
Sejumlah insan pers yang tergabung dalam Forum
Wartawan Lintas Media (FWLM) Jember, menilai, bahwa kesepakatan damai tersebut adalah tindakan
yang merugikan nama baik organisasi dan merupakan bentuk inkonsistensi sikap sebagai seorang
jurnalis dalam melawan berbagai bentuk kekerasan.
Korban
menduga perlakuan yang Ia
terima berkaitan dengan kasus Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang tengah Ia
telusuri untuk bahan berita di media cetak Bidik. Pasalnya, proses pencairan KIP tiga oknum kepala
sekolah SD di Desa Tamansari itu menyalahi ketentuan dan prosedur baku sesuai
peratuan.
Adanya
pembatalan laporan ke Polres Jember dan terjadinya kesepakatan
damai, sangat
disayangkan, sebagai insan pers seharusnya komitmen, bahwa segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis
harus dilawan.
Demikian statmen yang dibuat dalam pernyataan sikap yang diterma redaksi Kamis,
(30/3)
Menurut
Ketua FWLM Jember, Ihya Ulumiddin, bahwa apa yang dilakukan (MN), salah-satu
Wartawan Media Bidik , asal kabupaten Jember, yang membatalkan laporan dan menandatangani kesepakatan damai dengan
pelaku kekerasan, adalah tindakan pribadi, bukan atas nama organisasi.
“Bahwa, kesepakatan damai dan pembatalan
laporan tersebut adalah
atas dasar keputusan pribadi
saudara Mohammad Nasir alias Monas dan tidak melibatkan Pengurus dan anggota FWLM Jember secara kelembagaan”. Tegasnya.
Kejadian
itu terkuak ketika, saudara Mohammad Nasir (Monas) Minggu
malam (25/3) ,
mengadukan melalui pesan whatshap. Ia
mengaku Sabtu malam 25 Maret 2017.telah diculik dan disekap serta mendapat
perlakuan kasar berupa kekerasan fisik disejumlah tempat bahkan ia mengaku diancam akan dibunuh.
Awal
penganiayaan terjadi di Pujasera Jalan PB Sudirman, depan Kantor Dinas Sosial
(Dinsos) Jember. Malam itu, korban yang siangnya sudah janji wawancara, bertemu
dengan tiga oknum kepala sekolah, ketika berpamitan mau pulang, sekitar jam
22.00 wib datanglah segerombolan, dan memaksa masuk mobil.
Sesampainya
di salah satu SPBU di Jl. Basuki Rahmad, korban mengaku juga dapat perlakuan
kasar dan pukulan. lantas korban dinaikkan ke mobil berbeda, disitu ada tiga kepala sekolah dan kades serta
beberapa orang yang Ia kenal. Seingatnya ada sekitar 7-8 orang, dan dibawa ke Kantor
Desa Tamansari.
Selama
perjalanan, korban mengaku kembali mendapat ancaman dan intimidasi. Korban juga
menyatakan sempat mendengar ancaman kalau akan dibunuh. Sesampai di balai desa,
korban kembali mendapat perlakuan kasar, bahkan menurutnya banyak warga yang
menyaksikan malam itu.
Selanjutnya,
teman korban Andurrahman (LSM MP3) datang ke Kantor Desa melihat kondisinya
menurutnya juga dipukuli. Mereka, baru bisa keluar pada Minggu 26 Maret 2017,
sekira pukul 04.00 WIB, pagi hari, setelah berhasil merayu sang kades dengan
sanjungan-sanjungan.
Atas
keterangan itu aduan korban ditindaklajuti dengan cara mendampingi korban melaporkan kasus itu ke
Polres Jember, bersama perwakilan dari Kepala Biro Bidik di Jember dan sejumlah
jurnalis yang tergabung dalam FWLM Jember pada Senin 27 Maret 2017 Pengurus FWLM Jember.
Laporan diterima petugas piket di ruang
Reserse dan Kriminal, semuanya diizinkan
mengikuti proses laporan. Namun selanjutnya diminta keluar ruangan. Sementara korban bersama temannya bernama Abdurrohman dimintai keterangan mulai pukul 10.00 WIB hingga sekira pukul
17.00 WIB.
Pada proses pemeriksaan itu, sejumlah
terduga yang mengainiaya korban bersama temannya, Abdurrohman, serta oknum Kades dan tiga Oknum Kepala Sekolah datang dan masuk ke ruangan pemeriksaan. Saat itu, para pendamping korban tidak mengetahui apa
yang terjadi dalam proses pemeriksaan tersebut.
Ketika para jurnalis keluar
dari Polres Jember untuk menulis berita, proses pemeriksaan terus berjalan. sekira pukul 19.00 WIB, santer terdengar
kabar bahwa kasus kekerasan terhadap korban berujung kesepakatan damai
dan laporan dibatalkan oleh korban.
Bahwa, saat
dikonfirmasi saudara Mohammad Nasir alias Monas mengaku jika laporan itu
dibatalkan dan telah menandatangani kesepakatan damai dengan para terduga
pelaku kekerasan. Kesepatan itu dibuat secara tertulis dan dilakukan di ruangan
Kasat Reskrim Polres Jember.
Dalam pengakuannya kepada pengurus dan sejumlah jurnalis, saudara Monas, mengaku penandantanganan
kesepakatan damai itu berada di bawah tekanan. Karena ada ancaman oleh salah
seorang terduga pelaku kekerasan terhadap perempuan yang menjadi narasumber
dalam melakukan reportasenya.
Saudara Monas mengaku merasa khawatir dengan
keselamatan narasumber dan keluarganya
tersebut sehingga menandatangani kesepakatan damai tersebut. Saat dikofrontasi,
saudara Monas menolak untuk mencabut kesepakatan damai dan melaporkan ulang
kasus kekerasan yang menimpa dirinya
“Berdasarkan hal tersebut, FWLM menegaskan bahwa apa yang dilakukan korban, adalah
tindakan pribadi, bukan atas nama Kelembagaan. Untuk itu FWLM mengutuk segala bentuk kekerasan, baik
kekerasan verbal maupun fisik, terhadap jurnalis”. Tegas Ketua Forum yang juga wartawan
koran harian Memo X ini
Pasalnya
menurutnya apa yang dilakukan
para pelaku dari
oknum Kades dan Tiga Kepala Sekolah SD tersebut adalah upaya sengaja menghalangi tugas jurnalis mencari, memperoleh, dan
menyebarluaskan gagasan dan informasi, apalagi diduga ada unsur intimidasi, kekerasan dan
ancaman pembunuhan.
Untuk itu FWLM Jember juga meminta Dispendik
Jember mengusut kasus itu dan memberi sanksi penganiaya yang diduga
melibatkan tenaga pendidik. Jika terbukti bersalah, UU No 40 Tahun 1999 tentang
Pers sifatnya Lex Specialis, sementara
kasus
penganiayaannya (pidana) harus diusut Polres Jember. (tim)