![]() |
| Ilustrasi |
Jember, MAJALAH-GEMPUR.Com - Ketika data penyaluran pupuk bersubsidi di Kabupaten Jember menunjukkan angka yang nyaris sempurna, realitas di lapangan justru berkata lain. Puluhan ribu petani masih belum merasakan jatah pupuk yang seharusnya mereka terima.
Selisih data yang menganga ini tidak hanya memunculkan kebingungan, tetapi juga kekhawatiran bahwa sesuatu telah terjadi dalam rantai distribusi yang seharusnya berjalan ketat dan tersistem.
Penyaluran pupuk bersubsidi dari PT Pupuk Indonesia (PI) untuk wilayah Jember tercatat sudah mencapai 91,25 persen dari total kuota 126.802 ton per November 2025. Artinya, 115.702 ton sudah keluar dari gudang.
Namun angka di tingkat petani jauh lebih kecil yakni baru 68,90 persen yang terserap. Jumlah petani yang sudah menikmati pupuk subsidi hanya 143.684 orang, sementara total petani yang terdaftar dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) mencapai 208.531 orang.
Itu berarti ada 64.847 petani sebagian besar adalah petani kecil yang belum mendapatkan pupuk subsidi menjelang berakhirnya 2025. Sebuah selisih yang terlalu besar untuk dianggap sebagai sekadar persoalan teknis.
AE PT Pupuk Indonesia Jember, Slamet Saputra, saat dihubungi awak media Selasa (9/12/2025) mengakui adanya perbedaan mendasar antara data penyaluran dari gudang dan data penebusan petani.
"Di data kami 90 persen alokasi pupuk tersalurkan. 90 persen itu angka tembusan dari gudang, jadi berbeda dengan angka serapan petani,” jelasnya
Menurut Slamet, pupuk yang dianggap sudah tersalurkan berdasarkan sistem distribusi dari gudang belum tentu langsung ditebus oleh petani di kios. Ia menduga selisih tersebut terjadi karena stok masih berada di kios atau distributor.
“Selisih itu kemungkinan masih di gudang kios atau distributor, atau mungkin masih tersimpan di gudang kami,” tambahnya.
Ia menegaskan bahwa secara sistem, pembelian pupuk sudah dikontrol ketat melalui aplikasi mulai dari distributor hingga kios dan mencatat kuota tiap petani berdasarkan lahan yang tertera di RDKK.
Meski sistem digital diklaim mampu menutup ruang penyimpangan, kenyataan bahwa selisih data begitu besar memunculkan pertanyaan di mana sebenarnya pupuk itu berada?
Apakah petani kesulitan menebus pupuk? Apakah stok tertahan di kios? Ataukah ada pihak yang memanfaatkan situasi?
Ketua Komisi B DPRD Jember, Candra Ary Fianto, justru membaca selisih tersebut sebagai tanda bahaya. Menurutnya, angka yang tidak sinkron menandakan potensi penyimpangan distribusi.
“Selisih data penyaluran dengan jumlah penebusan petani sangat besar. Ini bisa membuka ruang penimbunan pupuk bersubsidi,” tegas Candra.
Candra mengungkapkan kekhawatirannya bahwa dalam kondisi seperti ini, pupuk yang seharusnya diterima petani bisa saja dialihkan, dijual di luar sistem, atau ditahan oleh oknum.
Candra juga menyoroti implementasi Peraturan Menteri Pertanian Nomor 15 Tahun 2025 yang mengatur tata kelola pupuk bersubsidi. Aturan itu memasukkan petani kopi di bawah Perhutani ke dalam penerima alokasi pupuk subsidi.
Namun, ia menilai pelaksanaannya di Jember belum berjalan sebagaimana mestinya. “Khawatirnya proses ini tidak dilakukan oleh Dinas Pertanian. Akhirnya rebutan, petani kopi yang tidak dapat subsidi ikut menebus pupuk bersubsidi,” katanya.
Kondisi tersebut, menurutnya, menciptakan konflik silent dan membuka peluang bagi oknum di lapangan untuk memanfaatkan kelangkaan.
“Melakukan penimbunan dan menyalurkan pupuk di luar aplikasi bisa saja terjadi. Harusnya ada Perbup atau SK Bupati yang jelas tentang hamparan lahan petani kopi yang berhak menerima pupuk subsidi,” ujarnya.
Bagi petani di lapangan, pupuk bukan sekadar angka dalam laporan distribusi. Keterlambatan atau ketidakjelasan penyaluran berdampak langsung pada produktivitas, terutama menjelang musim tanam. (Wahyu/Eros)


