Jember, MAJALAH-GEMPUR.Com.
Keberadaan pupuk subsidi di Jember, kian sulit dicari, sementara harga pupuk Non-subsidi
harganya selangit. Akibatnya para petani kelimpungan.
Kelangkaan disinyalir karena ada pengurangan kuota dari Pemerintah. Sehingga, petani berebut beli pupuk bersubsidi. "Tahun lalu saja di Acc 60 persen, sekarang hanya 34 persen," kata Saprodi salah satu Kelompok Tani Harapan Maju Desa Sumberrejo, Anwar Musadad, Rabu (19/1/2022).
Artinya, Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) pupuk bersubsidi yang diajukan tidak di setujui 100 persen. "RDKK yang diajukan ke pemerintah Tahun kemarin itu sekitar 77 ton dan yang di Acc hanya 34 persen atau kisaran 26 ton, itupun masih dibagi dengan kios-kios lain," jelasnya.
Dampaknya pada pupuk bersubsidi yang didatangkan kepada kelompok-kelompok tani di setiap bulannya beda-beda yakni antara 7 sampai 9 ton. "Itu pun tidak cukup dengan luas hamparan atau sawah yang dimiliki semua anggota kelompok disini yakni 80 hektaran," lanjutnya.
Paling langka itu, lanjut Aan yaitu Phonska, karena hanya di Acc 34 persen, Untuk ZA 97 Persen dan untuk organik 29 persen. Untuk harga satuan, bervariatif, untuk ZA satu karung 85 ribu, Urea 112 ribu lima ratus, Phonska 115 ribu dan Petorganik 32 ribu Rupiah”, jelasnya.
Keluhan juga disampaikan Petani desa Sumberejo, Ambulu dan desa Menampu Gumukmas. "Pupuk subsidi saat ini habis dan non-subsidi mahal hingga dua kali lipat," ujar Mujari, petani desa Sumberejo. bahkan kata Tarwi Petani desa Menampu, harganya bisa mencapai tiga kali lipat.
Misalkan, harga pupuk Za yang Non-Subsidi, harga eceran perkilo gram mencapai 8 ribu. Padahal beberapa bulan lalu hanya 4 ribu," kalau eceran ya per kilonya segitu, satu sak atau per kwintalnya berapa wes," kata Mujari
Menurut Ketua Kelompok Tani Harapan Maju Desa Sumberejo Sugiono bahwa, jatah itu terkadang masih saja ada yang mengambil dari petani luar daerah. "Akhirnya Petani daerah Sumberejo kebingungan dan kurang dan toko mau memantau dari orang mana kan tidak bisa," keluhnya.
Juga adanya sebagian petani yang memiliki lahan luas, menimbun pupuk baik untuk tanam tahun depan atau dijula. "Biasanya petani yang menimbun, untuk tanam Tembakau atau Kubis butuh. Artinya untuk konsumsi sendiri, khawatir ada kelangkaan pupuk," ungkap Sugiono.
Persoalan lain, jelas Sugiono, keberadaan petani di area perhutani, kekurangan jatah. "Daerah hutan kan tidak mempunyai atau ada jatah pupuk, karena luas area perhutani yang ditanami tanaman pangan oleh petani, sekarang lebih lebar," bebernya.
Para petani, terkadang juga memiliki lahan di hamparan sawah, juga punya di area perhutani, sehingga hal semacam ini membuat dilema para pemilik kios pupuk. "Nanti kalau tidak dilayani, katanya pupuk kok tidak dijual, katena petani itu juga punya area." Tandasnya. (naw).