Amandemen tersebut
menyentuh beberapa persoalan fundamental ketatanegaraan, salah satunya tentang
pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat (cetral
government) dengan pemerintah daerah (local
government). Amandemen UUD 1945 tersebut melahirkan
konsep otonomi daerah. Hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 18 ayat (1), (2)
dan (4) UUD 1945
Pembagian urusan
pemerintahan diatur dalam UU No.32 Tahun 2004. Salah
satu otonomi yang dimiliki daerah ialah otonomi dalam bidang politik. Ikhtiar
untuk mewujudkan otonomi di bidang politik tersebut dilakukan dengan memberi
pengaturan baru tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara
langsung, termasuk pengaturan tentang mekanisme pemilihan Anggota Legislatif,
seperti DPRD (Provinsi, Kabupaten/Kota) dan DPD yang lebih mendekatkan pemilih
dengan si calon yang merupakan wakil dari daerahnya.
Dua mekanisme rekrutmen kepemimpinan daerah
di atas secara simbolik menggambarkan telah hadirnya otonomi di bidang politik,
karena dipilih langsung oleh penduduk daerah setempat. Demikian disampaikan Ketua LKPM Jember Ach Faedy Suja’I
dalam acara dialog Kebangsaan dengan tema DINAMIKA
POLITIK LOKAL DI ERA OTONOMI DAERAH yang diadakan
oleh Lembaga Kajian dan Perberdayaan
Masyarakat (LKPM) Jember yang bekerjasama dengan Kemendagri RI, Sabtu (23/6) di
Hotel Kebon Agung Jember.
Dalam acara dialog yang dikuti oleh kurang
lebih seratus perserta dari berbagai elemen, yaitu mulai dari mahasiswa, instansi
pemerintah daerah kabupaten Jember, tokoh masyarakat, serta elemen organisasi
lainnya. Faedy menjelaskan bahwa, otonomi politik sesungguhnya belum terwujud, sebab masih
terbukanya kemungkinan pintu campur tangan terhadap otonomi politik di daerah
oleh pusat. “Campur
tangan itu hadir seiring diterapkan
sistem kepartaian yang bersifat nasional. Akibatnya, partai politik di tingkat
nasional sering mengintervensi partai-partai politik di daerah dalam dua
mekanisme pemilihan tadi.” tegasnya
Lanjut Faedy. Hal
inilah yang memunculkan gagasan untuk membentuk Partai politik lokal di setiap
daerah, selain terdapat beberapa alasan lain yang relevan dikemukakan dalam
rangka mendukung gagasan pembentukan Partai politik lokal ini, seperti adanya
pengalaman historis bangsa ini pada tahun 1955. Partai politik lokal pernah
diperkenankan dan mengikuti pemilihan umum pada tahun itu.
Gagasan ini juga dilatarbelakangi oleh
diperkenankannya pembentukan Partai politik lokal di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalaam (NAD) yang diberikan otonomi khusus (special autonomy policy) sebagaimana diperuntukkan dalam UU Nomor
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pembentukan partai politik lokal di
Aceh ini secara emosional mendorong daerah-daerah lain juga menuntut agar dapat
membentuk partai-partai politik lokal.
Selain adanya landasan teoritikal berupa
federalisme ideologis yang diserap Indonesia pasca otonomi daerah. Namun dalam
konteks yuridis, pembentukan partai politik lokal di Indonesia masih terhalang
oleh aturan-aturan yang terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan.
Namun diskursus ketatanegaraan soal
pembentukan partai lokal hanya salah satu isu dalam konteks ini. Sebab yang
lebih fundamental adalah perdebatan seputar pokok persoalan bahwa ada gejala
inkompatibilitas (discompability, ketidaksesuaian)
antara peraturan perundangan-undangan yang mengafirmasi berjalannya otonomi
daerah dan regulasi politik nasional yang masih bersifat sentralistik.
Secara sosiologis dan aspek politis, hal ini
berimplikasi pada terputusnya saluran aspirasi masyarakat untuk bisa mengakses
berbagai proses pembentukan kebijakan politik di level daerah maupun pusat. Sementara itu secara empiris,
inkompabilitas ini bisa berdampak pada kegaduhan politik yang dapat menganggu
stabilitas politik lokal. Sehingga ujung-ujungnya akan berefek pada
terganggunya pelayanan publik maupun kesinambungan program-program pembangunan
yang ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat.
Misalnya hiruk pikuk Pilkada dan rivalitas politik lokal yang terepresentasi dalam kasus pengunduran diri Dicky Chandra sebagai Wakil Bupati Garut maupun pengunduran diri Prijanto sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta. Tidak menutup kemungkinan fenomena yang sama akan terjadi di daerah yang lain. (zq/eros)
Misalnya hiruk pikuk Pilkada dan rivalitas politik lokal yang terepresentasi dalam kasus pengunduran diri Dicky Chandra sebagai Wakil Bupati Garut maupun pengunduran diri Prijanto sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta. Tidak menutup kemungkinan fenomena yang sama akan terjadi di daerah yang lain. (zq/eros)