Translate

Iklan

Iklan

Nasib Anak-anak Rohingya Myanmar Di Pengungsian

11/10/13, 19:23 WIB Last Updated 2013-11-10T12:26:42Z
Heri Aryanto, SH  (Tim Pusat Advokasi dan Hak Asasi Manusia /PAHAM Indonesia)

Tim PAHAM di rumah ortu Nasima Pasurjambe Lumajang
Kejahatan kemanusian dan genosida yang berlangsung di Arakan, Myanmar selama puluhan tahun membawa penderitaan berkepanjangan bagi etnis Rohingya. Kejadian ini menjadikannya imigran gelap di tanah kelahirannya sendiri.


Tidak hanya diusir, disiksa dan dibunuh, sejak tahun 1982 Rohingya tidak lagi diakui sebagai warga negara oleh pemerintah dan etnis mayoritas di Myanmar. Kondisi ini membawa mereka pada penderitaan tak berkesudahan. Penderitaan dan diskriminasi yang dialami oleh Rohingya sudah berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Ketakutan dan kehilangan baik harta dan sanak saudara tercinta selalu menghantui mereka sepanjang waktu.

Tak ada tempat yang aman di tanah kelahirannya sendiri. Etnis mayoritas dan pemerintah memposisikan mereka sebagai ancaman yang harus dilenyapkan. Tak mengherankan jika pembantaian, pengusiran, pengrusakan selalu terjadi setiap hari dan Rohingya selalu berada pada posisi yang lemah untuk mempertahankan hak-haknya.

Kondisi mereka yang semakin terancam di bumi Arakan, menyebabkan mereka harus menyelematkan diri. Mereka keluar dari Arakan menjadi pencari suaka dan pengungsi dengan cara mengarungi lautan luas dan menerjang ganasnya ombak menuju negara-negara tujuan, terutama negara-negara yang bisa dijadikan tempat berlindung dan mencari penghidupan.

Bangladesh, Malaysia, dan Australia adalah negara-negara tujuan utama bagi Rohingya untuk dijadikan tempat bermukim. Alasannya, Bangladesh adalah negara tetangga yang jaraknya paling dekat dan secara fisik juga mempunyai keterkaitan sejarah yang sangat dekat dengan etnis Bengali. Namun malangnya, saat ini pemerintah Bangladesh mempunyai kebijakan menolak pengungsi atau pencari suaka dari Rohingya untuk masuk ke wilayah Bangladesh baik dari darat melalui perbatasan (border) maupun melalui jalur laut.

Banyak Rohingya yang coba menembus jalur laut, yang akhirnya terusir kembali ke laut dan terapung selama berhari-hari tanpa nasib yang jelas. Bahkan yang lebih menyedihkan, dalam perjalanan laut menuju bangladesh dan negara tujuan lainnya, banyak yang akhirnya kehilangan nyawanya baik akibat cuaca yang ekstrim maupun karamnya kapal yang ditumpanginya

Tidak hanya itu, menurut pengakuan tiga orang Rohingya dari kapal berbeda yang ditemui di Penampungan sementara di Langsa, Louksemawe, dan Aceh Besar (Aceh) pada bulan Maret-April 2013, menceritakan bahwa dalam perjalanan mereka dari Myanmar menuju Malaysia,  mereka ditembaki oleh orang-orang yang mereka kenali sebagai tentara Thailand ketika memasuki teritori perairan Thailand. Mereka kemudian “digiring” ke tepi pantai yang tiada penghuninya.

Mesin-mesin kapal mereka “dicopot” dan bahan makanan yang tersisa kemudian diambil. Tersisa hanya kapal-kapal “butut” tak bermesin dan orang-orang Rohingya dengan wajah penuh kesedihan. Mereka kemudian digiring kembali ke tengah laut tanpa sedikit-pun makanan yang tersisa. Mereka bersyukur, di tengah ketidakjelasan nasib mereka di tengah laut, nelayan-nelayan Aceh menemukan mereka, memberinya makan, dan membawa mereka ke daratan Aceh.

Sementara pilihan Negara Malaysia sebagai tempat berlindung adalah alasan banyaknya komunitas Rohingya yang sekarang bermukim di Malaysia. Menurut Habib Ullah, salah seorang Rohingya yang tinggal di Malaysia menyebutkan bahwa jumlah Rohingya pada tahun 2013 diperkirakan lebih dari empat puluh lima ribu orang. Namun demikian, meskipun negara Malaysia mengizinkan mereka tinggal dan menikah di Malaysia, namun mereka secara formal tidak dapat mengakses pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan. Sehingga pada akhirnya, banyak Rohingya yang kemudian mencari peruntungan lain di negara-negara seperti Australia dan Indonesia.

