Jember, MAJALAH-GEMPUR.Com. Profit sharing adalah hitung-hitungan berapa bagian yang akan diterima
petani, jika gulanya dilelang diatas harga yang disepakati pada saat petani
menerima dana talangan. Dana talangan adalah sejumlah uang yang diterima petani
atas penjualan gula sebelum dilelang. Jika harga lelang lebih tinggi, maka
selisihnya dibagi antara petani dan penalang (investor), dengan ketentuan
profit sharing
Sedangkan beberapa profit sharing
yang ada diluar wilayah PTPN XI, telah memenuhi rasa keadilan. Seperti di PTPN
X, Profit Sharing 100% untuk petani dan 0 % untuk Investor, yang dikemas, 80%
untuk petani dan 20 % untuk investor. Sedangkan di wilayah PTPN IX (Jateng), profit
sharing (85% untuk petani, 15 % untuk investor). Sementara di wilayah RNI, dan
PT Kebon Agung (Malang), non profit sharing artinya tidak menggunakan sistem
bagi hasil. (Eros/Zq/Yud/Rud/Rus/Iks).
Kebijakan profit sharing, biasanya diambil berdasarkan surat
Menteri Pertanian (Mentan) yang ditujukan pada Menteri Perdagangan. Ini
berlangsung sejak tahun 2002. Untuk tahun 2011 berdasar pada surat Menteri
Pertanian No.245/PD.320M/5/2011 pada tanggal 5 Mei 2011, yang menjelaskan
usulan bahwa profit sharing bagian petani “minimal
sebesar 60%. Surat itu mendapat jawaban dari Menteri Perdangan (Mendag)
dengan No. Surat 729/M-DAG/5/2011 tanggal 6/05/2011, yang isinya setuju dengan
usulan Mentan. Kebijakan PTPN XI profit
sharing 60%-40% ini, harus di ikuti oleh petani.
Untuk mengamankan kebijakan tersebut, pabrik gula dibawah PTPN XI,
mengedarkan surat pernyataan kepada petani dibawah binaan pabrik gula, untuk
menyetujui besaran profit sharing. Jika tidak, maka tebu petani tidak boleh
digiling di PG-PG wilayah PTPN XI.
Jika dihitung secara kasar, lahan petani yang ada 50 ribu hektar
(TR/Tebu rakyat PTPN XI), dengan rata-rata hasil gula petani bersih 4 ton per
Ha ( selama beberapa tahun ). Dalam musim tanam MT 2010/2011, sebagai contoh,
harga gula talangan Rp. 7000/kg, sedangkan harga lelang Rp. 8250/kg , terdapat
selisih Rp. 1250/kg atau Rp. 1.250.00 per ton, jadi per Ha menjadi Rp. 5 juta.
Bagian petani per Ha Rp. 3 juta, bagian penalang (investor) Rp. 2 juta. Investor
yang bekerjasama dengan PTPN XI akan menikmati Rp. 100 milayar dalam sekali
musim. Duit yang sangat-sangat
besar untuk dilepas begitu saja.
Padahal, dana yang mesti dijamin investor adalah Rp. 1,4 trilyun (4 tonx 50 Ha x Rp. 7000) untuk seluruh masa giling (selama 6 bulan). Satu
periode masa giling dibutuhkan dana segar sampai rata-rata 10 kali. Jadi investor
hanya cukup menyediakan dana segar sebesar Rp. 140 milyar yang diputar selama
sepuluh kali. Dengan begitu, hitungannya investor menikmati 71 % (100M/140M x
100 %) dalam waktu 6 bulan. Ini hasil yang lebih tinggi dari tingkat
suku bunga bank dimanapun di Indonesia bahkan di dunia. Hasil yang
besar inilah yang membuat investor tetap mempertahankan posisinya untuk bermain
di dunia pergulaan selama beberapa tahun dengan membangun aliansi dengan
pengurus asosiasi petani dan oknum direksi. (data Gempur, wawancara dengan
Ketua PPTR, 2010)
Hal ini pulalah yang menimbulkan kemarahan petani, untuk itu ketua
PPTR Jember mengirimkan SMS kepada Mentri BUMN dan Anggota DPR RI (lihat box
sms petani kepada Dahlan Iskan), yang menjelaskan bahwa Direksi PTPN XI dan
APTRI dibawah naungan PTPN XI, PT Tani Sejahtera, PT Bina Arta Niaga, serta PT
Bima Citra, adalah produk sempurna Oligarki Hitam, yang artinya kebijakan itu
merupakan kerjasama antara birokrat direksi PTPN XI, wakil-wakil petani tebu,
dan investor yang semata-mata hanya mencari keuntungan saja.
Pada saat pertemuan antara Ketua APTRI Unit PG Jatiroto, Eko
yuli, perwakilan Petani Tebu dan Adm PG Jatiroto Lumajang Jum’at, (10/06) kebijakan
profit sharng tersebut dipertanyakan petani tebu: "Saya sangat
menyayangkan kinerja APTRI karena saya rasa tidak memperhatikan petani tebu.
Dimana usulan kami sebelumnya, terkait profit sharing ini 80% untuk petani dan
20% untuk investor. Tapi kenapa, tiba tiba muncul surat dari menteri yang
menyatakan 60% untuk petani dan 40% untuk investor, padahal menteri sendiri
tidak akan memutuskan sesuatu tanpa adanya usulan dari bawah, yang dalam hal
ini Dewan Gula yang di dalamnya terdapat unsur APTRI. Ada apa dengan APTRI kita
?. "Ini penindasan, tidak mungkin keluar surat dari menteri kalau tidak
didasarkan pada surat usulan dari Dewan Gula, yang salah satunya terdapat unsur
APTRI, artinya APTRI kita sudah tidak berpihak lagi kepada petani melainkan ke
berpihak Investor"
"Saya
tetap akan memperjuangkan petani tebu, karena saya sendiri petani tebu. saya
berani bersumpah DEMI ALLAH saya tidak tahu atas munculnya profit sharing
tersebut, untuk itu mari kita berjuang bersama-sama" Ungkap ketua APTRI
Unit PG Jatiroto Lumajang Eko Yuli. Sementara Itu, Adm PG Jatiroto Djoko
Winarno mengatakan bahwa pihaknya juga tidak tahu dalam penentuan profit
sharing tersebut. Menurut Djoko, semua itu kebijakan dari Direksi. (Gempur, 10 Juni 2011)
Kalau
APTRI mempertanyakan ketentuan profit sharing, karena usulannya tidak masuk dan
salah satu Adm pabrik gula menunjuk kebijakan direksi, sebenarnya ketentuan
profit sharing tersebut, permainan siapa?
Ternyata, pembahasan perjanjian dana
talangan gula petani tebu lingkup PTPN XI untuk tahun giling 2011 berlangsung
di Kantor Pusat, Surabaya, Rabu (8/6/2011), yang didahului sebelumnya dengan
rapat koordinasi antara direksi, investor dan ketua APTRI tanggal 3/8/2011
Dalam pembahasan tersebut hadir 4 orang anggota Direksi, wakil investor, dan
Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) M. Arum Sabil.
Sesuai kesepakatan, semua petani tebu PTPN XI mendapatkan dana talangan gula
sebesar Rp. 7.000 per kg. Bila harga riil lebih rendah, risiko ditanggung
investor. Sedangkan bila lebih tinggi, petani mendapatkan profit sharing 60% atas
kelebihannya. Dana talangan disediakan oleh 3 perusahaan, yakni PT Mitra
Tani Sejahtera, PT Bina Arta Niaga, dan PT Bima Citra.