Translate

Iklan

Iklan

UU Parpol Tidak Mencerminkan semangat Otonomi Daerah

6/23/12, 16:44 WIB Last Updated 2012-09-25T14:24:00Z
Jember, MAJALAH-GEMPUR.COM. Setelah reformasi bergulir, telah banyak dilakukan berbagai ikhtiar perbaikan bangsa. Salah satu ikhtiar ketatanegaraan yang dilakukan adalah dengan melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. 

Amandemen tersebut menyentuh beberapa persoalan fundamental ketatanegaraan, salah satunya tentang pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat (cetral government) dengan pemerintah daerah (local government). Amandemen UUD 1945 tersebut melahirkan konsep otonomi daerah. Hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 18 ayat (1), (2) dan (4) UUD 1945

Pembagian urusan pemerintahan diatur dalam UU No.32 Tahun 2004. Salah satu otonomi yang dimiliki daerah ialah otonomi dalam bidang politik. Ikhtiar untuk mewujudkan otonomi di bidang politik tersebut dilakukan dengan memberi pengaturan baru tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung, termasuk pengaturan tentang mekanisme pemilihan Anggota Legislatif, seperti DPRD (Provinsi, Kabupaten/Kota) dan DPD yang lebih mendekatkan pemilih dengan si calon yang merupakan wakil dari daerahnya.

Dua mekanisme rekrutmen kepemimpinan daerah di atas secara simbolik menggambarkan telah hadirnya otonomi di bidang politik, karena dipilih langsung oleh penduduk daerah setempat. Demikian disampaikan Ketua LKPM Jember Ach Faedy Suja’I dalam acara dialog Kebangsaan dengan tema DINAMIKA POLITIK LOKAL DI ERA OTONOMI DAERAH yang diadakan oleh  Lembaga Kajian dan Perberdayaan Masyarakat (LKPM) Jember yang bekerjasama dengan Kemendagri RI, Sabtu (23/6) di Hotel Kebon Agung Jember. 

Dalam acara dialog yang dikuti oleh kurang lebih seratus perserta dari berbagai elemen, yaitu mulai dari mahasiswa, instansi pemerintah daerah kabupaten Jember, tokoh masyarakat, serta elemen organisasi lainnya. Faedy menjelaskan bahwa, otonomi politik  sesungguhnya belum terwujud, sebab masih terbukanya kemungkinan pintu campur tangan terhadap otonomi politik di daerah oleh pusat. Campur tangan itu hadir seiring diterapkan sistem kepartaian yang bersifat nasional. Akibatnya, partai politik di tingkat nasional sering mengintervensi partai-partai politik di daerah dalam dua mekanisme pemilihan tadi.” tegasnya

Lanjut Faedy. Hal inilah yang memunculkan gagasan untuk membentuk Partai politik lokal di setiap daerah, selain terdapat beberapa alasan lain yang relevan dikemukakan dalam rangka mendukung gagasan pembentukan Partai politik lokal ini, seperti adanya pengalaman historis bangsa ini pada tahun 1955. Partai politik lokal pernah diperkenankan dan mengikuti pemilihan umum pada tahun itu.

Gagasan ini juga dilatarbelakangi oleh diperkenankannya pembentukan Partai politik lokal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalaam (NAD) yang diberikan otonomi khusus (special autonomy policy) sebagaimana diperuntukkan dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pembentukan partai politik lokal di Aceh ini secara emosional mendorong daerah-daerah lain juga menuntut agar dapat membentuk partai-partai politik lokal.

Selain adanya landasan teoritikal berupa federalisme ideologis yang diserap Indonesia pasca otonomi daerah. Namun dalam konteks yuridis, pembentukan partai politik lokal di Indonesia masih terhalang oleh aturan-aturan yang terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan.

Namun diskursus ketatanegaraan soal pembentukan partai lokal hanya salah satu isu dalam konteks ini. Sebab yang lebih fundamental adalah perdebatan seputar pokok persoalan bahwa ada gejala inkompatibilitas (discompability, ketidaksesuaian) antara peraturan perundangan-undangan yang mengafirmasi berjalannya otonomi daerah dan regulasi politik nasional yang masih bersifat sentralistik.

Secara sosiologis dan aspek politis, hal ini berimplikasi pada terputusnya saluran aspirasi masyarakat untuk bisa mengakses berbagai proses pembentukan kebijakan politik di level daerah maupun pusat. Sementara itu secara empiris, inkompabilitas ini bisa berdampak pada kegaduhan politik yang dapat menganggu stabilitas politik lokal. Sehingga ujung-ujungnya akan berefek pada terganggunya pelayanan publik maupun kesinambungan program-program pembangunan yang ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat. 

Misalnya hiruk pikuk Pilkada dan rivalitas politik lokal yang terepresentasi dalam kasus pengunduran diri Dicky Chandra sebagai Wakil Bupati Garut maupun pengunduran diri Prijanto sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta. Tidak menutup kemungkinan fenomena yang sama akan terjadi di daerah yang lain. (zq/eros)
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • UU Parpol Tidak Mencerminkan semangat Otonomi Daerah

Terkini

Close x