
Kenaikan ini terjadi sejak
tanggal 17 Agustus kemarin. Akibat
kenaikan itu, sejumlah pedagang mengaku omzetnya turun drastis hingga lima
puluh persen. Bahkan ada sebagian pedagang sejak pagi tanpa ada pembeli. “Sejak
pagi tadi belum ada penglaris (pembeli) mas,” ucap Siti Aminah, seorang
pedagang, Kamis (20/8) kemarin.
Meski begitu, Siti Aminah mengaku tidak akan mogok jualan seperti para
pedagang di kota-kota lainnya. “Ya tetap lah (berjualan), kalau hari ini belum
laku mungkin besok-besok bias laku. Tergantung rejeki masing-masing,” ujarnya.
Agar tidak terus merugi, Aminah
mengurangi jumlah dagangannya. Sisa dagangannya, di konsumsi sendiri agar nilai
kerugiannya tidak semakin besar. “Karena untuk daging ayam yang belum terjual
tidak bisa di simpan di kulkas. Pembeli tidak mau lagi, soalnya dianggap kurang
segar. Jadi ya saya konsumsi sendiri,” tuturnya.
Hal yang sama dirasakan
Trie Utami, salah seorang pedagang besar di pasar tersebut mengaku, omzetnya
menurun lima puluh persen, itupun harus menunggu hingga sore hari. “Sebelum
harga naik, saya mampu menjual daging ayam hingga 3 kwintal per hari. Sekarang
hanya mampu menjual 1,5 kwintal saja,” katanya.
Menurut Utami, sebenarnya kenaikan
harga daging ayam itu terjadi sejak bulan puasa lalu. Namun sampai sekarang harganya
justru mengalami kenaikan terus. “Saat ini adalah harga tertinggi dari
sebelumnya. Perkilogram harga jualnya Rp. 32 ribu. Padahal hari raya kemarin
saja harganya hanya Rp. 25 ribu,” imbuhnya.
Kenaikan juga berdampak ke
pedagang makanan. Menurut Ponijah, pedagang ayam goreng, keuntungannya menurun,
sebab untuk menjaga pelanggan dan kwalitas masakannya, dirinya tidak mengurangi
ukuran. “Harganya pun tetap tidak naik. Sehingga untung yang saya menjadi tipis,”
urainya. (St1/ruz)