
Beragam spanduk mereka
bentangkan sebagai tanda protes, diantaranya bertuliskan ‘selamat datang Diskanla
(Dinas Kelautan dan Perikanan) Propinisi Jawa Timur’, serta ‘kembalikan posisi
dan panjang breakwater seperti sedia
kala’.
Aksi ini dilakukan nelayan,
karena tersebar informasi bahwa petugas Diskanla Jawa Timur akan meninjau breakwater. Namun ternya kabar tersebut
hanya kabar burung semata, terbukti sampai aksi selesai dilakukan, kunjungan
tersebut tidak ada.
Menurut salah seorang
nelayan, Samsul Arifin, penambahan panjang breakwater,
dengan panjang total sekitar lima ratus meter yang dilakukan Diskanla Jawa
Timur, bukan menjadi solusi pemecah besarnya ombak. Namun pemanjangan ini
menjadikan ancaman bagi para nelayan.
“Selama enam bulan
terakhir sejak pembangunan tersebut, terhitung sekitar 90 lebih nelayan yang
hancur dan karam. Saat ini nelayan puger, tidak bisa melaut dengan maksimal,
dan menyebabkan tidak adanya pendapatan,” katanya, kepada sejumlah wartawan, di
sela-sela aksi.
Meski kabar adanya kunjungan
Diskanla Jawa Timur itu tidak benar, para nelayan dan keluarganya terus
menyuarakan aksi tuntut pembongkaran breakwater.
“Tuntutan kami hanya satu, potong dan bongkar breakwater untuk dikembalikan
seperti sedia kala,” ujar Imam Hambali, Ketua Forum Komunikasi Nelayan Puger.
Jika dibiarkan, sambung
Hambali, akan banyak nelayan menganggur dan tidak mempunyai pendapatan, karena
takut melaut. Bahkan, beberapa nelayan berganti profesi. “Kotak-kotak
penyimpanan ikan yang biasanya penuh ikan, saat ini hanya tertumpuk kosong dan
di biarkan di depan salah satu kios pengepul,” tutur dia.
Lebih lanjut Hambali
menegaskan, tutuntan nelayan agar bangunan break
water ini dibongkar, akan terus dilakukan para nelayan. “Karena nelayan saat
ini takut untuk melaut, meski pun mulai bulan ini, hingga awal bulan juli nanti
merupakan saatnya ikan melimpah,” tegasnya.
Tuntutan pembongkaran
break water ini diawali, saat Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur, menambah
bangunan sepanjang 200 meter, dari sekitar 400 meter. Paska dibangunnya
tambahan bangunan itu, aktifitas nelayan menjadi terganggu. Sebab, break water ini di anggap biang perahu
nelayan yang tergelam.
Selain sedimentasi (pendangkalan),
break water penyebab tak menentunya arus
gelombang laut. Sehingga nelayan dituntut kembali belajar tanda-tanda alam di
pintu masuk, plawangan. Berdasarkan catatan Forum Nelayan Puger, 98 perahu karam
hanya dalam waktu 6 bulan, paska break
water tambahan selesai dibangun. (ruz).