
Masing-masing
yaitu Desa Wonoasri, Kecamatan Tempurejo, Desa Ambulu dan Desa Sabrang, Kecamatan Ambulu, dan Desa Dukuhdempok, Kecamatan
Wuluhan. Didesa itu juga telah terbentuk
kelompok-kelompok perempuan mantan buruh migran yang berada di bawah naungan
PPT Desbumi.
“Di
empat desa ini, rata-rata lembaga Desbuminya eksis”, terang Direktur Migrant
CARE Jember, Bambang Teguh Karyanto, dalam diskusi bertajuk Joint Monitoring
Lapang Program Mampu di Jawa Timur di Aula Desa Dukuhdempok, Kecamatan Wuluhan,
Kamis (19/4/2018)..
Komunitas
Desa Peduli Buruh Migran (Desbumi) bentukan Migrant CARE ini tampak mengutarakan
testimoni kekerasan, problem serta tantangan di tempat kerjanya, membahas Pusat
Pelayanan Terpadu (PPT), juga Pelatihan membatik dan tataboga, dan aktif dalam perencanaan di desanya.
Kegiatan
program kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan
Perempuan atau MAMPU ini bertujuan meningkatkan akses perempuan marjinal
-termasuk mantan buruh migran- terhadap layanan penting untuk mewujudkan
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan Indonesia.
Angka ini disinyalir lebih sedikit dari yang sebenarnya, Lisa, enumerator pendataan di Desa Ambulu, mengungkapkan, kendalanya, masih tertutupnya mantan maupun keluarga buruh migran. diduga, minimnya informasi mengenai manfaat lembaga Desbumi ini menjadi penyumbang mereka menjadi tertutup.
“Jadi mereka itu sulit memberikan informasi yang maksimal. Hanya sedikit informasi yang disampaikan. Sehingga kami tidak mendapat informasi yang utuh. Padahal ada beberapa calon TKI yang sampai menjual tanah, tapi mereka tidak sampai diberangkatkan,” ungkapnya.
Hal senada disampaikan Ririn, Menurut mantan buruh migran asal Desa Ambulu, program Desbumi ini sangat bermanfaat. Karena tak hanya memberikan pelatihan keterampilan, tetapi juga membuka akses bagi kaum perempuan marjinal di desa untuk mengikuti proses perencanaan pembangunan desa.
Kendati begitu, perempuan yang pernah bekerja 10 tahun di luar negeri ini mengusulkan, agar pola pemberdayaan tak hanya di pelatihan saja, melainkan juga membuka akses pasar bagi produk-produk kerajinan maupun olahan makanan yang dihasilkan oleh kelompok-kelompok eks buruh migran.
“Karena kami, perempuan-perempuan di desa ini, aksesnya sangat terbatas. Mungkin kami mampu memproduksi, tapi masih kesulitan marketnya. Jadi kami mohon kepada pihak terkait untuk membantu dalam memasarkan produk-produk kami, sehingga kami menjadi mantan TKI yang produktif dan berjaya,” tuturnya.
Kepala Desa Dukuhdempok, Miftahul Munir, mengaku terbantu dengan lembaga ini, sebelumnya, pemerintah desa cukup kesulitan melindungi warganya. Karena hanya menandatangani dokumen tanpa mengetahui perusahaan dan kemana tujuannya. Ironinya, setiap ada problem pemerintah desa terlibat.
“Saat ini, pemerintah desa bisa menelusuri apakah perusahaannya legal atau tidak? Dan sektor apa calon TKI itu bekerja. Bahkan, pemerintah desa juga punya kekuatan menolak [menandatangani dokumen], baru setelah tidak ada persoalan kami bisa menandatanganinya,” jelas dia.
Tak hanya ketika akan berangkat saja bisa mengintervensi, pasca terbentuknya lembaga Desbumi pemerintah desa juga bisa berbuat lebih untuk memberdayakan mantan buruh migran sekembalinya dari negeri rantau, karena pemerintah desa bisa mengalokasikan anggaran melalui APBDes.
“Hanya saja, anggarannya tidak besar dan hanya bisa untuk biaya operasional lembaga saja. Untuk itu perlu ada keterlibatan semua pihak, mulai dari pemerintah pusat hingga daerah dan swasta untuk menuntaskan program-program pemberdayaan tersebut,” tandasnya. (ruz).