Pamekasan - Ada satu wajah yang kini tak asing di benak warga Pamekasan—bukan karena tampil dalam poster formalitas, melainkan karena kehadirannya yang nyata di tengah keresahan warga. Sosok itu adalah AKBP Hendra Eko Triyulianto. Perwira polisi kelahiran Madura ini bukan hanya mengemban tugas formal menjaga ketertiban; ia memikul sesuatu yang lebih besar—misi batin untuk memulihkan nama tanah kelahirannya, dari stigma dan cerita kelam yang selama ini melekat di luar.
Sebagai putra daerah, Hendra tumbuh mendengar kisah-kisah tentang Madura yang sering direduksi pada kekerasan, konflik, atau kriminalitas. Ia tahu, citra itu tak mewakili kenyataan seluruhnya. Maka saat ia diberi amanah memimpin Polres Pamekasan, ia tahu ini bukan sekadar jabatan; ini pertaruhan. Pertaruhan untuk mengubah persepsi. Untuk membuktikan bahwa Madura bukan tempat kejahatan tumbuh subur, tapi tanah yang bisa dijaga dengan martabat, keberanian, dan ketegasan hukum.
Dan tantangannya tak main-main. Tiga kejahatan besar menghantui kota ini: peredaran narkoba, maraknya pencurian kendaraan bermotor (curanmor), dan aksi balap liar yang merajalela di jalanan umum. Tiga medan yang berbeda rupa, tapi satu dalam akibat—merusak rasa aman warga. Hendra tidak menunggu laporan, tidak menunggu viral. Ia menyusun strategi, membentuk tim, dan turun langsung. Karena baginya, keamanan bukan soal reaktif, tapi soal inisiatif.
Di lini pertama, ia memukul peredaran narkoba. Dalam tempo satu bulan, Polres Pamekasan berhasil membongkar tujuh kasus besar dan menangkap 17 pelaku. Penangkapan dilakukan di berbagai lokasi, termasuk di SPBU, pemakaman, dan rumah-rumah yang dijadikan markas peredaran sabu. Yang mencengangkan, salah satu pelaku merupakan eks anggota TNI—tanda bahwa jaringan ini menyusup lintas status sosial. Tapi yang membuat publik kagum bukan hanya hasil tangkapan, melainkan cara kerjanya: senyap, sistematis, dan tanpa celah.
Namun, Hendra paham, narkoba bukan sekadar soal barang dan pelaku. Ini soal ekosistem. Soal anak muda yang kehilangan arah, keluarga yang runtuh, dan masyarakat yang diam karena takut. Maka ia tidak hanya membawa borgol, tapi juga membawa pendekatan sosial. Penyuluhan di sekolah-sekolah, dakwah di masjid, kampanye di media lokal—semua digerakkan untuk menciptakan benteng sosial yang kuat. Karena kalau hanya mengandalkan penjara, rantai kejahatan akan tumbuh kembali. Tapi kalau kesadaran masyarakat dibangkitkan, jaringan itu akan kehilangan tanah untuk tumbuh.
Medan kedua yang ia hadapi adalah curanmor—kejahatan yang sering dianggap sepele, padahal dampaknya brutal bagi masyarakat kecil. Di Pamekasan, sepeda motor adalah alat hidup. Satu motor hilang, satu keluarga bisa limbung. Hendra tahu itu. Maka saat tiga pelaku curanmor ditangkap, ia turun sendiri, memimpin langsung proses penangkapan. Tidak ada kompromi. Tidak ada toleransi. Ia ingin kirim pesan keras: siapa pun yang mencuri di tanah ini, akan berhadapan langsung dengan hukum dan kehendaknya sebagai penjaga.
Penangkapan tersebut bukan insiden biasa. Ketiganya diketahui terlibat dalam pencurian lintas kecamatan, dengan pola kerja rapi dan barang bukti delapan motor. Hendra tak hanya menangkap, tapi juga mengejar siapa di balik para pelaku lapangan. Ia ingin tidak hanya pelaku eksekusi yang terjaring, tapi juga otak di balik sindikat. Ia memerintahkan agar barang curian dikembalikan langsung ke pemiliknya, disertai permintaan maaf negara. Sebab bagi Hendra, keadilan bukan hanya soal menghukum pelaku, tapi juga memulihkan korban.
Dan lalu, datanglah medan ketiga—balap liar. Ini medan yang berbeda. Pelakunya bukan bandar, bukan maling, tapi anak-anak muda. Tapi bahayanya nyata. Bukan hanya karena kecepatan, tapi karena ruang publik yang dirampas, dan nyawa yang bisa hilang dalam sekejap. Hendra tidak membiarkannya jadi rutinitas. Ia bentuk tim gabungan dari Brimob, Satlantas, Reskrim, dan Intelkam. Jalan-jalan utama dipantau, tim hunter dibentuk, dan puluhan motor disita. Bahkan, kendaraan yang tertangkap dibekukan sampai momen Lebaran, sebagai bentuk efek jera.
Namun lagi-lagi, ia tidak cuma menindak. Ia bicara dengan komunitas. Ia panggil tokoh pemuda. Ia ajukan ide pembangunan sirkuit legal, agar semangat kompetisi anak muda tidak disalurkan di jalan, tapi di tempat yang benar. Ia paham: banyak dari mereka bukan kriminal, tapi remaja tanpa ruang. Maka selain razia, Hendra juga memperjuangkan ruang aman. Ia ingin jadi solusi, bukan hanya pemadam kebakaran.
Dalam seluruh medan itu, satu pola yang tak berubah adalah kehadiran dirinya. Hendra tidak memimpin dari balik meja. Ia hadir di titik-titik panas, berbicara dengan korban, membaur dengan warga. Ia tahu bahwa kepercayaan tak lahir dari slogan, tapi dari keberanian turun langsung. Ia tahu masyarakat butuh figur yang bisa dilihat, bukan hanya didengar.
Sebagai putra Madura, Hendra tidak ingin daerah kelahirannya hanya dikenal karena konflik atau kekerasan. Ia ingin Madura dikenal sebagai tanah yang disiplin, tertib, dan manusiawi. Itulah pertaruhan pribadinya. Ia bisa saja memilih jalur aman—jalur formalitas dan laporan rapih. Tapi ia memilih jalan sulit: mengubah kultur, melawan stigma, dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
Hari ini, Pamekasan belum sepenuhnya tenang. Tapi tanda-tanda perubahan mulai terasa. Warga mulai bicara lagi dengan polisi. Anak muda mulai berpikir dua kali sebelum ikut balap liar. Pengedar sabu mulai gelisah. Dan di balik semua itu, ada satu komando yang bekerja: tegas, jujur, dan hadir. Hendra Eko bukan hanya Kapolres. Ia adalah simbol perlawanan terhadap cerita lama yang menyesatkan tentang Madura. Ia sedang menulis ulang narasi—dengan keringat, risiko, dan keberanian.
Tiga medan masih terbentang. Tapi komando sudah bergerak. Dan ketika komando itu datang dari seorang anak daerah yang bertaruh nama demi martabat tanah kelahirannya, maka perjuangan itu bukan sekadar tugas. Ia adalah bentuk
cinta yang nyata. (r1ck)