
Hasilnya, mereka
menyepakati akan menyelenggarakan Eksibisi Candi Deres (Candi Deres Exibition)
dengan meggunakan dana patungan. Sisanya anggaran kegiatan itu akan dimintakan
ke Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Jember.
“Rencananya kami akan
menyelenggarakan Candi Deres Exibition, ahir Nopember nanti. Targetnya, adalah
siswa mulai Sekolah Dasar hingga Menengah Atas di Kecamatan Gumukmas,” kata
Yohanes Setio Hadi, salah seorang pegiat sejarah dari Taman Baca Budaya (TBB)
Salam. Sabtu (24/10).
Kegiatan itu merupakan
kampanye pelestarian Candi Deres yang mengikutsertakan generasi muda. Selain siswa,
sejumlah tokoh masyarakat dan tokoh pendidikan juga akan diundang untuk lebih
mengenalkan situs candi deres yang kondisinya mulai memprihatinkan.
“Kami berharap, dapat memberikan
edukasi, sekaligus mengajak mereka berperan menjaga dan merawat Candi Deres.
Sebab sampai saat ini, keterlibatan masyarakat serta generasi muda dalam
merawat dan melestarikan situs cagar budaya masih minim,” ujar Zainulloh Ahmad,
pegiat sejarah dari Komunitas Sapta Prabu.
Menurut Zaenul, merawat
dan melestarikan Candi Deres sangat penting, karena candi itu merupakan
satu-satunya situs cagar budaya yang berbentuk candi di Jember. Selain itu,
juga salah satu candi dari 27 candi Negara jaman kerajaan majapahit saat di
pimpin oleh Hayam Wuruk.
“Dalam kitab Negara
Kertagama, Candi Deres merupakan 1 dari 27 candi yang diakui Negara saat
Kerajaan Majapahit. Secara eksplisit hal itu dicatat dalam pupuh (Bab) 73 kitab
Negara kertagama yang disebut sebagai PagÖr (Baca:Pager),” terangnya.
Penulis buku Menelusuri
Jejak Sejarah Jember Kuno ini menjelaskan, sejumlah literature lain juga mencatat
keberadaan candi tersebut. Dari literature berbahasa belanda misalnya, candi
itu disebut sebagai Candi Retjo. Sedangkan nama Candi Deres adalah sebutan
warga local yang diambil dari nama dusun setempat.
“Berdasarkan hasil kajian
beberapa literatur, candi ini dibangun sekitar abab 14, yang awalnya digunakan
sebagai tempat pendarmaan atau pemakaman yang juga sebagai tempat pemujaan bagi
keluarga kerajaan majapahit,” paparnya.
Setelah Majapahit Runtuh,
sambung Zaenul, keberadaan Candi Deres seolah turut tenggelam. Baru pada tahun
1904, ada sebuah dokumen foto dari bangsa Belanda tentang kondisi candi
tersebut. Dalam foto itu, Candi Deres tak lagi utuh, hanya tinggal separuh dari
bangunan candi yang tersisa.
Karena tak terawat,
bangunan candi semakin rapuh dan berangsur hancur. Baik karena factor alam
maupun aksi vandalisme. Pucaknya, kata Zaenul, pada tahun 1966, isu sentiment
berdasar suku, ras dan agama (Sara) begitu kuat, sehingga menyebabkan candi
tersebut menjadi sasaran sejumlah orang yang tak menyukai keberadaan candi itu
kemudian menghancurkannya hingga runtuh total.
Saat ini, kondisi Candi
Deres tinggal puing-puing bangunan saja. Hanya batu bata sisa-sisa reruntuhan
candi yang bertumpuk diatas lahan seluas 10 x 7 meter. “Dulu pada tahun 1986,
pernah ada eskavasi (penggalian) oleh Badan arkeologi Nasional dari Jogjakarta.
Para peneliti menemukan
sejumlah tengkorak manusia, tulang belulang binatang buas serta benda bernilai
sejarah lainnya, seperti peralatan perang pada masa Majapahit,” terang, Basuki
Rahmad, Petugas Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Wilayah 4 Jawa Timur di
Jember.
Menurutnya, kecil
kemungkinan pemerintah merekontruksi. Sebab, struktur dasarnya begitu rapuh, dikwatirkan
ambruk. Minimnya referensi kondisi asli bangunan juga menjadi kendala. “Selama
ini yang menjadi gambaran tentang bangunan candi hanya foto jaman belanda pada
tahun 1904, itupun kondisinya tak lagi utuh. Sehingga untuk membuat repro
gambarnya cukup sulit,” ujarnya.
Meski demikian, ada satu
hal yang masih bias dilakukan, yakni mengenalkan nilai kesejarahan candi, merawat
sekaligus melestarikan situs candi tersebut dengan melibatkan masyarakat,
terutama generasi mudanya. “Saya kira yang paling mungkin dilakukan adalah
mengenalkan nilai sejarah dari bangunan candi. Selain juga merawat serta
melestarikan situs bersejarah tersebut,” paparnya.