
Dalam Pemeriksaan itu, Tim
Satuan Tugas Dana Desa (Satgas DD) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) menemukan indikasi adanya penyelewengan
penggunaan anggaran pemerintah pusat Rp 150 juta lebih dan dugaan penyalagunaanwewenang
oleh kepala desa.
Hal ini terjadi karena, selain
tidak difungsikannya lembaga pelaksana pembangunan, seperti Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Badan Permusyawaratan Desa (BPD), juga dugaan penyalahgunaan
wewenang dengan mengambil semua peran perangkat desa, sekretaris dan bendahara
desa.
Menurut Devisi Penanganan
Kasus Dana Desa, Mohammad Fathurrahman bahwa dari hasil pemeriksaan selama
sehari penuh itu, tim pemeriksa menemukan sejumlah kejanggalan, pasalnya kekuasaan
kepala desa menjadi mutlak, tanpa adanya lembaga penyeimbang yang mengawasi
kinerja pemerintah desa.
Akibatnya muncul konflik
interest, seperti pengadaan kereta kelinci yang merupakan aset Badan Usaha
Milik Desa (BUMDes), Armada wisata itu dibeli kepala desa. “Jadi semua keputusan,
semua kegiatan harus melalui kepala desa. Ini yang tidak betul,” katanya, di
sela pemeriksaan di Desa Mayangan, Kecamatan Gumukmas.
Fakta lain yang ditemukan,
sambung Fathur, pihaknya menemukan indikasi penyalahgunaan wewenang, serta penggunaan
dana desa yang berpotensi merugikan keuangan negara. Dia menyebut, dalam
pemeriksaan penggunaan anggaran tahun 2017 dan 2018, banyak sekali program yang
dikontraktualkan.
Anehnya, mulai pengadaan
barang hingga pelaksanaan dari kepala desa. Padahal, Proyek padat karya tunai
(PKT), harus melibatkan masyarakat setempat. “Jadi conflict of interestnya
sangat tinggi. Barangnya dari dia, pekerjanya juga dari dia. Ini yang jadi
temuan kami,” terangnya.
Tak berhenti disini saja,
Satgas juga menemukan sejumlah fakta lain seperti, soal pengerjaan proyek yang
dikatakan Fathur harus diuji kembali kualitasnya. Karena berdasarkan hasil
pemeriksaan lapangan, proyek pavingisasi kualitasnya dibawah standar, serta
ditengarai menggunakan paving bekas.
Tak hanya itu, pihaknya
juga menemukan kejanggalan pembayaran upah pekerja. Karena berdasarkan laporan
pertanggungjawaban yang diteliti, tercatat ada pekerja penerima upah. Padahal
proyek pembangunannya dikerjakan oleh pihak ketiga. Bahkan nilainya cukup besar
di atas Rp 150 juta.
Seharusnya, jika
menggunakan mekanisme kontraktual, upah pekerja itu tidak muncul di laporan.
“Maka, kami merekomendasikan agar ada audit investigative yang dilakukan Pemkab
Jember,” tegasnya. Dia juga tak memungkiri, jika penyelewengan tersebut
berpotensi mengarah ke tindak pidana.
Menurut Kepala Dinas
Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Dispemasdes) Jember Eko Heru Sunarso,
indikasi itu harus dikonfirmasi dulu, bisa jadi karena ada keteledoran
administratif. Semisal upah pekerja di surat pertanggungjawaban (SPJ). “Jadi
harus dikonfirmasi dulu,” katanya, Kamis (18/10/2018) . (mam)