
Kegiatan dihadiri oleh
segenap pengurus Fatayat NU dari ranting dan anak cabang se-Kabupaten
Jember diawali dengan launching web Fatayat NU Jember, pembacaan Sholawat,
lomba kreasi produk dari bahan bekas, bazar, aksi teatrical, pembacaan
pernyataan sikap, dan orasi.
Menurut Ketua Umum Fatayat
Jember, Rahmah Saidah, kegiatan ini sebagai upaya membangun kesadaran perempuan untuk
bangkit, “Sesuai tema, kegiatan ini fokus upaya membangun kesadaran perempuan agar
bangkit dari ketertindasan dan menjadi mandiri,” tegasnya Minggu, (24/4)
Lantaran dekat momen hari
Kartini dan Hari Bumi, dalam teatricalnya, mengkritisi peringatan Kartini yang hanya
dengan menggunakan simbol kebaya ataupun dengan lomba-lomba memasak, merias,
merangkai bunga seolah-olah ingin menegaskan bahwa lingkup kerja perempuan
hanyalah di rumahtangga.
“Yang diperjuangkan
Kartini, yang juga adalah seorang Muslimah saat itu adalah isu poligami dan kesetaraan
pendidikan yang merupakan pintu keterlibatan perempuan untuk membebaskan
dirinya dari ketertindasan,” ungkap Nurul Hidayah, ketua panitia penyelenggara.
Selain itu terkait dengan Hari Bumi, dalam aksi
teatrical tersebut digambarkan bahwa perempuan dengan berbagai pilihan profesi
bersama-sama bergandengan tangan untuk menjaga bumi dari kerusakan yang akan
berdampak bagi kehidupan manusia.
Lebih seabad isu gender
disuarakan, namun masih dirasakan perempuan.
Konsepsi keluarga Sakinah Mawaddah, Warrohmah dimaknai sebatas materi,
dimana laki-laki merasa boleh berpoligami hanya karena mampu mencukupi
kebutuhan materi perempuan.
Perempuan seringkali tidak punya
pilihan untuk menikah diusia muda. “Perempuan
seringkali tidak punya pilihan ketika konstruksi budaya yang dijaga oleh
keluarganya memaksanya untuk menikah diusia muda, dan harus menanggung berbagai
macam resikonya,” imbuh Nurul.
Kartini meninggal karena
melahirkan, sampai saat ini angka kematian ibu (AKI) masih tinggi. Survei
Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menyebutkan bahwa AKI di
Indonesia adalah 359 per 100 ribu kelahiran hidup, sedangkan angka kematian
bayi (AKB) adalah 32 per seribu kelahiran hidup.
Partisipasi pendidikan juga
rendah dibandingkan laki-laki. Data BPS tahun 2013 menyebutkan masih ada 11,44%
perempuan pedesaan yang sama sekali tidak pernah sekolah, 19,44% tidak tamat
SD, 33,95% tamat SD, 19,2% tamat SMP, 12,86% tamat SMA/sederajat, dan hanya
3,29% yang sarjana (BPS, 2015).
Ditambah lagi dengan model
pendidikan yang masih tidak berperspektif gender. Sehingga kenyataan ini akan
berdampak kepada tidak terbangunnya kesadaran gender yang berdampak kepada
berbagai bentuk penindasan perempuan.
Perempuan selalu dianggap
makhluk yang lemah, cengeng, tergantung kepada laki-laki yang menjadi suami
ataupun ayahnya. Pada kenyataannya, perempuan memiliki kelebihan dari
laki-laki, mampu menjalankan fungsi reproduksi,
haid, hamil, melahirkan, sampai menyusui bayinya.
Disisi lain, perempuan
adalah penjaga kehidupan, sebagai ibu, bertanggungjawab sekaligus menuntaskan
pekerjaan rumah tangga, bahkan banyak jadi tulang punggung keluarga. Diruang
publik, perempuan menjalin ikatan persaudaraan sesama warga, sebagai tokoh,
perempuan menjadi pemimpin di masyarakat.
Sementara Lomba Handycraft
berbahan bekas, ditujukan untuk membangun kepedulian terhadap lingkungan dengan
mengolah kembali sampah menjadi produk yang berguna. “Dengan mengolah sampah,
kita membantu menjaga bumi dari pencemaran, selain itu, dengan kreasi dari
bahan bekas ini, kita berharap mendapatkan nilai guna dan nilai ekonomis,” jelas Agustina Dewi penanggungjawab lombaHandycraft.
Untuk kedepan, produk pemenang
lomba akan diproduksi massal dan dipasarkan melalui koperasi Yasmin Fatayat,
sehingga bisa menjadi peluang usaha, yang akhirnya berdampak terhadap
kemandirian.
Selain itu, juga menyediakan banner pohon harapan untuk mewadahi
aspirasi dan harapan masyarakat.
Pernyataan sikap yang
dibacakan dalam momen Harlah Fatayat NU Jember ke-66 kali ini diantaranya
menegaskah bahwa perempuan adalah manusia seutuhnya yang memiliki hak dan
kwajiban yang sama dalam berbuat kebaikan di muka bumi.
Mereka menuntut pemerintah
untuk membuat kebijakan yang berperspektif gender, terkait isu poligami,
pendidikan dan kesehatan, mendesak
Pemerintah membuat Perda pelarangan pernikahan usia dini, mengajak ormas perempuan bangkit.