
Kopi sudah menjadi salah satu minuman paling
populer di dunia yang dikonsumsi oleh berbagai kalangan masyarakat. Di samping rasa dan
aromanya yang menarik, kopi juga dapat menurunkan risiko terkena penyakit
kangker, diabetes, batu empedu dan berbagai penyakit jantung. (kardiovaskuler).
Termasuk
di Indonesia, meminum kopi sudah menjadi tradisi sejak nenek moyang kita.
Mulai dari warung-warung pinggir jalan, hingga ke kafe, restauran dan hotel
berbintang, termasuk
dirumah – rumah dipastikan menyimpan
minuman berwarna hitam pekat ini, bahkan saat akan ketemu kolega menyebutnya dengan istilah kopi
darat.
Kopi adalah sejenis
minuman yang berasal dari proses pengolahan dan ekstraksi biji tanaman kopi yang
dikeringkan kemudian dihaluskan menjadi bubuk. Secara umum, terdapat dua jenis
biji kopi, yaitu arabika (kualitas terbaik) dan robusta.
Lantas bagaimana
jika bubuk kopi berasal dari dari biji salak? Salak
atau Salacca zalacca sejenis
palma yang buahnya biasa dimakan. Di Indonesia terdapat sekitar 20 sampai 30
spesies salak. Selama ini, sebagian besar masyarakat hanya mengkonsumsi daging
buahnya saja, seperti keripik atau dodol. Jarang orang yang memanfaatkan bagian
lain dari buah salak, seperti bijinya.
Di Dusun Semboro
Lor, Desa/Kecamatan Semboro, Kabupaten Jember, ada tangan kreatif seorang
pemuda yang mampu merubah biji salak menjadi olahan minuman yang disebut
‘Koplak’ alias kopi salak. Adalah Bustomi, mahasiswa semester ahir
Universitas Muhammadiyah Jember.
Bersama keluarganya
merubah limbah biji salak menjadi bubuk mirip kopi. “Usaha kopi biji salak alias
‘Koplak ini saya dirikan secara resmi sejak awal Januari 2015 lalu. Namun, saya
mulai mencoba-coba sekitar bulan November 2015,” kata Bustomi, saat ditemui
dirumahnya, Kamis (10/9).
Bustomi sengaja
mamilih kata ‘Koplak’ sebagai merek. Karena, selain menjadi akronim kopi salak,
kata itu juga mudah diingat oleh konsumen. “Biar mudah diingat saja,” ujarnya
singkat.
Dalam Bahasa Jawa, secara harfiah koplak adalah sesuatu yang tidak penuh. Sedangkan
pengertian kiasannya adalah manusia yang bodoh tapi banyak omong atau juga anak
yang lucu serta ‘gokil’. Meski begitu, kata ‘Koplak’ menjadi cukup unik ketika
menjadi merek sebuah produk.
Menurut Bustomi,
dalam satu bulan dirinya mampu menjual sekitar 150 kotak karton. Setiap karton
isinya 150 gram. “Untuk pemasarannya, biasanya melalui Outlet oleh-oleh khas
Jember, yang banyak berdiri di kota kabupaten,” ujarnya.
Selain itu, eterpreneur muda ini juga memasarkan
lewat media sosial dan online. Meski diakuinya jumlah permintaannya tidak
sebanyak yang dijual melalui Outlet. “Untuk online biasanya konsumen yang jauh,
kemarin ada yang dari Jakarta dan Nusa Tenggara Barat. Saya menggunakan jasa
titipan barang untuk mengantarkan pesanan itu,” terang Bustomi.
Dikatakannya,
proses pembuatan ‘Koplak’ tergolong mudah. Karena semua alat yang digunakan masih
manual dan tradisonal. Pertaman, biji salak dibersihkan dahulu, baru kemudian
dipotong kecil-kecil menggunakan pisau besar yang telah dimodifikasi mirip alat
pemotong kertas.
Irisan biji salak
itu kemudian dijemur dibawah terik matahari hingga satu minggu atau telah
kering. “Pernah saya menggunakan oven untuk mengeringkan biji salak, tapi
ternyata merubah aroma dan cita rasanya,” tuturnya.
Selanjutnya,
setelah dinyatakan kering, biji salak itu disangrai selama 15 menit menggunakan
kuali tanah yang oleh masyarakat setempat disebut ‘kendil’. Setiap kali sangrai Bustomi menakarnya sebanyak 7 ons.
“Sebab jika lebih dari 7 ons, matangnya lama. Meski tak mempengaruhi aroma dan
rasa,” ujar dia.
Setelah dicicipi,
‘Koplak’ memang cukup unik. Ada aroma jambu muda saat dihirup. Selain itu,
rasanya juga berbeda dengan kopi biasa, ada rasa seperti usai memakan salak
muda setelah ‘koplak’ melewati tenggorokan. Biasanya bubuk kopi salak dicampur
gula aren, bukan gula putih. “Koplak akan lebih nikmat bila dicampur madu,”
papar Bustomi.