Selamat Hari Jadi Jember ke 96

https://draft.blogger.com/blog/page/edit/1360945809311009771/7858131956542366929

Translate

Iklan

Kebenaran Tak Lagi Penting, Asal Komentarnya Banyak

29.7.25, 12:34 WIB Last Updated 2025-07-29T05:34:48Z


Oleh: Hirna Ramadhanianto *)

Ada satu kalimat yang membuat gaduh: “Ini bukan masalah yang terlalu fundamental.”

Kalimat pendek. Tapi sejak disampaikan Bupati Jember Muhammad Fawait, ia seperti bola salju yang digelindingkan di jalan menurun: makin lama makin besar. Makin jauh, makin susah dikendalikan.

Potongan video itu beredar cepat. Ditemani caption bernada sinis. “Bupati tidak peduli.” “Pemimpin macam apa ini?” “Warga antre BBM dari subuh, malah dibilang tidak fundamental.” 

Dalam hitungan jam, simpati berubah jadi kemarahan. Bukan karena orang benar-benar tahu apa yang terjadi. Tapi karena sudah ada satu “kebenaran baru” yang disepakati: kalau viral dan disukai banyak orang, maka itulah kebenaran.

Inilah era kita sekarang. Di media sosial, kebenaran itu seperti opini saham: naik bukan karena nilai intrinsik, tapi karena banyak yang beli. Yang rame, yang disukai, yang dibagikan ribuan kali, itulah yang dipercaya. Soal konteks? Belakangan. Soal niat baik di balik pernyataan? Tak sempat dipikirkan.

Padahal, kalau diputar ulang secara utuh, bupati tidak sedang menyepelekan. Ia menjelaskan. Bahwa kelangkaan BBM yang terjadi di Jember bukan karena stok kosong. Stok nasional aman. Regional juga tersedia. 

Masalahnya adalah gangguan distribusi. Jalur Gumitir ditutup. Pelabuhan Ketapang macet. Truk pengangkut BBM tertahan. Dampaknya terasa di SPBU-SPBU Jember. Tapi sekali lagi: ini bukan krisis pasokan, melainkan hambatan pengiriman.

Dan karena itu bukan masalah sistemik, solusinya pun bisa cepat: BBM dikirim dari Surabaya, Malang, bahkan Solo. Ini sedang dilakukan. Bahkan sebelum netizen sibuk berdebat soal frasa “tidak fundamental”.

Pemerintah daerah juga sudah mengambil langkah taktis: sekolah daring, ASN WFH, surat edaran darurat, semua untuk mengurangi mobilitas warga agar dampaknya tak semakin parah.

Sayangnya, satu kalimat yang dipotong dan dilepaskan dari akarnya, sudah terlanjur digoreng di kuali emosi. Kesannya jadi lain. Narasi pun bergeser. Seolah-olah pemimpin sedang menertawakan derita rakyatnya.

Inilah tantangan di zaman algoritma. Kita lebih mudah percaya pada “kesan” daripada “isi”. Kita lebih siap marah daripada menyimak. Kita lebih cepat menyalahkan daripada mendengar penjelasan. Dan semua ini makin parah saat krisis datang.

Padahal, dalam kondisi seperti sekarang, butuh keterlibatan semua pihak. Pemerintah tak bisa bekerja sendiri. Media, warga, pengusaha, dan pemilik SPBU perlu ikut serta. 

Netizen pun bisa membantu, kalau mau. Bukan dengan menyebarkan potongan video yang memperkeruh suasana, tapi dengan menyampaikan informasi yang utuh, mengedukasi sesama, dan memberi ruang untuk kerja-kerja nyata pemerintah.

Bisa jadi, memang ada kekurangan komunikasi publik dari pemerintah. Bisa jadi pernyataan itu kurang hati-hati. Tapi apakah itu cukup untuk membakar wacana dan mengikis kepercayaan? Apakah satu kalimat harus menenggelamkan semua upaya yang sudah dan sedang dilakukan?

Kita hidup di zaman di mana kecepatan sering mengalahkan kebenaran. Tapi bukan berarti kita harus ikut hanyut. Karena kalau yang viral selalu dianggap benar, maka kebenaran akan terus jadi korban, bersama dengan akal sehat dan nalar publik yang mestinya jadi pondasi demokrasi.

Dan di tengah krisis seperti ini, satu hal yang seharusnya lebih viral adalah semangat kolaborasi, bukan tudingan yang dipotong dari separuh kalimat yang salah dimaknai. (*)

*) Penulis adalah Pegiat Literasi dan Media Sosial di Jember

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Kebenaran Tak Lagi Penting, Asal Komentarnya Banyak

Terkini

Close x