
Aksi ini merupakan respon atas pernyataan
Dewan Komisaris PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI, Dedy Mawardi, yang menyebut
bahwa tanah spada seluas 372 ha yang saat ini dikuasai PTPN XI PG Smboro sudah selesai dan final serta bukan
objek reforma agraria.
“Konflik tanah Nogosari sejak tahun 2000
hingga sekarang belum selesai. Bahkan saat mediasi pada 1 Agustus 2001 di
Kantor DPRD Jember memberi keputusan tanah dalam status quo,” kata Koordinator
warga, Mu’asim, usai melakukan unjuk rasa bersama sekitar 150 petani lainnya.
Mu’asim menuding, pernyataan komisaris itu
menunjukkan bahwa dia tak memahami akar konflik tanah di spada. Karena konflik
itu telah muncul jauh sebelum Peringataan Hari Tani Nasional yang digelar di
halaman Kantor Pemkab Jember, Selasa (27/9) lalu. “Sejak 2001 secara massif
dilakukan pendudukan lahan oleh petani yang luasnya hingga mencapai 135
hektare. Konflik tanah ini tidak muncul secara tiba-tiba,” ujarnya.
Meski saat ini Surat Keputusan Hak Guna Usaha
(SK HGU) tanah spada telah dimiliki oleh PTPN XI dan dianggap final, namun
Mu’asim berkata, pernyataan itu hanyalah alasan bagi perusahaan plat merah itu
untuk mengaburkan fakta yang terjadi. “Karena faktanya hingga saat ini konflik
tetap berlangsung,” tuturnya.
Untuk itu, dalam surat pernyataan para petani
menuntut SK HGU tersebut dicabut karena dinilai cacat hukum, serta meminta
kepada pemerintah pusat melalui Tim Kerja Reforma Agraria di Kantor Staff
Kepresidenan untuk melaksanakan reforma agraria sejati, sebagaimana amanat
undang-undang pokok agraria.
“Dan kami juga menyatakan bahwa tanah spada di
Nogosari merupakan objek reforma agraria dalam konsep land reform yang akan
diidentifikasi oleh Tim Kerja Reforma Agraria di Kantor Staff Kepresidenan,”
pungkasnya.
Menanggapi tuntutan tersebut, perwakilan PT
Perkebunan Nusantara (PTPN) XI Perusahaan Gula (PG) Semboro, Gampil Dwi Susanto
mengatakan, bahes persoalan sengketa lahan spada di Desa Nogosari Kecamatan
Rambipuji, Jember, Jawa Timur, telah selesai.
Karena perusahaannya telah mengantongi
sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan (BPN)
Jember pada 23 Juni 2009 dan masa berlakunya hingga 2032. “Kami memiliki
sertifikat HGU, jadi kami telah mempunyai kekuatan hukum yang sah. Jika memang
dianggap ada salah dalam proses penerbitan HGU, silakan warga membuktikannya,”
tegasnya.
Menurut dia, warga bisa menggugat ke
pengadilan atas tudingan proses penerbitan HGU yang dinilai cacat. Karena yang
berwenang menentukan cacat atau tidaknya dalam proses penerbitan HGU itu adalah
lembaga penegak hukum. “Tapi yang jelas, perusahaan kami telah melalui
mekanisme dan prosedur yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan,” ujarnya.
Manajer Tanaman PG Semboro ini, juga
menyilakan jika warga akan menyampaikan ke Tim Kerja Reforma Agraria Kantor
Staf Kepresidenan RI mengenai status tanah spada menjadi objek land reform.
Karena menurutnya, kewenangan itu menjadi ranah pemerintah pusat.
Hal serupa sebelumnya juga
pernah ditegaskan, bahwa persoalan Tanah Spada Nogosari
Sudah sudah selesai dan final. Kondisi tersebut sudah diketahui semua pihak
di pemerintahan pusat baik Kementrian BUMN hingga Kepala Staf Rumah Tangga
Presiden Joko Widodo yakni Teten Masduki.
Pernyataan tersebut disampaikan anggota Dewan Komisaris PTPN XI Dedy
Mawardi saat menggelar jumpa pers dengan sejumlah awak media
baik cetak maupuk elektronik Sabtu (1/10) di Jember, yang didampibngi Menjer PG
Semboro kabupaten Jember dan PG Jatiroto
Lumajang.
“Tanah di Nogosari itu awalnya dimiliki oleh Belanda. Lalu
dinasionalisasi pada tahun 1958 oleh Pemerintah Indonesia dan diserahkan kepada
PTPN XXIV dan XXV dengan HGU (Hak Guna Usaha) No. 1 Tahun 1997 seluas 372 Ha
yang masa berlakunya habis tahun 2007,” katanya.
Masih kata Dedy, kemudian tahun 2006 PTPN XXIV dan XXV melebur jadi
PTPN XI. tahun 2009 memperpanjang HGU yang akan habis masa berlakunya 1
Desember 2032. “Bedasarkan dokumen PTPN XI, HGU di
Nogosari sah secara hukum milik PTPN XI. Muncul persoalan dengan warga sejak
tahun 2001 dan mulai kembali muncul pada aksi yang dilakukan oleh petani di
depan Kantor Pemkab Jember beberapa hari
lalu,” ujarnya.