Australia sendiri merupakan negara yang telah meratifikasi konvensi internasional tentang Status Pengungsi dan Protokolnya. Faktor penarik ini yang kemudian menyebabkan Rohingya “berbondong-bondong” ke Australia. Meskipun pemerintah Australia saat ini mempunyai kebijakan superketat terhadap para pengungsi yang datang ke negaranya, namun gelombang kepergian Rohingya dari Myanmar, Malaysia, dan Indonesia menuju Australia semakin deras. Bahkan kebijakan pemerintah Australia baru-baru ini sangat represif terhadap para pencari suaka dan pengungsi yang datang ke Australia dan akan mengirimkan mereka ke Papua Nugiini. Entah mereka mengetahui atau tidak, yang pasti mereka sangat menginginkan pergi ke negara Australia. Menurut mereka, selain hak-hak para pengungsi dan pencari suaka diakui dan diakomodir, juga karena alasan adanya keluarga yang telah berhasil menetap di Australia.

Nasib Rohingya, yang datang ke Indonesia, meskipun dengan cara yang tidak seragam, namun mempunyai penderitaan yang sama yaitu diperangi dan tidak diakui sebagai warga negara dan etnis Myanmar. Akibatnya mereka tidak mempunyai identitas kewarganegaraan sehingga tidak bisa mendapatkan hak-hak dasar sebagai manusia, seperti halnya hak hidup., hak kemerdekaan bergerak, hak atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan yang layak, dan sebagainya. Padahal jika menilik pada Universal Declaratin of Human Rights 1948 atau Deklarasi Hak Asasi Manusia Sedunia tahun 1948, hak atas kewarganegaraan merupakan hak asasi atau hak fundamental dari seorang manusia yang menetap di suatu negara.

Status kewarganegaraan merupakan hak asasi setiap manusia, yang telah dijamin oleh Universal Declararation of Human Rights (UDHR) 1948, Konstitusi Negara RI, dan UU No. 39 tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia. Di dalam Pasal 15 ayat (1) UDHR, disebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak kewarganegaraan :  Article 15 UHDR :
 Everyone has the right to a nationality. No one shall be arbitrarily deprived of his nationality nor denied the right to change his nationality.

Sementara dalam tataran hukum positif, hak atas kewarganegaraan juga diatur di dalam Konstitusi Negara RI yaitu Pasal 18D UUD Negara RI Tahun 1945 dan di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pasal 28 D UUD 1945 :

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.

Pasal 53 UU No. 13 Tahun 1999 :
Setiap anak sejak dalam kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Setiap anak sejak kelahirannya. berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan.
Dengan demikian, tidak boleh seorang pun di dunia ini yang dibiarkan hidup tanpa kewarganegaraan, terlebih membiarkan orang lain dan negara mencabut secara semena-mena hak kewarganegaraannya. Hak atas kewarganegaraan merupakan hak asasi sehingga tindakan mencabut secara sewenang-wenang kewarganegaraan seseorang dalam hal ini Rohinggya, merupakan perbuatan pelanggaran hak asasi manusia.

Menurut hukum kewarganegaraan Indonesia yang berlaku saat ini yaitu UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, sistem atau asas kewarganegaraan Indonesia menganut asas kewarganegaraan berdasarkan hubungan darah (ius sanguinis) maupun kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran (ius soli). Selain menganut sistem kewarganegaraan, Indonesia juga menganut sistem pewarganegaraan bagi orang asing yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang antara lain telah menetap minimal 5 (lima) tahun berturut-turut atau 10 (sepuluh) tahun secara tidak berturut-turut. Dengan demikian Warga Negara Indonesia (“WNI”) terdiri orang-orang dari bangsa indonesia asli dan dari bangsa lain yang disahkan undang-undang.

Dalam setiap konflik, setiap perang, setiap peristiwa pelanggaran HAM berat, maka anak-anak dan perempuan selalu menjadi korban. Tidak terkecuali di Arakan, anak-anak Rohingya harus menerima takdir sebagai anak yang dilahirkan dalam kondisi memprihatinkan tanpa kewarganegaraan dan tanpa hak-hak dasar yang seharusnya mereka miliki.

Tidak hanya itu, hanya sekedar untuk menikmati masa kecilnya pun mereka sepertinya tidak bisa. Kondisi perkampungan yang sudah rata dengan tanah, rumah ibadah hangus, dan Rohingya sudah terkonsentrasi di tenda-tenda pengungsian dan shelter di pinggiran pantai Arakan menjadi bukti tidak ada lagi tempat bermain yang aman untuk mereka.

