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, Penyidik harus sudah menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Jangka waktu penahanan Anak Nakal lebih singkat daripada penahanan orang dewasa.

Hal tersebut merupakan suatu tindakan yang positif karena dari aspek perlindungan anak, maka si anak tidak perlu terlalu lama berada dalam tahanan sehingga dapat meminimalisir terjadinya gangguan dalam pertumbuhan anak baik secara fisik, mental, maupun sosial.

Dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, disebutkan bahwa penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan/atau kepentingan masyarakat. Berdasarkan pada ketentuan tersebut, maka dalam melakukan tindakan penahanan penyidik harus terlebih dahulu mempertimbangkan dengan matang semua akibat yang akan dialami oleh si anak dari tindakan penahanan dari segi kepentingan anak serta mempertimbangkan adanya unsur kepentingan masyarakat untuk memperoleh keadaan yang aman dan tenteram.

Ketentuan Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan, menghendaki agar pemeriksaan dilakukan dengan pendekatan secara efektif dan simpatik.

Pendekatan secara efektif dapat diartikan bahwa pemeriksaan tersebut tidak memakan waktu lama, dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan dapat mengajak tersangka memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya. Sedangkan pendekatan secara simpatik mempunyai maksud bahwa pada waktu pemeriksaan, penyidik harus bersikap sopan dan ramah serta tidak menakut-nakuti tersangka.

Perlindungan hukum terhadap anak telah tercermin dalam ketentuan Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, apabila dilaksanakan oleh penyidik sebagaimana yang telah diatur dalam ketentaun tersebut. Tetapi apabila penyidik tidak melakukan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan Pasal 42 ayat (1), tidak ada sanksi yang bisa dikenakan serta tidak mempunyai akibat hukum apapun baik terhadappejabat yang memeriksa maupun terhadap hasil pemeriksaannya. Hal tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menyebutkan bahwa dalam melakukan penyidikan terhadap Anak Nakal, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwaa, ahli agama atau petugas kemasyarakatan lainnya. Hal ini mencerminkan suatu perlindungan hukum agar keputusan yang dihasilkan mempunyai dampak yang positif, baik bagi si anak maupun terhadap pihak yang dirugikan serta bagi massyarakat.

Dalam ketentuan Pasal 42 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menyebutkan bahwa proses penyidikan terhadap perkara Anak Nakal wajib dirahasiakan. Tindakan penyidik mulai dari tahap penyelidikan sampai dengan tahap penyidikan wajib dilakukan secara rahasia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tidak memberikan sanksi yang tegas terhadap penyidik apabila kewajiban tersebut dilanggar serta tidak mengatur akibat hukum dari hasil penyidikan. Hal itu dapat mempengaruhi kualitas kerja penyidik serta menyebabkan kerugian pada si anak baik secara fisik, mental maupun sosial karena dapat menghambat perkembangan kehidupan anak. (*)
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Catatan Polres Banyuwangi, Tentang Kenakalan anak Atau Kejahatan Remaja Tahun 2012

Terkini

Close x