
Para peserta melakukan perjalanan dengan jarak tempuh
sekitar 10 km dengan rute di mulai dari Pondok Pesantren (Ponpes) Raudlatul
Ulum Sumberwringin Kecamatan Sukowono menuju
Mojogemi, Sukowiryo, dan terakhir di Desa Sukojember.
Menurut Wakil Bupati (Wabup) Jember Drs. KH. A. Muqit
Arief, bahwa KH M Umar turut berjuang untuk melawan penjajah. Beliau pun pernah
mengungsi ke Mojogemi, di rumah almarhum Kiai Bukhori, ketika hampir terperangkap
oleh penjajah.
“Napak tilas sangat penting bagi santri agar kenal dengan
perjuangan yang telah dilakukan oleh para pendahulu. “Para pendahulu melakukan
perjuangan yang sangat luar biasa dalam merebut kemerdekaan,” ujar KH. A. Muqit
saat memberikan sabutan pemberangkatan peserta.
Kemerdekaan Indonesia tak lepas dari peran para ulama. Bahkan
beliau wafat di tahun 1980-an, yang berarti juga ikut mengisi kemerdekaan.
Menurutnya, saat ini perjuangan ini masih belum selesai, dan harus dilanjutkan oleh
para santri.
“Para santri harus melanjutkan perjuangan almarhum KH M Umar. Dengan melanjutkan perjuangan para para
ulama, lebih-lebih sebagai penjuang, diharapkan keberadaan santri akan menjadi
orang yang bermanfaat ketika kembali ke masyarakat” jelasnya saat memberikan pemberangkatan.
Pesan Wabup, kepada para santri yang menimba ilm u di salah-satu
pondok pesantren besar di Kabupaten Jember ini, bersungguh-sungguh mencari ilmu
hingga pendidikan tertinggi. “Semakin tinggi pendidikan, semakin mungkin dapat bermanfaat
di daerahnya,” tutur wabup..
Informasi media ini bahwa, memang Nama Kiai Umar bin
Ikrom saat ini tidak begitu populer, namun pada zamannya, Ayahanda Kiai Khotib
Umar ini tidak asing di telinga para warga NU, khususnya Jawa Timur, kiai yang
satu ini terkenal sebagai pejuang dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) yang sangat
tangguh dalam melawan penjajah.
Kiai Umar atau Abd Mushowwir, lahir di Desa Suko, Jelbuk.
Putra sulung 4 bersaudara pasangan Kiai Ahmad Ikram dan Nyai Aminah tahun 1904
M ini, usai belajar ke pesantren Banyuanyar, Pamekasan, Madura, Sidoharjo,
Banyuwangi, Jember dan lainnya diminta meminmpin Pesantren Raudlatul Ulum.
Diantara teman sepondok saat itu diantaranya KH. As’ad
Syamsul Arifin (Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo), KH. Zaini Mun’im
(Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo) dan KH. Junaidi Asmuni (Pesantren Bustanul
Makmur, Genteng, Banyuwangi).
Ketika Kiai Umar itu pulang, serdadu Belanda tengah
giat-giatnya menancapkan kuku kekuasaannya. Tak urung, Raudlatul Ulum pun jadi
markas perjuangan di bawah komandonya, Selain santri, ada sektiar 250 pejuang bermarkas
di pesantrennya, bahkan Kiai Umar pernah ditahan Belanda.