Menurut Dedy, permasalahan tanah Nogosari sudah selesai,
pihaknya
memiliki sertifikat resmi. Pihak PTPN XI sudah memberikan apa yang sudah
menjadi kewajiban. Termasuk memberikan
dana CSR perusahaan kepada warga sekitar Desa Nogosari. “Sejak tahun 2007, kami sudah
mengeluarkan dana CSR sebanyak Rp 1,2 milyar berupa berbagai macam bentuk
program seperti perbaikan pondok pesantren, masjid, dan jalan,” imbuh Dedy.
Lebih lanjut, Dedy bahwa tanah HGU milik PTPN XI
PG Semboro di Spada Nogosari kecamatan
Rambipuji tersebut bukan objek reforma agraria. “Kami juga
ingin menegaskan bahwa tanah di Nogosari itu bukanlah objek dari land reform
(reforma agraria).” pungkasnya.
Pernyataan itu menjawab tuntutan sejumlah petani
yang sedang bersengketa dengan Perhutani, PTPN X, PTPN XI, PTPN XII dan
perkebunan swasta serta perkebunan dan lembaga yang lain saat peringatan Hari
Tani Nasional (HTN) yang digelar di depan kantor Pemerintahan Kabupaten Jember.
Ribuan para pejuang tanah yang tergabung dalam
Serikat Tani Independen (SEKTI) Jember, dari
sejumlah titik, yang sedang sengketa, termasuk dari Nogosari (GRASSRUT),
juga dari SIPER, PPRTC, PTM, Kompak, , TPRM, FKPM, dan SPU, , membuat
pernyataan sikap bersama, di Kantor Bupati Selasa (27/9)
Aksi memperingati Hari Tani Nasional Ke 56
dihadiri Kepala ATR / BPN Badan Pertanahan Negara Jember, Koes Windarbo, Ketua DPC PDI
Perjuangan Tabroni, Anggota DPRD Kom A David Handoko Seto,Tim Kerja Reforma
Agraria (KRA) Kepresidenan DR Tri Candra Aprianto, dan Bupati diwakili Sekda
Bambang Hariono.
Dalam kesepatan itu Tri Candra Aprianto,
dihadapan para peserta aksi mengatakan Refoma Agraria merupakan janji politik
Presiden Jokowi yang tertuang dalam Nawa Cita, dan tertuang dalam Rencana Kerja
Prioritas (RKP) Pemerintah RI, dalam rencana tahun 2017.
“Strategi Nasional (Strana), bagaimana cara pelaksanaan untuk
mewujutkan program RKP, Agar tanah yang
mereka duduki dan lahan garapan, di kembalikan serta mendapatkan pengakuan
maupun pengesahan dari Pemerintah.”Jelasnya.
Sebenarnya keinginan rayat agar dapatnya bisa
mendapatkan tanah rakyat, sudah searah
dengan program pemerintah Jokowi-JK dengan Nawa citanya, akan menyerahkan tanah
seluas 9 Juta Hektar tanah di Seluruh Indonesia kepada rakyatnya.
Dalam kesempatan itu sejumlah petani yang
dibacakan kootdinator Aksi, Juma’in menyatakan
empat sikapnya, pertama Laksanakan UU Pokoh Agraria No 5 Tahun 1960 Secara
Murni, dengan mengembalikan tanah petani yang telah dirampas, melaksanakan KRA.
Selanjutnya Presiden Joko Widodo diminta berani
memimpin sendiri Reforma Agraria secara langsung dengan membuat kebijakan
berupa Perpres, dalam pengurusan tataguna kuasa dan tataguna tanah harus satu
pintu, dan membentuk lembaga control dalam realisasi pelaksanaan KRA.
Ketiga meminta DPRD dan Bupati Jember segera
membentuk Tim Penyelesaian kasus Tanah dengan melibatkan perwakilan kelompok
petani, agar pemerintah bisa melaksanakan niat baik Presiden secara tepat dan
tepat serta bermanfaat Dan terakhir hentikan segala entuk Kriminalisasi dan
Adu-domba maupun kekerasan terhadap
petani oleh siapapun dan dalam bentuk apapun” Pungkasnya.
Sementara Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC)
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan kabupaten Jember, Tabrani
menyampaikan para kelompok tani diharap tetap menjaga kewaspadaan dan
kekompakan, agar mudah terpropokasi oleh pihak ketiga tidak dan terpecah belah
anggota satu dengan yang lain.
Selebihnya pada Pemerintah, baik Pemerintah
Pusat maupun daerah, agar berpihak pada rakyat dengan mengembalikan hak atas
tanah, sesuai dengan undang-undang Agraia, pemerintah berkewajiban pemerintah
memberikan tanah pada petani dan amanat UUD 45 Pasal 33, Bumi air udara adalah
dikuasai pemerintah dan digunakan sebesar-besarnyauntuk rakyat.
Lanjut Tabrani, Harapan kami seluruh jajaran
pemerintah Daerah hingga Pusat, untuk segera melaksanakan reformasi Agraria, sesuai
tujuan dan cita-cita Proklamasi 45 memakmurkan rakyatnya. “Membagikan hak-hak
atas tanah itu pada petani, dan tidak lagi memberikan pada pemodal, yang hanya
menciptakan buruh-buruh saja, mengingat kantong kemiskinan justru berada di
wilayah area sengketa tanah perkebunan yang dikuasai oleh BUMN dan
BUMD.”Jelasnya.
Sementara Kepala BPN Jember Koes Windarbo, “Kami dari kantor
pertanan tidak akan pernah menghalangi perjuangan para petani untuk menguasai
tanah garapan yang sudah puluhan tahun, terpenting sesuai prosedur, betul
persyaratan dan betul hukumnya.”Jelas Windarbo.