Jumlah populasi Rohingya pun semakin turun drastis. Diperkirakan dari jumlah 5 juta orang Rohingya, di bulan mei 2013 ketika Penulis mengunjungi pengungsian Rohingya di Arakan, tersisa hanya 120.000 orang saja.

Kondisi ini pun sangat memprihatinkan ditambah lagi tempat berteduh mereka yang juga sangat memprihatinkan, terutama ketika musim penghujan datang. Anak-anak Rohinya yang tidak berdosa ini, sejak lahir harus menanggung penderitaan atas kekejaman pemerintah dan etnis mayoritas yang tidak mengakui mereka dan memerangi mereka.

Nasib Nasima, Anak Rohingya Dari Lereng Gunung Semeru
Indonesia merupakan salah satu negara yang saat ini cukup banyak menampung pengungsi asal Rohingya. Dari hasil investigasi Pusat Informasi dan Advokasi Rohingya Arakan (PIARA) – PAHAM INDONESIA dibulan Maret – April 2013, diperkirakan lebih dari 1.000 orang Rohingya yang sudah terdampar di Indonesia, baik karena ditangkap oleh Imigrasi Indonesia, ditolong nelayan Indonesia, maupun sengaja menyerahkan diri ke Indonesia.

Rohingya yang ditangkap oleh pihak Imigrasi adalah mereka yang memasuki wilayah Indonesia melalui jalur illegal. Tujuan mereka pada umumnya adalah Australia. Mereka berasal dari Myanmar langsung, atau dari Malaysia karena sudah bosan tinggal di sana akibat ketidakjelasan status.

Sementara mereka yang ditolong nelayan Indonesia adalah Rohingya yang terdampar di lautan tanpa tujuan yang jelas. Di Ladong Aceh, PIARA menemukan 1 (satu) rombongan Rohingya dari Myanmar langsung yang terdampar di laut Aceh. Mereka tidak mempunyai destanasi dan hanya ingin keluar dari Arakan untuk menyelamatkan diri. Mereka diselamatkan oleh Nelayan Aceh dan di bawa ke Sabang, kemudian dipindahkan ke Aceh Besar.

Sedangkan yang sengaja menyerahkan diri adalah Rohingya yang sudah hopeless dan tidak mempunyai uang dan makanan. Mereka berharap dengan menyerahkan diri, mereka bisa mendapatkan makanan dan uang dari Lembaga Pengungsi Internasional (UNHCR) maupun pemerintah Indonesia.

Di samping alasan tersebut, Rohingya yang terdampar di Indonesia adalah mereka yang dibohongi oleh tekong-tekong yang mereka sewa. Pada umumnya mereka menyewa tekong-tekong sekian ratus juta untuk bisa membawa mereka ke Australia. Pengalaman ini yang dialami oleh satu keluarga Rohingya (18 orang) yang terdampar di Jakarta akibat dibohongi oleh Tekong yang akan membawanya ke Australia.

Mereka telah mengeluarkan seratus lima puluh juta lebih kepada tekong tersebut untuk bisa ke Australia dari Malaysia. Uang tersebut mereka kumpulkan dari hasil bekerja secara informal di Malaysia. Namun, sayangnya mereka ditipu dan ditelantarkan di Jakarta.

Alasan lainnya adalah karena ingin tinggal bersama istrinya yang WNI. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, jumlah Rohingya di Malaysia sudah mencapai empat puluh lima ribu orang, dimana mereka selain bisa tinggal, juga bisa menikah dengan bantuan penghulu dari komunitasnya. Selain itu, Buruh Migran Indonesia atau biasa kita menyebutnya “TKI” juga banyak yang bekerja di Indonesia. Pada akhirnya banyak juga laki-laki Rohingya yang menikah dengan wanita Indonesia di Malaysia. Setelah menikah dan mempunyai anak, si wanita pulang kembali ke Indonesia, dan si laki-laki Rohingya ikut dengan wanita tersebut dan tertangkap di Indonesia karena tidak mempunyai dokumen yang resmi.

Inilah yang saat ini dialami oleh Abu Kasim (Rohingya) dengan Tina (WNI). Mereka menikah di Seremban, Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun 1998, dan melahirkan seorang anak bernama Nasima yang lahir pada tahun 2001 di Ceras, Kuala Lumpur, Malaysia. Nasima lahir di rumah sewa kedua orang tuanya melalui bantuan bidan setempat. Nasima lahir tanpa dokumen kelahiran maupun kewarganegaraan karena Rohingya sendiri tidak mempunyai kewarganegaraan.

Tina, Ibunda Nasima merupakan WNI asal Lumajang. Lahir di Dusun Ngampo – Pasrujambe Kabupaten Lumajang, tepatnya di Lereng Gunung Semeru.  Tina menjadi TKI pada tahun 1997, sampai akhirnya dia bertemu dengan Abu Kasim pada tahun 1998, dan beberapa bulan kemudian menikah di depan Penghulu Rohingya di Seremban, Malaysia.

Tiga tahun setelah menikah lahirlah Nasima di Malaysia dan menjadi salah satu anak Rohingya keturunan Indonesia atau anak Indonesia keturunan Rohingya. Setelah lebih dari 15 tahun menetap dan bekerja di Malaysia, Tina pulang ke Indonesia pada bulan keenam di tahun 2013. Namun kepulangannya tersebut tidak bersama suami dan anaknya, karena keduanya tidak bisa ikut bersama Tina dengan alasan dokumen kewarganegaraan. Sampai akhirnya, Abu Kasim dan Nasima berangkat juga mengunjungi Tina di Lumajang dengan menumpangi kapal boat.

Namun naas, kapal boat yang ditumpanginya terbalik dan keduanya tejatuh ke laut. Syukur Alhamdulillah, mereka diselamatkan oleh Nelayan Aceh dan dibawa ke Meulaboh. Sampai akhirnya mereka saat ini dipindahkan ke Rudenim Bali.

Sementara konsep Rudenim saat ini yang diberlakukan untuk para pengungsi dan pencari suaka, tidaklah  tepat dan justru menimbulkan masalah-masalah baru. Di Medan, selain overload, para pengungsi ditahan di tempat yang sama dengan para penjahat imigrasi. Pada akhirnya kondisi ini menimbulkan kerusuhan antara Rohingya sebagai pengungsi dengan Nelayan Myanmar yang ditangkap di perairan Indonesia.

Dari peristiwa tersebut, 8 orang nelayan Myanmar tewas terbunuh di dalam kerusuhan tersebut, yang bermula dari isu pelecehan yang dilakukan Nelayan Myanmar kepada perempuan Rohingya. Di Tanjung Pinang, beberapa orang mencoba melarikan diri, dan ada yang meninggal pada saat melarikan diri. Tidak hanya itu, konsep Rudenim yang tidak memberikan hak kepada pengungsi untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, bersosialisasi telah menjadikan pengungsi Rohingya penjahat di negeri Muslim terbesar. Padahal mereka hanya ingin berlindung dan mencari penghidupan yang lebih baik di Indonesia.

Menurut hukum kewarganegaraan Indonesia Nasima adalah anak Indonesia atau berkewarganegaraan Indonesia, karena dilahirkan oleh seorang Ibu yang berkewarganegaraan Indonesia. Hal ini jelas tercantum di dalam Pasal 1 huruf (d) UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, yang menyebutkan sebagai berikut :
anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia;
anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut;

Keinginan Nasima untuk bisa tinggal bersama ibu dan ayahnya di Indonesia serta memiliki status kewarganegaraan Indonesia dan bisa bersekolah layaknya anak-anak seusianya tidak lagi sebuah angan-angan semata, karena hak tersebut dijamin oleh hukum dan undang-undang Indonesia. Saat ini sejauh mana kita bisa membantu Nasima mewujudkan harapannya dan sejauh mana kebijakan pemerintah Indonesia terhadap kasus Nasima ini. Kasus seperti ini bukanlah satu-satunya, dan jika pemerintah Indonesia mempunyai kebijakan yang baik terkait penanganan pengungsi, baik yang belum mendapatkan Refugee Card maupun yang sudah, dan baik yang ditahan di Rudenim, maupun yang tinggal di community house, sehingga penanganan pengungsi terutama Rohingya makin manusiawi dan hak-hak dasarnya terpenuhi.

Di sisi lain, disamping merupakan sebuah hak, menjadi kewajiban negara di sisi lain (dalam hal ini Pemerintah Indonesia) untuk memberikan hak kewarganegaraan tersebut, atau setidak-tidaknya untuk tidak menghalangi seseorang untuk mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia. Kewajiban ini sebagaimana tertuang di dalam Pasal 36 ayat (1)  UU No. 12 Tahun 2006 yang menyebutkan :

Pejabat yang karena kelalaiannya melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini sehingga mengakibatkan seseorang kehilangan hak untuk memperoleh atau memperoleh kembali dan/atau kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun.

Dengan demikian, nasima merupakan anak Indonesia yang berhak mendapatkan hak-hak dasar, terutama diakui sebagai WNI dan bisa mengakses pendidikan formal setinggi-tingginya agar bisa berguna untuk dirinya, keluarganya, bangsa Indonesia, agama islam, dan etnisnya. Amin ya Robbal Alamin. (midd)
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Nasib Anak-anak Rohingya Myanmar Di Pengungsian

Terkini

Close x